CHAP. 7 : Pillow Talk
"Mama mau nginep di sini," ucap mama.
Sudah sejam yang lalu mama datang ke sini, aku panik. Mama datang tidak memberitahu sebelumnya. Aku langsung menyuruh Mbak Tini merapikan kamarku dan menaruh barang-barangku ke kamar Remy.
Remy sedang bekerja. Ia hanya tahu kabar ini lewat wa yang aku kirim tadi. Ia menyerahkan sepenuhnya padaku.
"Kok mendadak, sih, ma?" tanyaku.
"Memangnya mama harus ijin dulu buat nginep di rumah kalian?"
"Bukan begitu maksud, Olga. Olga, kan belum menyiapkan kamar buat mama," elakku.
"Enggak apa-apa, Olga, sayang. Mama tidur di manapun, bisa kok!" Ia mengusap lembut rambutku seraya tersenyum ramah.
"Papa tahu mama mau nginap di sini?"
Mama mengangguk.
"Mama kangen sama kalian."
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Mama memang baik hati sekali. Sejak dulu, aku sangat mengaguminya.
Berbeda dengan ibuku. Ia meninggalkanku sendirian dengan hutang-hutangnya yang mencapai ratusan juta. Gila!
Egois!
Aku beruntung mendapatkan ibu mertua yang sangat baik. Tidak ada drama-drama mertua siksa menantu atau sebaliknya. Kami saling membantu. Kami saling melengkapi.
***
Berendam di bathtub dengan air hangat plus pakai sabun dengan aroma vanila, itu ternyata enak sekali.
Harum. Segar.
...
...
...
"Olga?!"
"Olga, bangun! Kamu enggak apa-apa?!"
"Olga!"
Sayup-sayup aku mendengar suara. Seperti suara Remy. Akhirnya aku paksa membuka kedua mataku, ketika aku merasakan tubuhku seperti melayang.
"Aarrghh!!" Aku langsung berteriak begitu tahu kalau Remy mengangkat tubuhku dari bathtub. Karena sama-sama terkejut, akhirnya, aku dan Remy jatuh ke dalam bathtub.
"Kamu--" ia tak melanjutkan kata-katanya setelah mengelap wajahnya.
Ia berada tepat di atas tubuhku, masih berpakaian lengkap. Kemeja kantornya belum diganti. Namun, seluruh tubuhnya kini basah, ia menatapku. Lama. Akupun tidak berkutik.
Tetapi, aku sadar...
"Arrrggh!! Kamu ngapain di atas aku?!"
"Kamu yang narik aku, asal kamu tahu!" Ia beranjak keluar dari bathtub.
"Kenapa masuk sembarangan, sih?! Aku kan lagi mandi!" gerutuku lagi.
"Aku udah ketuk-ketuk pintu kamar mandi, enggak ada jawaban. Aku langsung masuk. Aku kira kamu mati, tadi!"
"Aku ketiduran!"
"Cepat bilas! Aku juga mau mandi!" Ia melepas kemeja kantornya tepat di depanku.
Aku diam tak berkutik memandangi tubuhnya, yang-ternyata-kata-orang-kayak-roti-sobek-banyak-banget-kotak-kotaknya.
Jadi, seperti itu ya? Perutnya atletis banget. Aku enggak sangka, ia memiliki tubuh seindah itu.
"Olga?!" Ia menyadarkanku.
"Kamu ngapain masih di sini? Aku mau bilas!" Aku membuang pandanganku ke arah lain seraya menutup dadaku dengan busa yang masih ada di dalam bathtub.
"Cepat! Aku basah." Ia keluar dari kamar mandi setelah mengambil handuknya.
Ya, ampun! Apa-apaan tadi?!
Jantungku berdebar melihat ia melepas bajunya.
"Pasti perut Gian lebih bagus daripada perut dia!" Aku berbicara sendiri, untuk mengenyahkan pikiranku tentang Remy.
Setelah mandi, kami semua turun ke ruang makan. Mbak Tini sudah menyiapkan menu makan malam dengan lengkap. Mama juga sudah siap di sana.
"Remy mana?" tanya mama.
"Lagi pakai baju, ma. Baru selesai mandi."
Tidak lama kemudian, Remy datang dan ia langsung duduk dan mengambil lauknya.
"Olga, kamu enggak ambilin makanan buat Remy?" Mama heran melihat Remy yang mengambil sendiri makanannya.
"Eh, i--iya ma."
Remy juga hanya memasang wajah polosnya begitu mendengar celetukan mama.
Aku akhirnya mengambilkan menu makanan untuk Remy.
"Remy enggak suka bayam, kok kamu tuang bayam ke situ?" tanya Mama.
"Hah?! I--itu, Olga--"
"Enggak apa-apa, Ma. Remy lagi coba makan bayam, Olga yang suruh. Katanya, bayam itu sehat," sela Remy.
"Wahh! Kamu nurut sama Olga, tapi selama hidup kamu, mama suruh kamu makan bayam malah enggak pernah mau," protes Mama.
Remy hanya nyengir.
"Enggak apa-apa. Mama senang, kalau Olga buat perubahan baik buat kamu. Tenang mama jadinya."
Aku hanya tersenyum kaku.
***
"Malam ini, aku terpaksa ya, mau seranjang sama kamu!"
"Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa, kok. Silakan tidur di lantai," ucap Remy acuh.
"Harusnya, kamu yang ngalah, tidur di lantai. Bukan aku!"
