Bab 16
"Nad! Tunggu sebentar. Aku belum kelar. Lima belas menit lagi kok," seru Rizal begitu melihat aku sudah mematikan komputer.
"Iya. Malioboro yuk. Selasa Pon kan?" Malam Selasa Pon di kawasan Malioboro akan ada banyak pertunjukan seni budaya. Aku jatuh cinta sejak pertama tahu hal ini. Kalau tidak hujan, aku pasti akan menyeret Rizal ke sana.
"Siap, 'Dek-ku'."
Awalnya terdengar agak menggelikan ketika dia menyebut kata adek bagiku. Namun kini sudah terbiasa. Tidak terasa memang waktu begitu cepat berlalu. Aku dan Rizal sangat baik-baik saja di sini. Meskipun masing-masing dari kita selalu single. Nyaris dua tahun sudah aku bersembunyi di sini. Sejauh ini, tidak ada yang mengusik ketenanganku sama sekali. Meski terkadang aku masih suka terpikirkan apa kabar setan kecil itu? Tapi aku segera menepisnya. Semakin aku ingin tahu, semakin sulit untukku melangkah ke depan. Bukankah saat ini fokusku menjalani hidup yang baru.
"Nad, udah siap pulang ke Jakarta?" tanya Rizal tiba-tiba sambil meraih tas kerjanya.
Pertanyaannya membuatku bungkam otomatis. Terus terang, pulang ke Jakarta adalah hal yang paling kuhindari. Bukan karena Jakarta kalah nyaman dengan Jogja. Namun aku takut pertemuan yang tidak disengaja nanti. Apa aku baik-baik saja jika bertemu dengannya nanti? Apa aku siap mendapatkan tatapan kebenciannya? Apa aku siap dengan semuanya? Tapi mau sampai kapan pula aku bersembunyi.
"Dua minggu lagi kita proses pulang, Nad. Nggak terasa ya? Jogja memang istimewa. Siap nggak siap, Nad. Tabrakin aja. Inget kan pas pertama kita di Jogja?"
Aku tertawa lirih, berjalan bersisian dengannya meninggalkan gedung perkantoran itu. Rizal mengingatkanku pada pengalaman kami jatuh bangun bersama. Tersesat di gang yang minim bahasa indonesia saat ingin mencari rumah sewa yang pada akhirnya kami memilih kos sementara tapi malah berlanjut sampai sekarang. Keliling Jogja jalan kaki karena waktu itu masih belum memiliki kendaraan. Lalu di bulan kedua kami patungan membeli sepeda motor bekas.
"Inget lah. Beli makan warteg sebungkus dimakan berdua tiap kita akhir bulan. Rizal, makasih ya udah mau jadi partner yang baik buat aku."
"Mas Rizal dong! Biar kayak orang jawa."
"Ngelunjak!"
Pria itu tergelak tawanya. Segera menghindar kala tanganku ingin mencubit lengannya. Diam diam bibirku melengkung ke atas. Aku yang pernah meragukan dia bisa bekerja sama denganku, nyatanya dia menepis keraguanku. Yang dulu kukenal lemes, di Jogja ini, adalah satu-satunya orang yang kupercaya memendam semua keluh kesahku. Pun sebaliknya, dia sering bertukar cerita. Kami saling berterima kasih untuk badan yang mampu saling bersandar. Saling sembunyi dari seseorang. Ironis memang, aku bersembunyi dari Darren dan Kania. Dia pun sama karena ternyata Kania suka sama Rizal dan sayangnya, Rizal tidak sepede itu menerima Kania. Luar biasa, seorang Kania ditolak Rizal di tiga minggu sebelum dirinya dimutasi. Fakta tersembunyi yang baru kutahu belakangan ini.
"Kalau boleh minta, aku lebih baik di sini," ucap Rizal.
"Tapi mau sampai kapan kita begini? Kamu tadi sendiri yang bilang, tabrakin aja. Belum ada lima menit udah berubah lagi."
"Kalau doang, Nad. Kalau nggak bisa ya udah tabrakin aja."
