"Darren Kevan. Panggil aja Darren."
Aku masih ingat gaya bicara dan nada suaranya. Sok akrab. Itu menurutku. Ramah sih. Aku paham, karena setiap hari menghadapi banyak orang. Aku tahu dia bekerja di sebuah kedai kopi. Aku biasa ke sana untuk menghabiskan sore, sepulang kerja. Hanya sekedar tahu dan aku tidak berminat untuk mencari tahu.
Dan siang itu, dua minggu yang lalu, mendadak Kania, teman kantorku dan aku kenal akrab, memaksaku untuk menemaninya ke kedai kopi tersebut. Aku tidak pernah berpikir jika dia akan mengenalkan aku dengan cowok itu. Tidak.
Kania juga memberikan nomor ponselku dengan alasan Darren merongrongnya. Dan hari-hariku selanjutnya bisa dibayangkan. Arena permainan Hysteria di Ancol bahkan kalah membuat jantung copot. Ada saja yang Darren lakukan untuk mendapatkan responku.
Mulai dari memberikan kopi cuma-cuma lengkap dengan art yang sempurna ketika aku berkunjung ke kedai kopi itu. Darren bekerja sebagai barista di sana. Lalu nekat duduk di hadapanku ketika memang jatah dia pulang datang. Menelponku tengah malam. Ucapan selamat pagi yang tak pernah absen. Perhatian-perhatian entah apapun itu.
Tapi sama sekali aku tidak memberikan respon hangat. Karena yang ada di otakku hanyalah, anak kemarin sore yang sedang mencoba mencari perhatian. Selebihnya ya sudah, lewat begitu saja.
Kania banyak cerita tentang dia setelah mengenalkannya padaku. Mulai dari perjuangannya keluar dari rumah. Selisih pendapat dengan ayahnya yang seorang dosen ekonomi. Ayahnya menginginkan anaknya terjun di dunia pendidikan juga. Sedang Darren bersikukuh mengambil kuliah jurusan IT. Itu membuatnya harus bekerja keras mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya.
Oke, sampai di sini, aku cukup memuji kegigihan anak itu. Tapi bukan berarti aku memberikan respon ramah untuk setiap caranya mencari perhatian. Entah apa yang anak itu inginkan.
Dan sore ini, kantorku menjadi geger gara-gara kedatangannya. Beberapa orang berbisik-bisik, adik siapa? Kakaknya mana nggak nongol-nongol. Kasihan nungguin dari tadi.
Ada juga yang menimpali, membuatku mengatupkan mulut diam-diam di hadapan laptopku dengan tatapan serius pura-pura tidak tahu. Bukan nyari kakaknya. Jemput pacarnya. Siapa ya pacarnya? Ganteng sih, banget. Tapi masih unyu.
Aku mengembuskan napas. Masih unyu itu mengarah pada umurnya. Aku tahu. Karena rata-rata perempuan yang bekerja di sini itu umurnya 24 tahun ke atas. Aku masih berusaha untuk diam di kursiku, bukan bekerja. Karena pekerjaanku sudah selesai beberapa menit lalu. Aku hanya berdiam menatapi lembar kerjaku.
Tapi kemudian, aku hampir tersedak napasku sendiri ketika Kania, berbeda divisi denganku, menyembulkan kepalanya di pintu, berseru hingga orang-orang di ruangan bersamaku, menoleh. Dia dan Darren tidak ada beda. Aku menggeram dalam hati.
"Nad! Nada! Pacarmu udah nungguin tuh di lobi!"
Seketika aku merasa duniaku berhenti. Aku terdiam tidak tahu kata apa yang harus kulontarkan untuk Kania. Terlebih ketika seluruh rekan kerjaku menoleh, menatapku dengan tatapan tidak percaya.
"Nad?"
Itu sebuah pertanyaan bernada meminta penjelasan atau sejenis klarifikasi dari Pak Jimmy, orang tertua di divisi kami. Beliau sesepuh kami meski bukan leader kami. Pria bermata sipit itu memberikan tatapan menelisiknya. Tatapan yang sama dari para rekan kerja satu divisiku.
Aku hanya bisa menggeleng. Tapi kemudian terduduk lemas ketika seseorang berbicara nyeletuk.
"Nad? Serius pacar kamu? Kayak masih bocah? Di sini banyak yang dewasa lho. Ini..."
"Nad! Buruan. Udah satu jam dia nungguin kamu!" seru Kania lagi.
Demi apa? Dia bukan pacar aku! Aku menjerit dalam hati. Hingga kemudian seseorang masuk membuat suasana semakin gaduh dan itu semakin menguatkan dugaan bahwa Darren, bocah sinting itu adalah pacarku.
"Jadi bocah yang di lobi itu pacar kamu, Nad? Udah sana temuin. Kasian nungguin lama. Daritadi katanya. Tadi aku tanya. Sekarang lagi digodain cewek-cewek tuh."
"Rizal!!!" Aku memekik geram disertai dengan tatapan kesalku padanya. Pria berkaca mata itu malah mengacungkan dua jarinya, swear, nggak bohong.
Aku mendengus. Mendapati semua orang menatapku tak percaya adalah sebuah hal yang menyebalkan. Aku mencium sesuatu hal buruk bahwa sebentar lagi namaku akan menjadi trending topic di kantor ini. Dengan headline Nada mengakhiri masa lajangnya dengan seorang bocah. Tatapan mataku kini tertuju pada Kania.
Apa yang kudapati malah membuatku semakin merasakan kesal itu. Kania meringis lebar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
"Udah buru, sono. Sebelum pacarmu dibawa lari mbak-mbak," celetuk Rizal lagi diakhiri dengan tawa gelinya.
"Baguslah kalo ada mbak-mbak yang mau," dengusku menahan kesal.
Ini aksi parah dari Darren sepanjang dua minggu memepetku. Aku berdecak, membereskan beberapa barangku ke dalam tas dengan sangat terpaksa. Karena Kania belum mau beranjak dari depan pintu sebelum aku bangun dari kursiku dengan tas di tangan. Kupikir dia sekongkol dengan adik sepupunya itu.
"Ayo, buruan. Hari ini dia bela-belain ijin dari kerjaannya demi kamu, tauk," ucap Kania lagi menyambutku dengan tak sabar. Dia bahkan sedikit menyeretku untuk segera mencapai Lift menuju ke Lobi.
"Aku nggak nyuruh dia ke sini. Mending kamu kasih tahu dia kalau aku nggak tertarik sama dia," sungutku.
"Dih, nggak usah ge-er. Dia kan pengen kenal kamu doang. Udah sih biarin aja. Ati-ati nanti kamu cinta lho," sahut Kania meledekku.
"Terus ngapain dia mepet-mepet kayak ayam minta dikawinin?" tanyaku menantang.
"Penasaran doang sama kamu. Kamunya cuek gitu sih. Namanya juga cowok. Nemu cewek kayak kamu itu berasa dapet tantangan," ujarnya kalem.
Aku membelalakkan mata. Mulutku terkatup rapat, menahan kesal. Bagaimana bisa Kania membiarkan sepupunya melakukan ini padaku. Dia pikir aku perempuan macam apa?
"Dan kamu biarin gitu aja? Aku masih teman kamu kan?"
"Masih," jawabnya mengangguk-angguk, "Tapi aku nggak maksud jahat kok. Nambah teman, Nad. Anggap aja begitu."
"Darimana urusannya nambah teman!" dengusku seraya melangkah cepat meninggalkan Kania begitu pintu lift terbuka.
"Ciee, yang udah nggak sabar ketemu pacar barunya!!!" Kania meneriakiku tanpa mempedulikan keadaan sekitar yang cukup ramai.
Aku hanya meresponnya dengan hentakan kaki. Lain kali aku akan memikirkan cara untuk membalasnya! Erangku dalam hati.
Aku melangkah cepat tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Terlebih bocah laki-laki itu yang memang sedang dikerubuti mbak-mbak. Maksudku para karyawan perempuan di kantorku yang rata-rata masih melajang di usia dua puluh tujuhan. Tapi aku merasa beruntung. Setidaknya aku sedang mencari cara untuk menghindari bocah laki-laki itu.
"Nad! Nad! Pacarmu unyu banget. Gemes deh," seru seseorang memanggilku yang hendak mencapai pintu.
Langkahku terhenti seketika. Apa yang sudah bocah itu katakan? Tanganku mencengkeram handbag dengan kuat. Kupikir keramaian itu akan membuatku lolos dengan mudah. Nyatanya Mbak Marni menyadari keberadaanku lewat teriakannya.
Aku menoleh dan meringis tipis. Padahal ingin rasanya berteriak bahwa bocah itu bukan pacarku. Di tempatku berdiri, aku mendapati bocah itu meringis lebar kepadaku dengan gaya sok kerennya. Tapi memang keren.
Sekilas aku mengamati penampilannya. Benar. Tipe-tipe bocah kuliahan dengan gaya kekinian. Rambut pomed, jaket bomber yang dibiarkan terbuka memperlihatkan t-shirt putihnya, celana jeans sedikit robek dan sepatu sneaker. Astaga, aku menghela napas.
"Hai. Kamu udah selesai, Yang?" sapanya manis kemudian melangkah mendekatiku.
Apa katanya? Yang? Mungkin dia perlu kugetok kepalanya dengan wedges yang membungkus kakiku saat ini agar segera sadar diri.
"Gila, sweet banget sih cowok kamu, Nad!" celetuk seseorang dengan nada iri.
Aku membuang napas kesal. Tapi aku menutupinya dengan kediamanku. Tatapan datar ketika dia berada di hadapanku. Entah, bocah tengil ini tidak peka atau memang pantang menyerah. Dia masih saja tersenyum lebar.
"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku dingin.
"Jemput kamu. Kan semalam aku bilang mau jemput kamu. Tapi kamunya cuek aja nggak bales message aku."
"Seharusnya kamu tahu. Kalau saya enggak bales berarti tandanya saya nggak tertarik," ucapku blak-blakan.
"Cewek itu lain di mulut lain di hati. Ntar lama-lama juga kamu bakal luluh sama aku. Percaya deh."
"Kamu ngapain bilang sama orang-orang kalau kamu pacar saya?" tanyaku kesal.
"Biar kamu cepat turun. Lagian emang kamu nggak mau jadi pacar aku?"
"Nggak minat!" jawabku sengit.
Dia tertawa. Masih dengan sikap santainya. Aku tidak tahu bagaimana bisa Kania punya adik sepupu macam dia.
"Kalau jadi istri aku?"
"Dih apa lagi! Kamu ngapain nanya-nanya kayak gitu? Mending kamu kuliah yang bener, cari kerja buat masa depan kamu," sahutku.
"Masa depan kita," ralatnya kalem.
Aku mengatupkan mulut lalu bergegas meninggalkannya. Tentu saja dengan sumpah serapah di dalam hati untuk bocah ini.
"Nad! Nad! Aku ditinggalin!"
Aku mengibaskan tangan ke udara, tanda masa bodoh. Tapi aku mendengar suara tapak kaki berlari kecil mengejarku. Hingga kemudian aku memejamkan mataku ketika sebuah tangan singgah di pundakku.
"Darren!"
"Kenapa sih? Sama pacar sendiri jangan galak-galak. Nanti pacarnya diambil orang," ujarnya.
"Sejak kapan kamu itu pacar saya? Kalau ada yang mau ambil kamu ya baguslah. Bersyukur malah!"
"Lah iya lupa. Kamu bukan pacar aku. Tapi calon istri," kekehnya.
"Dasar bocah!"
"Memang masih bocah. Tapi kalau buat nikahin kamu udah boleh kok. Kan udah 18 tahun ke atas."
Aku menghentikan langkah. Menatapnya tajam. Kupikir dia akan sadar dengan kesalahannya. Tapi yang kutemukan malah tampang sok ganteng darinya dengan senyum yang tidak pernah surut.
"Mungkin saya harus bicara sama Kania. Biar dia bawa kamu buat dirukiyah. Saya nggak tahu setan mana yang udah menempel di badan kamu sampai kamu seperti ini," ucapku kemudian mengedikkan bahu.
"Setannya kamu. Soalnya kamu udah bikin aku jatuh cinta sama kamu. Aku sering perhatiin kamu tapi baru sekarang aku beraniin diri."
Apa dia bilang? Benar-benar. Dia mengataiku setan. Rasanya aku ingin menendang bocah ini kalau bisa sejauh mungkin biar kehidupanku tidak semrawut seperti akhir-akhir ini.
***
Tbc
Minggu, 03 september 2017
Saya lagi pengen nulis yang ringan-ringan. Kebetulan dapet ide. Daripada lewat gitu aja. Tapi jangan ngarep ya. Takut ntar berhenti di tengah jalan.
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top