Bab 13
Sampai di bulan ketiga pacaran dengan Darren bukan berarti semua awet manisnya. Seperti permen gula kapas yang menciut terkena angin yang lama-lama hanya meninggalkan biangnya. Darren dengan watak kerasnya dan mulut kotornya yang sulit untuk dikontrol.
Aku tersenyum kecut. Seharusnya dulu tidak begitu saja meluluh padanya. Seharusnya semua masih bisa kukendalikan. Setan kecil itu memang seharusnya tidak kupedulikan. Menyesal? Ya, terus terang. Meskipun sedikit. Terlebih aku harus berhadapan dengan seseorang yang sedang duduk di hadapanku dengan tatapan dingin. Keangkuhannya tergambar jelas di sana. Jadi ini yang namanya Om Gustaf?
"Tinggalkan dia. Seberapapun kamu mencintainya, kamu sudah dewasa kan? Tentu kamu sudah lama di dunia kerja. Kamu pasti mengerti, di dunia ini, mencintai saja tidak cukup. Saya tidak yakin bocah itu mampu bertahan. Apalagi sama kamu. Nada, semuanya butuh yang sepadan. Om anggap, kamu orang baik. Lepaskan dia. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Masih terlalu muda untuk berurusan dengan percintaan. Itu hanya akan mematikan masa depannya. Kamu mengerti?"
Jadi ini alasan mengapa Darren tidak pernah lagi muncul? Seperti permen kapas yang terkikis udara. Aku menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk tetap tenang. Kata-katanya halus namun nada suaranya yang dingin seperti guyuran air es tepat di atas kepala. Menusuk tanpa aba-aba bahkan nyerinya kini bercampur dengan gelegak emosi. Aku kembali ditarik untuk menepi dari segala hal yang tidak seharusnya kusentuh. Cinta dan perasaan. Lagi-lagi ini masalah tentang sepadan. Aku siapa? Hanya karyawan kantor kecil dari keluarga yang kalau sudah makan kenyang saja rasanya cukup.
Ya, jarak sepadan itu kembali terbentang. Aku ingat benar apa yang dikatakan Kania. Om Gustaf adalah seseorang yang berasal dari keluarga keras yang mengutamakan pendidikan tinggi di universitas ya minimal UI. Sementara aku? Aku tertawa lirih menyadari jauhnya jarak sepadan itu. Aku hanyalah lulusan kampusnya para karyawan. Sudah bisa bekerja di kantor perusahaan kecil ini saja sudah sangat bersyukur.
"Saya tidak butuh jawaban apapun dari kamu. Cukup lakukan saja. Jauhi dia, mari sama-sama melanjutkan hidup masing-masing."
Laki-laki berjenggot putih itu segera beranjak dari hadapanku tanpa menunggu jawaban dariku. Memangnya setidakberharganya itu aku? Kali ini aku tersenyum getir melepas kepergiannya. Segelas ice latte di hadapanku sudah mengering gelasnya. Aku menghela napas, beranjak dari cafe itu kembali ke kantor.
Aku masih baik-baik saja kan? Om Gustaf adalah orang yang kesekian kalinya memandangku rendah. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Ya, jika memang ini yang baik menurutnya, tidak mengapa. Tidak banyak yang kuinginkan. Seperti yang tadi dikatakan, mari sama-sama kita melanjutkan hidup masing-masing. Semoga saja Tuhan masih menyisakan jalan untukku melewati hari-hari.
"Nad?" suara Kania memanggilku lengkap dengan kerutan di dahinya.
"Pulang kerja ada acara nggak? Temenin aku ke gerainya JBL yuk?" Aku menarik seulas senyuman. Jangan sampai Kania tahu soal ini. Dia adalah orang yang mendukung Darren saat PDKT habis-habisan. Bahkan sampai detik ini.
"Ayo. Tapi nanti ada brifing sebentar sih denger-denger. Mau ada mutasi tiap divisi di kantor pusat yang baru."
"Oya? Oke," sahutku mengangguk-angguk. Dalam hati, aku sangat berharap namaku yang muncul di daftar karyawan yang dimutasi. Tidak mengapa harus memulai lagi dari nol untuk hidup di kota lain. Tidak mengapa pula harus merelakan gaji pokokku turun mengikuti UMR kota itu.
Perasaanku kini tidak bisa digambarkan. Pertemuan singkat itu seperti badai, sekejab menghampiri namun meluluhlantakkan semuanya. Mungkin bagi orang-orang, ternyata aku selemah itu. Tapi untukku, rasanya cukup lelah menghadapi orang-orang yang merendahkan. Apa salah kalau aku hanya ingin hidup tenang?
***
Namaku ada di daftar karyawan yang dimutasi. Bahkan surat mutasi sudah ada ditanganku. Dan sama sekali aku tidak berminat mengabari siapapun. Dua hari lagi, aku dijadwalkan berangkat. Kota istimewa itu, entahlah, sudah lama sebenarnya aku ingin pergi ke sana. Namun Tuhan malah menjawabnya dengan surat mutasi kerja selama dua tahun. Luar biasa memang.
"Divisimu siapa yang dimutasi? Aku pengen deh coba hidup di Jogja. Sayang, malah namaku nggak ada."