"Ini kamar siapa?" tanyanya.
"Kamu."
"Berarti, ini ranjang siapa?"
"Kamu."
"Jadi, aku enggak perlu menjelaskan apapun lagi sama kamu." Remy memposisikan dirinya duduk bersandar pada kepala ranjang dan membaca pesan di ponselnya.
"Tapi, kan, seharusnya kamu ngalah."
"Aku suami sah kamu secara hukum dan agama. Sebenarnya, seluruh tubuh kamu itu, udah milik aku. Aku mau apain, bisa," jelasnya.
"Heh!" Aku langsung memeluk tubuhku sendiri.
"Udah, jangan bawel!" Ia melanjutkan melihat ke arah ponselnya.
Aku berjalan ke arah ranjang dan duduk di sebelah Remy.
"Ada meeting besok?" tanyaku.
"Hmm..."
"Jam berapa?"
"Makan siang."
Selanjutnya, kami hanya diam. Ia sibuk dengan ponselnya dan aku hanya menatap kamar ini. Aku baru sadar, kamar ini lebih luas daripada kamarku. Ranjangnya juga lebih besar. Semua didominasi dengan warna abu dan putih. Ciri khas pria.
"Gian enggak ada kabar?" tanya Remy tiba-tiba.
Aku menoleh, ia masih menatap ke arah ponselnya.
"Enggak ada. Tapi, rencananya, minggu depan kami mau nonton di bioskop."
"Jangan!"
"Hah?! Kenapa? Aku mau nonton sama dia."
"Jangan ke bioskop."
"Kita mau nonton, ya jelas nonton di bioskop. Kalau nonton di rumahnya, nanti malah bikin film sendiri," aku cekikikan setelah bicara seperti itu. Membayangkan, akan melakukan apa dengan Gian di rumahnya berdua saja.
"Otak kamu emang harus dicuci."
"Loh! Bener, kan? Kamu ngelarang aku nonton di bioskop, aku milih ke rumahnya. Kenapa ngelarang aku?"
"Maksud aku ... bagaimana kalau ada yang kenal aku, terus lihat kamu ke bioskop berdua sama pria lain? Kamu bakal dicap sebagai istri tukang selingkuh."
"Tapi..."
"Enggak ada tapi-tapian! Jangan ke bioskop, pokoknya!" Dan, Remy meletakkan ponselnya di atas nakas sebelahnya. Lalu menyelimuti dirinya sendiri, mematikan lampu di sebelahnya. Ia memunggungiku.
"Tapi, ini pertama kalinya aku nonton sama dia. Siapa tahu, dia mau menyatakan cinta."
Remy tidak menjawabnya.
"Rem, kamu udah tidur?" Aku melirik ke arahnya. Ia tak bergeming.
Aku memposisikan diriku tiduran menatap langit-langit kamar.
"Kamu enggak suka bayam? Aku enggak tahu tadi. Maaf ya."
"Aku enggak suka baunya. Sama seperti sayur katuk, ada bau ciri khasnya." Itu jawabannya setelah beberapa lama terdiam.
"Kamu punya alergi?" tanyaku lagi.
"Enggak ada."
"Kamu suka warna apa? Kalau aku, suka warna hijau."
"Abu-abu."
"Apa makanan kesukaan kamu? Kalau aku pemakan segala, tapi, aku paling suka cokelat."
"Ayam taliwang."
"Berarti, kamu suka pedas, ya?"
"Hmm..."
"Aku enggak begitu suka pedas. Tapi, enggak nolak juga, sih, selama makanannya enak."
Ia diam tak menjawab.
"Mantan kamu ada berapa?"
Tak ada jawaban.
"Aku belum pernah pacaran sejak ... entahlah, aku lupa. Terakhir berpacaran, saat SMA, dengan sahabatku. Dia baik, sangat baik. Tetapi, akhirnya hubungan kita harus berakhir. Dia kuliah di luar negeri dan sampai hari ini, dia belum kembali ke sini lagi. Aku enggak tahu kabarnya lagi."
"Rem? Kamu beneran tidur, ya?" Aku menggoyang-goyangkan punggungnya pelan. Ia tak berkutik.
"Orangtuaku meninggal, mereka bunuh diri. Aku benci dengan mereka sampai hari ini. Kamu tahu, Rem? Aku sangat mengagumi Mama Melisa sejak awal bertemu. Mama lembut, sosok keibuannya benar-benar luar biasa. Kadang, aku mengkhayal, seandainya Mama Melisa jadi ibu kandungku, pasti menyenangkan. Tapi, semua itu sekarang terwujud. Mama Melisa benar-benar menjadi ibuku. Yaah, walau hanya setahun. Sesuai kontrak kita. Tapi, aku senang. Aku senang mama menginap di sini. Aku malah enggak merasa terganggu. Lucu ya?"
Aku meliriknya lagi. Ia masih tak bergeming.
"Selamat malam, Remy. Walau kamu enggak dengar aku, tapi, sedikit melegakan aku bicara seperti tadi."
Dan aku membelakanginya, mematikan lampu di atas nakas di sebelahku dan menutupi tubuhku dengan selimut yang sama yang dipakai Remy.
*Olga, ketika lihat perut Remy yang kotak-kotak gitu. Remy sengaja, ya?
*Olga, ketika Remy bilang, kalau seluruh tubuh Olga adalah miliknya,mau diapain aja juga bisa.
Weh! Remy nackal, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top