CHAP. 8 : Remy Menang Banyak

"Ini kamu yang masak semua?" Remy datang menghampiriku yang masih sibuk menggoreng ikan.

Ia berada tepat di belakangku, bicara dekat di telingaku. Itu geli.

"Jangan dekat-dekat, ih!" Aku risi, ia memegangi pinggangku dari belakang.

"Diam! Ada mama, lagi perhatikan kita," bisiknya dan semakin mempererat dekapannya dari belakang.

"Hah?!" Aku menurut dan tidak berani menengok ke belakang. Mama mungkin sedang memperhatikan kita. Jangan sampai mama curiga.

"Kamu bisa masak?" tanyanya lagi.

"Bisa, dong! Aku kan sudah terbiasa sendiri," dengan bangga aku memberitahunya.

"Kalau capek, mending Mbak Tini aja yang masak. Aku enggak keberatan."

"Aku masak bukan buat kamu. Tapi, buat mama."

"Ya, udah! Aku mandi dulu." Ia melepaskan dekapannya dan naik ke atas.

Aku masih fokus menggoreng ikan.

"Mbak, mama mau teh manis atau teh tawar?" tanyaku ketika mendengar Mbak Tini datang untuk mencuci bekas alat masakku.

"Ibu belum bangun, Non," jawabnya.

"Udah, kok! Tadi kata Remy lagi duduk di sana," aku menunjuk ke arah ruang tv yang kosong. Tidak ada orang.

"Belum, Non. Dari tadi Mbak ngepel di situ pas Mas Remy bangun."

"Beneran?" Aku tidak percaya.

"Iya, Non. Ibu masih belum keluar kamar. Mbak baru beres ngepel."

Dan, aku merasa Remy membohongiku. Tadi katanya, ada mama!

Dasar!
Licik!

"Non Olga udah deket sama Mas Remy, ya sekarang?" Mbak Tini.

"Hust! Pelan-pelan, Mbak. Takut mama dengar! Aku enggak sedekat itu, tadi dia bilang ada mama."

"Akal-akalan Mas Remy, tuh, Non! Mas Remy, kayaknya suka sama Non."

"Jangan sembarangan, Mbak!"

Mbak Tini hanya tertawa pelan dan ia melanjutkan mencuci piringnya.

Sejak bangun tadi, aku sudah salah tingkah dengan Remy. Lagi-lagi, ia memelukku saat sedang tidur. Tapi, kali ini aku tidak menendangnya. Tidak sekaget yang pertama kali. Aku bangun pelan-pelan, takut mengganggu tidurnya.

Selesai menggoreng ikan, aku cepat-cepat ke atas, Remy masih mandi. Aku menyiapkan pakaian kerjanya. Katanya, akan ada rapat saat makan siang.

Pakaiannya sudah siap, aku tersenyum menyadari diriku sedang menyiapkan pakaian kerja suami. Serasa suami beneran. He...he...

"Ngapain kamu cekikikan sendirian?" Remy muncul dari kamar mandi, dengan handuk yang menutupi bagian bawahnya. Dan, sekali lagi, aku melihat perut seksinya.

Astaga!

Suami siapa, sih ini?
Ups!

"Kenapa? Mau pegang perut aku?" Remy maju menuju tempatku berdiri.

"A--apa?! Enggak!"

"Kenapa gugup begitu? Belum pernah lihat perut suami kamu sendiri?" Ia semakin mendekat, aku mundur perlahan hingga menabrak meja rias.

Tubuh Remy condong ke depan, hidungnya hampir saja menempel dengan hidungku.

"Minggir! Aku mau ambil sisir."

"Eh--ah, iya."

Aku langsung pergi masuk ke kamar mandi. Rasanya wajahku memerah.
Ya, ampun! Semoga Remy tidak menyadarinya.
Aku menepuk-nepuk pipiku. Malu sekali rasanya.

***


"Kamu enggak siapin bekal makan siang Remy?" tanya Mama.

Kami sedang sarapan bubur kacang hijau. Sesuai permintaan mama.

"Mas Remy ada rapat di luar, ma, nanti makan siang."

Mama hanya meng-O-kan seraya manggut-manggut.

"Enggak apa-apa, bawain aja bekal buat aku," ujar Remy.

Aku menoleh, meminta kejelasan dari ucapannya tadi.

"Aku makan masakan kamu aja, lagian juga, kamu udah masak banyak," Remy menjelaskan.

Aku akhirnya menurut. Menyiapkan bekal untuk Remy makan siang. Serta tak lupa juga, buah beserta air mineralnya.

Setelah memberikan tas berisi bekal makan siangnya, ia masih berdiri di depanku. Tidak beranjak.

Aku bingung.
Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, 'apa lagi?'

Netranya turun mengarah ke dasinya yang belum terpasang.

Aku memutar bola mataku. Ya, ampun!

"Manja banget, sih!" Aku setengah berbisik seraya memakaikannya dasi.