Lagi, dia sepenuhnya benar. Kalau saja boleh meminta, lebih baik aku di sini tanpa harus pulang ke Jakarta. Terlebih kembali ke kantor lama itu. Namun keadaan memaksa kami untuk segera kembali. Terlebih ada beberapa yang mengundurkan diri karena sudah berkeluarga. Mau tidak mau, kami memang harus kembali.
"Yaudah, kalau kangen Jogja kan kita bisa ambil cuti. Stay di sini untuk beberapa hari. Nggak salah emang kata orang, kota ini istimewa. Malah, belum pulang aja udah kangen duluan," ujar Rizal menatap langit jogja. Ada banyak bintang di sana. Jelas, udaranya masih bersih.
"Mungkin ini yang dinamakan mendewasa karena keadaan," sahutku memberinya senyuman tipis, menggambarkan kondisi kami berdua.
***
Kalau saat keberangkatan dulu ke Jogja kami memilih flight. Namun sekarang aku dan Rizal sepakat memilih memesan tiket kereta api. Rasanya tidak ingin secepat itu meninggalkan Jogja.
"Demi apa, Jogja tahan aku di sini, dong," lenguhku memasuki peron stasiun kereta, membuntuti Rizal yang membawa dua koper milik kami.
"Emang perpisahan itu nggak ada yang menyenangkan, Dek-ku."
Kami memasuki gerbong kereta Argo Dwipangga tujuan akhir Gambir, jakarta. Sekali lagi aku menghela napas. Seharusnya waktu dua tahun, cukup bagiku untuk menata diri. Menutup kisah lama. Ya, memang sudah kututup. Tapi terus terang ada ketakutan jika nanti Tuhan memang mempertemukan kembali.
Terlalu naif memang, mengingat apa yang kutulis dulu untuk Darren. Bahwa jika nanti dipertemukan kembali, berharap baik aku maupun dia dalam keadaan baik-baik saja. Impossible. Entah aku sendiri atau dia pasti tidak akan baik-baik saja. Sekali lagi, aku menatap ke luar jendela. Ada Rizal di sampingku, mengusap pelan puncak kepalaku seakan meyakinkan semua akan baik-baik saja.
"Semangat! Tabrakin aja. Hidup itu harus berani. Yahh, percuma dong kita merantau dua tahun berdua. Udah kayak pasutri kan."
"Lancang!" hardikku membuatnya tertawa.
Aku harus berani. Untuk kali ini, apapun yang akan menyambut kepulanganku di Jakarta nanti. Entah itu masalah baru atau rangkaian kisah lama yang minta dituntaskan. Sekali lagi aku menarik napas panjang, mengambil nomorku yang lama untuk dipasang kembali. Jakarta, aku mungkin tidak sesiap itu untuk pulang. Tapi aku hanya memberanikan diri. Semoga saja keadaan bisa bersahabat denganku nanti.
"Ada beberapa manager yang baru di sana. Kamu udah dengar? Semoga sih kita bisa beradaptasi dengan baik. Nggak nyangka, rasanya kita kayak orang baru lagi di sana ya," gumam Rizal.
"Ya, aku tahu. Pak Jimmy belum lama info. Tapi hanya sekadar info. Aku juga nggak tahu pasti siapa-siapa aja yang ganti."
"Yah, let we'll see. Dunia kerja kayak kita, nggak tahu kapan akan terlempar lalu ditarik lagi. Bersyukur aja sekarang, masih bisa bekerja. Di luar sana banyak yang sulit cari kerjaan."
"Mas Rizal!" Aku menoleh menatapnya.
"Apa?!" jawabnya turut menoleh, menatapku lekat-lekat. Entah, dia jadi kecanduan dipanggil Mas Rizal.
"Jogja bukan hanya mendewasakan kita ternyata. Tapi juga meluruskan otak seseorang," jawabku mengejek.
Terus terang, kami dekat. Tapi tidak seserius itu untuk sebuah hubungan. Lebih dekat bahkan seperti hubungan keluarga. Saling menjaga, saling bersandar. Baik aku maupun dia memang tidak ada minat untuk sebuah komitmen. Tapi tidak tahu nanti.
"Untung kenal," ujar Rizal menjauh dari tatapanku.
***
Tbc
26 juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top