CHAP. 6 : Bertemu Gian

"Halo, Olga?" sapa sebuah suara yang sangat aku rindukan.

"Ya? Gian?"

"Hari ini, bisa kita bertemu?"

"Bisa, ketemu di mana?" jawabku penuh antusias.

"Aku jemput kamu aja."

"Enggak usah! Kita ketemuan aja, mau di mana?"

"Di cafe biasa. Jam 19.00."

"Oke."

"Sampai ketemu, Olga."

Sambungan pun terputus. Aku senang sekali mendapat telepon dari Gian. Pria yang sudah lama aku sukai secara diam-diam.

Aku harus bersiap mempercantik diri, dan mengirimkan pesan pada Remy. Bagaimanapun, ia harus tahu aku pergi ke mana.
Seharian ini, kerjaanku di rumah hanya berenang dan menonton tv.

Pukul 17.30, Remy sampai di rumah. Aku sudah mandi dan bersiap. Hanya tinggal menunggu berangkatnya saja. Aku tidak keluar kamar. Aku yakin, Remy pasti sedang makan malam sendirian.

Tidak lama kemudian, aku keluar kamar. Tanpa diduga, Remy sedang berdiri di depan kamarnya, punggungnya bersandar pada pintu.

"Kamu ngapain?" tanyaku.

"Kamu mau pergi?" Ia tak menjawabnya, malah bertanya.

Aku mengangguk.

"Ayo!" ujarnya.

"Ke mana?"

"Aku antar!"

"Enggak usah! Aku–"

"Aku tunggu di mobil!"

Ia langsung turun ke bawah tanpa mau mendengarku. Lalu, aku dengan cepat turun menyusulnya.

"Remy! Rem..."

Ia segera masuk ke mobil.

"Rem, aku enggak usah diantar."

"Masuk!"

Aku menghela napas dan akhirnya masuk ke mobil.
Ia sama sekali tidak bertanya ataupun bicara. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya diam. Hanya ada suara musik dari radio.

Tiga puluh menit kemudian, kami sudah sampai di depan cafe.

"Terima kasih," ujarku dengan rasa tak enak hati.

"Aku tunggu."

"Enggak usah, aku pasti lama."

"Aku tetap nunggu kamu sampai selesai. Enggak usah hiraukan aku, dan aku nunggu di mobil."

"Tapi, Rem..."

"Sudah sana, kamu temui aja temanmu itu!"

Aku akhirnya memilih masuk dan meninggalkan Remy di mobil. Entah, ia benar menungguku di sana, atau mungkin ia jalan-jalan dulu.

Lagipula, menunggu itu suatu hal yang membosankan. Aku tidak yakin dia akan di sana sampai aku selesai.

"Olga!" Gian memanggilku dari ujung meja sana seraya melambaikan tangannya.

Ia tersenyum sangat manis sekali. Aku menghampirinya.

"Aku udah pesan greentea latte, kesukaan kamu," ucap Gian.

"Terima kasih."

"Apa kabar Olga?" tanyanya kemudian.

"Baik, kamu sudah selesai kerjaannya?" tanyaku.

"Sudah. Sekarang aku di tempatkan di sini. Bagaimana pekerjaan kamu?

"Emm, lancar."

Aku rindu sekali melihat wajahnya, senyumnya. Gian sangat baik dan perhatian, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Tentu saja ia tidak tahu hal ini. Aku hanya bisa mencintainya secara diam-diam. Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya, takut sikapnya akan berubah dan ia menjauh dariku.

Kami mengobrol hal-hal biasa. Pekerjaan, kabar dan rencana menonton di bioskop, entah kapan.
Ia juga memberikanku hadiah kecil, oleh-oleh dari Jogja kemarin.

Entah, mungkin sejam kami mengobrol. Aku pamit pada Gian dan ia juga ingin mengantarku pulang. Kami keluar dari cafe tersebut.

"Aku antar ya? Kamu masih kost di tempat lama, kan?" tanya Gian.

"Enggak usah! Aku bisa sendiri."

"Enggak apa-apa."

Tiba-tiba klakson mobil berbunyi di dekat tempat kami berdiri di depan pintu cafe.
Kami menoleh, ternyata itu Remy. Ia datang.

"Gian, aku udah dijemput."

"Siapa itu?" tanya Gian dengan mengerutkan keningnya.

"Itu—dia temanku. Karena ada urusan pekerjaan, dia harus menjemputku."

"Enggak apa-apa kamu pulang sama dia?" Gian memastikan.

"Enggak apa-apa, kok! Gian, terima kasih ya."

"Ya sudah, nanti aku telepon lagi. Hati-hati Olga!" ujar Gian.

Aku tersenyum dan berjalan menghampiri mobil Remy. Aku langsung masuk dan ia mengemudikan mobil, keluar dari pelataran cafe tadi.

"Pacar kamu?" tanya Remy.

"Eh, bukan!"

"Kamu suka sama dia?"

"Hah? Emangnya kelihatan banget, ya?" tanyaku seraya memegang kedua pipiku.

Ia mengangguk.

"Kenapa kamu enggak ungkapin ke dia?" tanya Remy.

"Enggak! Aku takut dia menjauh, takut ternyata dia enggak punya perasaan yang sama kayak aku."

"Eh, ini kita mau ke mana? Ini bukan jalan pulang," lanjutku, karena baru menyadari ini bukan arah pulang.

"Aku lapar."

"Daritadi kamu ke mana? Enggak cari makan?"

"Aku, kan nungguin kamu di parkiran."

"Hah?" Aku hanya bisa melongo mendengar jawabannya.

"Tadi di rumah enggak makan?" tanyaku.

Ia menggeleng.

Tak lama kemudian, ponselku berdering. Mama yang menelepon.

"Halo, ma?"

"__"

"Lagi di jalan, mau cari makan."

"__"

"Berdua aja sama Mas Remy."

"__"

"Iya, ma. Bye."

"Mama? Kenapa?" tanya Remy.

"Nanya, kita di mana? Katanya, dia senang dengar kita malam mingguan berdua, katanya biar cepat punya cucu."

"A–apa? Cu–cucu?" Remy mengulang kata-kata tersebut dengan kikuk.

"Hmm..." Aku seraya menaikkan sebelah alisku.

Selanjutnya, kami hanya diam. Hingga sampai di restoran yang begitu nyaman dan mewah.

Setelah Remy memesan menunya, aku juga memesan menu makan.

"Masih lapar?" tanya Remy begitu pelayan sudah pergi.

"Tadi, kan, cuma makan roti bakar dan kentang goreng."

"Kenapa enggak pesan nasi aja?"

"Gengsi, dong ih! Jaim dikit di depan Gian."

"Di depan aku, enggak perlu jaim?" Ucapan Remy lebih mengarah ejekan.

"Kamu, kan beda."

"Pas kencan buta itu, kamu memang enggak ada jaimnya sama aku."

"Padahal, niat aku, buat kamu ilfil!"

"Eh, iya! Kenapa kamu malah minta nomor ponsel aku di malam itu?" lanjutku. Aku masih penasaran, seharusnya kalau orang sudah ilfil, enggak akan pernah mau berhubungan lagi, apalagi sampai meminta nomor ponsel.

"Enggak apa-apa, iseng aja!"

Aku hanya mendengus mendengarnya. Alasan enggak masuk akal.

"Eh, sekarang cara ngomong kamu udah enggak kaku  seperti pertama kali."

Ia hanya berdehem.

"Kamu dulu punya pacar, ngomongnya pakai 'saya'?" tanyaku penasaran.

Ia tidak menjawabnya.

"Remy?"

"Berisik! Makan!"

"Dasar! Nanya baik-baik!" gerutuku.

***

*Olga, saat disuruh makan sama Remy dan Remy enggak mau jawab pertanyaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top