"Kan, ada mama. Kamu harus jadi istri yang baik, di mata mama."

"Sengaja, kan? Tadi di dapur juga, kamu bilang ada mama. Tapi kata Mbak Tini, mama belum bangun!"

"Aku enggak bohong. Kan, ada mama. Di kamarnya," ia memasang wajah tidak bersalah.

Aku mengetatkan kaitan dasinya di lehernya.

"Aduh! Kamu mau nyekek aku?"

"Maaf, kelepasan."

Aku meninggalkannya, tetapi ia memegang tanganku.

"Apa lagi?" tanyaku seraya berbalik melihatnya.

Cup!

Ia mengecup keningku. Aku hanya diam. Seakan ini sesuatu hal yang luar biasa.

"Jalan-jalan aja sama mama, kalau kamu bosan," ucapnya seraya meninggalkanku yang masih membisu. Ia masuk ke dalam mobil, dimana Pak Amir—supir pribadinya sudah menunggu.
Ia melihat ke arahku seraya tersenyum sebelum akhirnya mobilnya meninggalkan halaman rumah dan menghilang di balik pagar.

"Apa-apan itu tadi?!" Aku baru tersadar setelah beberapa menit ia menghilang. Aku berlari ke kamar, dan mengambil ponselku.

'Perjanjian kita, kan, enggak ada kontak fisik! Kamu dari tadi pagi, udah meluk aku, terus tadi cium aku!'

Aku kirim pesan wa ke ponselnya.

Tak berapa lama, masuk pesan baru.

'Kamu duluan yang kontak fisik denganku. Dari semalam, kamu tidur, deketin aku, peluk-peluk aku. Kamu enggak ingat? Oh, iya, kamu kan tidur, pulas sekali, seperti kebo. Jadi, aku balas tadi.'

Balas apaan?!
Malah dia yang menang banyak!
Dasar!

Aku tidak membalasnya lagi.

"Bukannya dia yang peluk-peluk aku pas lagi tidur?!"
Aku hanya bisa menggerutu.

***

"Mama udah pulang?" Remy bertanya.

Aku hanya mengangguk seraya melanjutkan memakan apel di ruang tv. Dan tetap menatap acara fashion show di saluran luar negeri.

"Lihat! Baju tembus pandang begitu, bisa selangit harganya. Gila!" Aku menunjuk model yang sedang berlenggok di tv.

"Padahal, akhirnya, itu baju bakal dirobek juga."

"Kok dirobek, sih?!"

"Baju seperti itu, emang lebih enak dirobek."

Aku masih tidak mengerti, lingerie dirobek. Apa maksudnya?
Mahal-mahal dibeli tapi ujung-ujungnya dirobek.
Gila yang mau robek itu baju!

"Kamu enggak ngerti, ya?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Nanti kamu bakal ngerti, kalau kamu pakai baju itu di depanku."

Ia tertawa kecil seraya menyomot apel yang ada di mangkuk dalam genggamanku.

"Itu maksudnya—jokes mesum, kan?"  tanyaku.

Ia hanya mengedikkan bahu dan tetap menonton acara di tv.

"Kamu tidur dimana?" tanyanya.

"Kamarku."

"Barang-barang kamu sudah dipindahin?"

Aku mengangguk.

"Bagus, deh! Jadi, kamu enggak fitnah aku, meluk-meluk kamu."

"Orang kamu, kok, yang peluk-peluk aku kayak guling! Masih aja nyalahin aku!"

"Apa perlu kita revisi surat kontraknya?" lanjutnya.

"Buat apa?"

"Biar bisa sekamar dan seranjang."

"Enggak mau! Tuh, kan? Kamu yang pengen tidur sama aku!"

"Pasang cctv, biar kamu bisa lihat, siapa yang peluk duluan."

"Enggak mau!"

Aku meninggalkannya di ruang tv sendirian dan menuju kamarku.
Enak saja! Buat apa di revisi?

Aku menggosok gigiku dan merebahkan diri di ranjangku. Akhirnya aku kembali lagi tidur di sini.

Setelah beberapa menit, mataku tak kunjung terpejam. Malah mengingat kejadian kemarin ketika aku bangun tidur yang berada dalam pelukan Remy.

Tuh, kan?!
Remy lagi - Remy lagi!
Tuh, orang, bikin otak aku bekerja terus. Padahal mataku sudah mengantuk, tetapi malah tidak bisa terpejam.

Aku menoleh ke arah sampingku. Kosong.
Ck! Apa-apaan, sih!
Dan, malam ini, aku memaksa kedua mataku untuk terpejam, menyelimuti diriku sampai menutupi kepala.


*Olga, saat enggak bisa bobok, inget kemarin dipeluk Remy terus.



*Olga, saat tahu kalau dia dibohongin Remy saat dipeluk dari belakang di dapur.



*Olga, ketika berpikir, "suami siapa, sih ini?" Saat Remy selesai mandi dan perut kotak-kotaknya terpampang jelas di depan mata Olga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top