Aku menoleh, terlihat Kania mengerucutkan bibirnya sambil melihat-lihat produk JBL. Ditanganku kini ada speaker Bluetooth mungil warna merah. Aku tahu Darren suka warna itu. Anggap saja, ini sebagai hadiah perpisahan. Ya, meski aku tidak berharap Darren mau menerima. Setidaknya, ini terakhir kalinya aku melakukan atas nama perasaan.
"Nggak tahu juga. Mungkin besok pagi baru dikasih tahu. Karena kan ada yang lagi cuti."
"Oya, abis ini kamu mau kemana?"
"Ketemu Darren. Ikut yuk? Kamu nggak mau nginap di rumahku? Udah lama kan kamu nggak nginap?"
"Emmm, boleh. Besok Sabtu kan? Tapi Sabtu sore aku pulang ya? Mamaku hari Minggunya ada arisan. Tahu lah apa yang harus aku kerjain?"
Aku tertawa. Segera menggandeng lengan Kania meninggalkan gerai JBL menuju ke cafe tempat Darren part time. Seharusnya setan kecil itu berada di sana.
Yang kudapati nyatanya mau tak mau membuatku menahan napas. Dia memang berada di sana. Namun Melani, gadis teman kampusnya, berada di sana. Mata itu saling bertatapan ketika aku memasuki cafe itu. Aku tahu, tanpa harus bertanya. Dia menghindariku. Senyum tipisku tercipta.
Tidak mengapa. Aku sudah melepaskan. Saat ini aku hanya sedang memberimu salam perpisahan. Entah apa alasanmu menghindariku, aku tidak perlu tahu.
"Bocah itu bener-bener ya?!" ucap Kania bernada geram. Aku segera menahan lengannya untuk tidak merangsek maju.
"Tunggu di sini aja. Abis itu kita cabut. Aku ada rekomen kedai kopi baru. Dekat rumah. Oke?"
Yang kulihat Darren beralih pura-pura sibuk ketika aku menghampiri bar nya. Lagi, aku hanya bisa tersenyum tipis. Dia dengan kesempurnaannya tergambar jelas di bawah sinar lampu gantung itu. Ditambah saat ini sedang berhadapan dengan mesin kopi. Sayang, semua harus berakhir di sini. Demi kebaikan kita masing-masing.
"Darren, apa kabar? Jangan menghindar, nanti kamu nyesel," ucapku kemudian tertawa lirih, "Aku nggak lama kok, cuma mau kasih ini buat kamu. Kalau kamu nggak mau, kamu bisa kasih ini ke orang. Atau jual lagi aja nggak apa-apa."
Aku menghela napas. Dia masih sok pura-pura sibuk. Namun aku tahu, sudut matanya melirik ke arahku.
"Aku taruh di sini ya? Aku pulang," ujarku kemudian berbalik arah meninggalkan cafe itu.
Tidak ada yang tahu bagaimana aku mati-matian menormalkan suaraku, menceriakan wajahku agar terlihat seperti biasanya. Aku tidak memaksa agar Darren mau bicara setidaknya untuk terakhir kalinya aku mendengar suaranya. Aku tahu kerasnya bocah itu.
"Nad, aku nggak jadi nginep deh. Keluarga luar kota pada dateng. Nggak enak aku," ucap Kania.
"Yaudah nggak apa-apa. Salam aja ya, kamu hati-hati di jalan."
Aku menatapi punggung mungil itu meninggalkanku. Entah, ini jalan yang baik atau bukan. Perpisahanku cukup sampai di sini. Rasanya luar biasa. Aku seperti orang terasing di ibu kota seramai ini. Aku menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel begitu ada bunyi panggilan masuk.
"Kamu mau ikut flight besok subuh nggak? Biar sampai sana kita cari penginapan sehari, sambil kita nyari rumah sewa? Jadi kita nggak capek banget. Kalau kita berangkat sabtu malam, tiket kita kan kereta, sampai sana pagi, kita cari rumah sewa, seninnya ngantor, mana sempat kita istirahat?"
Yang menelponku adalah Rizal. Pernah satu divisi dengaku namun kemudian pindah jadi satu divisi dengan Kania. Dan entah kenapa, sekarang dia ikut dimutasi, sama denganku. Namun aku sudah membungkam mulut lemesnya dengan diskon member kopi favoritnya. Karena cukup bahaya kalau sampai Kania tahu.
"Oke, pesenin tiketnya sekalian ya, datanya aku kirim sekarang. Aku pulang sekarang buat packing."
"Siap, Nad. Naik taksi online ke kosanku,ya. Nanti bareng ke Bandaranya."
"Oke, sip. Thank you, Mas Rizal," ucapku sok manis berujung terdengar suara batuk di ponsel.
"Sialan! Sok manis. Kalo masih jomblo gue pacarin lo!"
"Soon to be. Tapi nggak usah. Ntar kita nyari di Jogja aja."
Secepat ini perpisahan. Aku menatap gedung Mall itu, masih tidak menyangka. Secepat itu jadian lalu secepat itu putus. Pacaran macam apa?! Tapi setidaknya, terima kasih, pernah singgah sementara di perjalanan hidupku, Darren. Meski tidak begitu membekas perasaannya. Tapi nyatanya begitu sakit ketika melangkah pergi.
***
Tbc
25 Juli 2021
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top