Bab 15

Tentang Darren Kevan

Pria itu terdiam menatap punggung wanita yang masih berstatus sebagai kekasihnya, meninggalkan cafe tempatnya bekerja dan satu bingkisan warna merah di meja Bar. Sejujurnya, dia sangat ingin meraih tubuh itu, memeluknya erat. Rindu itu begitu besar. Namun ada hal yang tidak bisa dia maafkan. Bukan salah Nada. Sama sekali bukan. Adalah salahnya sendiri.

Dia yang terlalu kasar bicaranya sama Nada. Dia yang kesulitan untuk mengontrol diri. Tekanan kuliah semester akhirnya dan belum lagi dari ayahnya sendiri yang begitu keras memaksakan kehendaknya. Agar Darren mau kuliah di luar negri. Semuanya bergumul mengikat dirinya saat ini. Sampai-sampai dia takut Nada akan meninggalkannya. Bicaranya yang kasar tidak pantas rasanya berada di lingkungan Nada. Apalagi jarak usia, pasti Nada hanya akan menanggung beban untuknya.

Apa yang dia lakukan hanya untuk menjaga nama baik Nada. Sampai nanti dia membuktikan diri, dunia berada digenggamannya dan dia bertekad akan menjemput Nada untuk melanjutkan hidup bersama. Itu tekadnya, juga mimpinya. Setiap harinya dia selalu berbisik dalam doanya, agar Nada bersabar menunggu waktu itu. Ya, seserius itu Darren pada Nada.

Namun malam ini, semuanya lenyap. Darren baru merasakan dunianya runtuh. Bingkisan paperbag warna merah itu adalah hadiah dari orang yang paling dia cintai untuk pertama kali dan parahnya sebagai salam perpisahan. Tidak ada yang menyangka jika Nada akan meninggalkannya secepat itu. Tanpa sebab juga tanpa penjelasan. Pasalnya, Darren sama sekali tidak ada melihat sesuatu yang lain. Semuanya baik-baik saja tadi.

Darren, aku mungkin pernah berjanji untuk nggak ninggalin kamu. Aku juga mungkin pernah berjanji untuk selalu sama sama dengan kamu. Menyemangati kamu, hadir di wisuda kamu nanti. Maaf, cuma kata itu yang bisa aku ucap untuk kamu. Aku yang ingkar janji. Semua yang kujanjikan nggak ada yang kutepati. Ini salahku.

Darren, kamu boleh benci aku. Nggak apa-apa. Aku mengerti. Belakangan kamu menghindar, kuanggap ini salahku. Darren, kita udahan ya, biar kamu nggak perlu capek menghindar. Aku nggak mau tanya kenapa, cukup begini aja. Benci aku, Darren. Kamu bisa kan? Anggap aja untuk alasan di atas. Ya, aku yang nggak pernah bisa tepatin janji untuk orang seperti kamu.

Semenyesal itu Darren sekarang. Seharusnya dia tidak pernah mengabaikan Nada. Seharusnya Nada masih ada untuknya kalau Darren tidak sok sedewasa ini. Alasan apa? Alasan yang tidak masuk akal, decih Darren sambil memacu motornya menuju ke rumah Nada. Tidak bisa, Nada harus tetap bersamanya.

Yang dia dapati rumah itu gelap. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Nada namun tidak ada hasil. Kania pun tidak tahu. Tangannya mengepal keras. Di dalam hatinya dia mengutuk dirinya sendiri. Dia kehilangan satu-satunya orang yang selalu mendukungnya. Cerewet mengingatkan dia untuk bicara sopan. Karena orang tidak tahu kapan akan jatuh. Kalau bicara selalu kasar, bisa saja akan membuatnya kehilangan segalanya. Terlebih, orang tidak akan menghargainya lagi.

"Lo tahu kemana Nada? Dia kemana?!" tanya Darren ketika pada akhirnya Kania menjawab panggilannya. Nada suaranya sudah tidak baik-baik saja.

