Bab 14

"Lagi ada masalah emang?" tanya Rizal sambil melangkah keluar dari Bandara Yogyakarta yang baru itu.

Aku terdiam sejenak. Sejauh aku kenal Rizal, aku tidak pernah bicara sedekat ini. Selama ini cukup mengenal sebagai rekan di lingkungan kerja. Tidak pernah sedikitpun ada pikiran akan menjadi teman rantau dari nol seperti ini.

"Nggak ada. Cuman tahu lah, sedekat apa aku sama Kania," jawabku kemudian tertawa kecil, "Jangan sampai bilang kalau aku di sini. Apalagi sama kamu."

"Takut bocah kuliahan itu nyusulin kemari ya?"

"Nggak lah. Ngapain nyusul ke sini. Kita udah masing-masing kok. Lagian, bocah macam dia, sebentar-sebentar juga udah ganti. Umur-umur segitu mah cuma penasaran doang adanya," jawabku sok bijak.

"Iya, sih. Paham," sahut Rizal. Tangannya mengambil alih koperku untuk dimasukkan ke bagasi mobil.

Sengaja, aku tidak membawa banyak barang dalam koper. Sisa barang, mungkin akan kupikirkan nanti. Kalau memang nyaman di kota yang baru ini, ada kemungkinan aku akan kembali ke ibu kota mengambil sisa barang. Namun sepertinya memang aku akan nyaman di sini. Udaranya masih bagus, masih segar.

"Yaudahlah. Jangan dipikirin lagi. Ini kan anggap saja kita terlahir kembali. Nggak ada yang kita kenal di sini. Jangan terpaksa berjuang hidup sama aku di sini."

"Yaaah, gimanapun. Aku sama sekali nggak pernah kepikiran kita akan di sini bareng-bareng."

"Tenang aja, ada Mas Rizal," ucapnya terkekeh.

"Nanti siang temenin ke counter hp, mau ya?"

"Ngapain? Emang rusak hp nya?"

"Enggak. Beli nomor baru. Kayaknya itu perlu. Nggak pengin? Katanya mau mulai hidup baru."

"Nggak gitu. Masalahnya aku buat apa ganti nomor? Yang hubungin aku siapa?"

"Yakin nggak mau? Ntar dikit lagi Kania juga nelponin kamu mulu," jawabku menyeringai. Dia terdiam, seperti menimbang-nimbang lalu mengalihkan tatapannya ke luar jendela mobil. Nasib kami, pemandangan kanan kiri sawah yang baru saja selesai panen.

Tanganku kini membuka ponsel. Masih tidak ada kabar dari Darren. Ah, sial, mengapa aku masih saja memikirkan dia. Aku mengembuskan napas, mungkin memang sudah tidak ada lagi ruang untukku di hatinya. Mungkin memang dia juga tidak menginginkan pemberian dariku. Padahal di dalamnya aku sudah menulis salam perpisahan untuknya. Kalau Darren yang dulu, sudah pasti akan langsung menggebu-gebu, meledak emosinya ketika membaca pesanku. Tapi sudahlah, memang mungkin semua sudah berbeda. Dan harus berakhir secepat ini.

"Udah sampai, Nad. Lumayan lah buat istirahat semalam," ucap Rizal membangunkanku dari lamunan.

Aku menatap bangunan bergaya khas jawa itu. Bukan hotel, hanya sekedar homestay yang sangat miring harganya karena pakai voucher diskon. Bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kami yang sama-sama tidak tahu daerah di Jogja ini. Jangankan nama-nama tempatnya, arah jalan pun kami buta.

"Nanti gimana cari rumah sewa nya?" tanyaku mulai khawatir.

"Gampanglah. Nanti kita minta nomor kontak karyawan pusat yang bisa bantu kita. Mungkin bisa minta tolong OB. Yang aku tahu sih ambil dari warga sini," jawab Rizal menenangkan seraya memberikan satu kunci kamar untukku.

Tidak ada pilihan lain. Saat ini kami adalah dua rekan kerja yang jadi saling ketergantungan. Yang sedikit lagi akan naik level jadi sahabat mungkin. Aku melangkah masuk ke kamar. Kasur single dengan sprei motif batik terbentang rapi di sana. Tubuhku meronta meminta untuk segera direbahkan. Sementara tanganku kini mengetik pesan sebelum benar-benar memulai dari awal lagi.

Darren Kevan, aku ingat dan akan selalu ingat bagaimana kamu menyebutkan namamu dengan lantang. Mengejar cinta begitu semangat sampai pada akhirnya aku luluh. Aku nggak semenyesal itu pernah menjadi bagian dari hidupmu. Terima kasih, Darren. Aku anggap kamu menghindar karena aku ada salah. Makanya, aku minta maaf. Lain waktu kalau kita dipertemukan kembali, aku hanya berharap kita bertemu dengan keadaan baik bahkan sangat baik. Tetap semangat sampai dunia luluh sama kamu. Seperti bagaimana kamu semangat membuatku luluh.

Darren, kamu nggak cari aku kan? Jangan cari, kamu benar, jangan cari. Sesayang itu aku sama kamu, makanya jangan pernah cari aku.

"Mampus! Kania nelponin aku!" Suara Rizal menyembul masuk ke kamar dari celah pintu.

Aku yang sedang merapikan baju ke lemari, menoleh. Mungkin Kania sudah tahu aku tidak lagi berada di ibu kota. Atau mungkin Darren menggedor Kania, tapi itu tidak mungkin. Mataku melirik pria yang sedang duduk di tempat tidurku.

"Kok nggak panik? Serius ini."

"Ngapain panik? Kan hp-ku udah mati dari tadi. Makanya kan tadi aku bilang sama kamu, yakin nggak mau ganti nomer? Itu dikit lagi paling bocah itu nelpon kamu."

"Apa?" Seketika tangannya menekan tombol off di ponselnya.

"Tunggu, kalau kamu ganti nomor, kamu minta kontak karyawan sama siapa?"

"Sama HRD lah. Nggak apa-apa kan nomernya ada simpan di email."

"Tumben cerdas," sahutku yang kemudian dihadiahi lemparan bantal olehnya.

"Ayo, buru siap-siap. Kita ke counter hp dulu baru jalan cari rumah sewa. Apartemen kalau ada."

Aku berdecih, "Gayamu selangit. Baik baik, bulan depan gaji pokok terjun bebas."

Pria itu tergelak tawanya. Hanya kami yang dengan sangat tidak waras mau dimutasi ke kantor pusat bukan dengan naik gaji tapi turun gaji. Yang pasti, aku sendiri punya alasan lain.

"Oya, kira-kira Kania bakalan nanya nggak alamat kantor pusat kita ini?" tanyaku menjadi waspada.

"Mungkin. Tapi tenang. Kan ada Mas Rizal," ujarnya sambil menepuk dada.

Entah, jalan hidupku kini berubah dalam sekejab. Meninggalkan segala kesibukan dan keriuhan ibu kota. Menepi di kota Jogja. Yang kutahu, aku sedang berlari dari Kania dan Darren. Tidak tahu sampai kapan Tuhan akan bersedia menjauhkanku dari mereka. Tapi teman baruku ini? Ya, mungkin bisa sedikit diandalkan. Sepertinya itu juga.

"Nad, ganti nomer kan harus registrasi lagi. Maksimal 2 kali kan?"

"Emang kamu ada niat mau ganti sampai lebih dari dua kali?"

"Ya,  enggak. Tapi kan,"

"Tadi sih ada yang bilang, tenang, kan ada Mas Rizal," ujarku lengkap dengan tatapan menusuk.

Pria itu terdiam, menggaruk kepalanya. Sejenak kemudian dia menggapai lenganku, menarikku untuk meninggalkan Griya itu sebelum siang memanggang kami.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance