Bab 11
"Jangan bikin saya menyesal, udah biarin kamu kenal saya," bisikku memeluk satu punggungnya.
Dia menoleh. Tubuhnya yang tadi menegang kini kembali mengendur ketika mendengar suara itu milikku. Dia tertawa kecil memutar satu lengannya, menarikku ke sisinya dalam rengkuhannya.
"Aku malah berniat bikin kamu nyesal," katanya tersenyum miring.
"Darren!"
"Iya, nyesal kenapa nggak kenal aku dari dulu."
"Oya?" Aku mengatupkan mulut.
"Anugrah banget nggak sih bisa kenal cowok sekeren Darren? Kamu beruntung, Nad. Eh, enggak. Aku sih yang beruntung. Akhirnya bisa bikin kamu peduli sama aku."
Aku tertawa sumbang. Ada rasa canggung yang tiba-tiba datang. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Sejenak aku diam di antara langkah kaki bersamanya.
"Darren?"
"Apa?" sahutnya melembut, terdengar begitu dewasa menyamarkan usia yang sebenarnya.
"Kuliah lancar?"
"Lancar. Bimbingan skripsi lancar. Hal yang harus kamu tahu, Nad. Kamu itu brengsek tahu nggak?"
"Hei, mulut kamu itu bisa cakep sedikit nggak ngomongnya?" tegurku seketika. Kata 'brengsek' sedikit menganggu pendengaranku. Ini hanya masalahku yang tidak terbiasa dengan kata-kata kotor itu.
"Kenapa sih?"
Aku mengatupkan mulut, memberikan pelototan tajam memperingatkan padanya. Sementara dia hanya melebarkan cengirannya.
"Emang benar kamu brengsek. Udah bikin aku tergila-gila sama kamu. Dan selamat, cuma kamu doang yang berhasil," katanya dengan senyum pongahnya.
"Tapi nggak brengsek juga, Ren."
"Terus apa? Ini Darren, Nad. Bukan hal yang biasa kalau Darren sampai ngejar-ngejar cewek kaku kayak kamu. Bukan kaku. Cuma gengsinya selangit. Gengsi mengakui perasaan. Untung aku peka."
Kepalaku tergeleng singkat. Sepertinya percuma berdebat dengannya. Lagipula aku tidak menginginkan sebuah perdebatan untuk saat ini. Biar saja aku menikmati proses awal membuka hati untuk Darren. Sebenarnya masih sedikit ragu pada alasan mengapa pada akhirnya aku memutuskan untuk luluh dan membiarkannya masuk ke dalam hidupku. Aku melupakan hal yang kutakutkan bahwa bisa saja dia datang untuk sesaat seperti yang sudah-sudah.
Aku menarik napas, mencoba meyakinkan diri seiring dengan senyum kecil yang tercipta sama di bibirku. Kali ini aku tidak mempedulikan tatapan teman-teman kantor yang kebetulan melintas melihatku dirangkul anak kuliahan yang cocoknya jadi adik bukan pacar.
"Langsung pulang ya? Biar kamu nanti nggak capek belajarnya," ucapku ketika sampai di parkiran motor.
"Aku maunya ditemenin kamu. Nanti mampir ke teman aku dulu. Mau ambil buku," sahutnya sambil memakaikan helmet ke kepalaku.
Darren. Manisnya nggak tanggung-tanggung. Sebentuk perhatian kecil seperti ini yang membuatku menggelengkan kepala. Sudah serasa aku kembali pada jaman SMA dulu. Pas lagi manis-manisnya cinta monyet. Dan beranjak dewasa aku merasa tidak membutuhkan hal-hal yang seperti itu. Rasanya itu anak kecil banget.
"Oke, cuma ambil buku kan?"
"Iya, sayangnya Darren," jawabnya sambil menungguku duduk di boncengan, "Pegangan jangan lupa. Biar nggak disangka aku tukang ojek."
Kali ini aku tidak banyak menolak seperti biasanya. Meski sedikit canggung ketika melingkarkan tanganku di perutnya. Tapi perlahan atmosfer kenyamanan menyelimutiku. Ini aneh juga lucu. Merasa aku bukanlah seseorang yang kukenali.
Lebih dari itu sebuah kelegaan itu mengisi rongga dadaku. Tepatnya setelah aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatan tidak penting di diriku mengenai Darren. Dan sore ini sepertinya memiliki cerita baru. Dengan aku di belakang Darren mendengarkan ceritanya sepanjang hari ini. Tentang dia yang makin semangat untuk berkomitmen. Juga semangat untuk segera merampungkan kuliahnya. Sebelum kemudian dia menghentikan laju motor maticnya di depan sebuah rumah berwarna kuning. Dan seorang cewek sudah menunggu di depan pintu gerbang dengan sebuah buku di tangannya.
"Hai, sorry ya udah ngerepotin kamu. Aku yang minjem harusnya aku yang balikin. Tapi nggak apa-apa kan? Biar sekalian kamu tahu rumah aku," sapanya lengkap dengan derai tawanya.
"Lain kali sih jangan. Kebetulan aja searah jalan pulang," jawab Darren tanpa turun dari motornya.
"Iya, iya. Abis jemput kakak?" tanyanya sambil melirik padaku.
Sementara aku menatap datar. Menahan sebal sebenarnya. Tapi memang benar keadaannya. Darren jauh lebih cocok menjadi adikku ketimbang pacar. Seseorang di dalam diriku mentertawakan kekonyolan ku.
"Bukan. Udah sih, jangan kepo. Jangan julid kayak netizen jaman sekarang. Gue cabut ya. Besok-besok kalo mau balikin buku langsung di kampus aja."
Aku melihat cewek itu mengerucutkan bibirnya ketika Darren menolak untuk menjawab. Sementara aku memilih tidak bicara. Membiarkan mereka saling menyahut sebelum akhirnya Darren kembali melajukan motor maticnya. Satu hal yang terlewat, entah bagaimana bisa cewek itu tidak melihat juga menyadari bahwa dua tanganku masih melingkar di perut Darren.
"Teman satu kampus?" tanyaku di tengah perjalanan.
"Dari SMP. Cuma mulai akrab pas semester tiga. Baru aja sih itungannya. Kenapa? Cemburu ya?"
"Dih. Kenapa saya harus cemburu?" Dengusku.
"Haruslah. Kan pacar."
"Terus kenapa tadi kamu nggak bilang terus terang aja?"
Darren tertawa. Aku melihat matanya melirikku dari spion.
"Biar dia penasaran aja. Namanya Melani. Terus, nggak tahu. Nggak begitu kenal. Meskipun akrab juga. Aku nggak mau tahu banyak-banyak," jawabnya mengedikkan bahu.
Aku mengembuskan napas. Jawabannya membuatku seperti tertantang untuk tahu lebih dalam siapa Darren. Bagaimana nantinya apa sama dengan yang lain? Ada pepatah kan, yang manis di awal belum tentu berakhir dengan manis juga?
***
Tbc
Kalian pada nungguin kah? Maafnya mandegnya lama banget. Berharap kalian suka.😉
29 Januari 2019
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top