"Nggak tahu.  Dia nggak bilang mau kemana. Gue tadi pulang duluan, Darren. Kan besok mau arisan keluarga. Emang Tante nggak bilang sama lo?"

"Nada nggak ada! Dia pergi! Gue nggak mau tahu urusan arisan. Kasih gue semua nomor temen dia! Sekarang!"

Pipinya kini sudah basah. Dia menangis tanpa terisak. Hanya dada yang dirasa kian sesak. Kehilangan itu ternyata semenyakitkan ini. Dari sekian nomor kontak yang dikasih Kania, tidak ada satupun yang tahu kemana Nada pergi. Memang tidak ada yang tahu. Karena sebelumnya memang Nada meminta untuk merahasiakan namanya dari daftar mutasi karyawan setelah diberi kabar akan dimutasi begitu pulang dari cafe tempat bertemu dengan ayah Darren.
***

Pagi ini, Darren mencoba kembali menghubungi Nada setelah sebaris pesan salam perpisahan dia terima. Seserius itu Nada ingin pergi darinya? Kenapa? Pertanyaan itu terus bermain di pikirannya.

Masih ingat benar bagaimana Nada memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Nada yang selalu mengajarinya untuk betah di rumah, berbagi cerita, bercanda bahkan memasak bersama di dapur rumah Nada. Dia pula yang mendisiplinkan untuk memprioritaskan belajar. Bukan demi nilai, kata Nada. Tapi demi dirinya sendiri. Saat kita tahu banyak ilmu, pekerjaan yang akan datang pada kita. Bukan kita yang kelimpungan mencarinya.

Nada berbeda. Bukan seperti cewek cewek yang sebelumnya biasa Darren goda. Yang hanya tahu merek mahal, bergaya dan belanja. Katanya menghabiskan masa muda. Sayangnya,  secepat itu Nada menghilang dari hidupnya. Tanpa dia tahu kemana perginya. Bahkan saudaranya yang satu kantor dengan Nada pun tidak tahu? Lelucon macam apa ini?

Darren berteriak keras di rooftop rumahnya. Berharap rasa sesak dan patah hati itu setidaknya berkurang sedikit.

"Ya?" jawab Darren lirih ketika Kania menelponnya.

"Beneran nggak ada si Nada? Gue tanya Rizal juga nggak tahu. Emang nggak mungkin juga dia tahu. Kan nggak begitu dekat. Sekadar akrab di kerjaan doang. Aduh, kemana ya? Nyesel juga diajakin nginep nggak mau. Nggak kepikiran kalau dia akan pergi gitu aja. Nggak tahunya dia ngajak nginep mau salam perpisahan?" lenguh Kania ketika menyadari ada hal yang tak biasa dari Nada. Sejauh dia mengenal Nada, baru kemarin itu Nada mengajaknya menginap. Biasanya Kania sendiri yang langsung datang atau merajuk biar Nada membolehkan dirinya menginap.

"Kania, lo tahu kenapa Nada putusin gue?"

"Nggak tahu. Rasanya nggak mungkin Nada mutusin lo gitu aja. Lo ada salah mungkin? Tapi nggak mungkin juga. Nada itu, memang keras tapi dia pemaaf. Ini yang aneh. Nanti gue bantu cari tahu deh. Kalo ada kabar, gue telfon lo ya?"

Tidak tahu lagi harus bagaimana. Darren hanya terdiam. Ditangannya ada speaker Bluetooth warna merah pemberian Nada. Dia menatapnya luruh.

Tunggu aku, Nad. Aku pasti bisa cari kamu. Aku janji, Nad. Belajar serius, punya masa depan yang bagus biar kamu nggak ada alasan untuk ninggalin aku lagi. Tunggu aku ya, Nad. Jangan ada orang lain.

Tangannya mengepal kuat. Menggenggam pemberian dari Nada. Anggap saja ini Nada yang akan selalu menemaninya sementara waktu sampai dia kembali menemukan Nada. Janjinya, dia tidak akan bertanya alasan gadis itu menghilang. Dia hanya perlu Nada bersamanya nanti.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance