CHAP. 4 : Hari Pertama Bobok Bareng
"Olga, nanti sebelum makan siang, kamu pergi saja sama Remy. Dia nanti ke sini, jemput kamu," ujar Pak Rizwan.
"Tapi, pak, kerjaan saya belum selesai."
"Enggak apa-apa. Nanti, pengganti kamu datang, namanya Lita. Kamu ajari saja dulu yang penting-penting."
"Baik, pak!"
Akupun pamit keluar ruangan Pak Rizwan dan segera ke meja ku, merapikan beberapa berkas. Kemudian, Lita, seorang wanita muda, penggantiku datang. Aku sedikit memberitahunya apa-apa yang harus ia kerjakan.
Selang tiga puluh menit kemudian, ponselku berdering.
"Halo?" sapaku.
"Saya--aku udah di lobi timur!" ucap seseorang di seberang sana yang tak lain dan tak bukan adalah Remy.
Aku masih sedikit kaku mendengar dia mengatakan 'AKU'.
"Ya, tunggu! Aku beres-beres dulu."
Aku segera merapikan tasku dan berpamitan pada Pak Rizwan.
Setelah turun dan sampai di lobi timur, aku mencari sosoknya. Ketika langkahku semakin mendekati pintu kaca, aku bisa melihatnya.
Dengan postur slender-nya, ia bersandar pada tembok lobi sambil mengembuskan asap dari rokok. Ia hanya mengenakan outfit sederhana. Celana jins hitam, T-shirt putih dipadukan jaket dan sepatu kanvas. Karena tampilannya berbeda dengan orang-orang sekeliling yang memakai baju kantoran, ia terlihat ... outstanding.
Crap.
Ia melihatku dan segera mematikan batang nikotin tersebut dan membuangnya. Semoga ia tidak punya kemampuan membaca pikiran orang lain. Bisa besar kepala ia kalau tahu aku memujinya tadi.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Ke butik dan toko perhiasan. Kita ukur baju dulu baru beli cincin."
Kami sambil berjalan menuju mobilnya. Ketika membuka mobil, aku sempatkan bertanya.
"Kita makan dulu, kan?"
Ia tidak menjawab, malah langsung masuk ke dalam mobil. Aku mengikutinya.
"Kita makan dulu, kan?" Aku mengulanginya lagi.
"Iya."
***
"Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau Ananda Remy Pradipta Dirgantara bin Rizwan Dirgantara dengan Olga Puti Rajman binti Almarhum Adi Rajman, yang hak kuasa walinya diberikan kepada saya dengan maskawinnya berupa emas seberat 500 gram dan perlengkapan sholat, tunai!" ucap Om ku, Om Alfian.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Olga Putri Rajman binti Almarhum Adi Rajman, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai!" ucap Remy secara khidmat dengan netra lurus menatap Om Alfian.
"Bagaimana para saksi?" tanya Bapak Penghulu.
"SAH!" ucap para tamu yang hadir.
Aku menghela napas lega. Begitu juga dengan Remy. Aku langsung mencium tangannya, menerimanya sebagai imam dalam pernikahan kami.
Namun, hal tak terduga, ia menarik pundakku agar lebih dekat dengannya dan ia mencium keningku. Aku menatapnya bingung, ia tak merespon. Dan netranya langsung menatap arah lain.
Pesta berlangsung meriah.
"Suami kamu kaya raya, dia kerja apa?" Om Alfian menghampiriku ketika Remy sedang mengobrol dengan koleganya.
Om Alfian, sebenarnya, ia adik kandung ayahku. Namun, sejak orangtuaku meninggal, ia langsung memutus tali persaudaraan denganku. Karena ia tahu, orangtuaku meninggalkan hutang dengan jumlah ratusan juta. Tentu saja ia takut disuruh bayar hutang. Sejak itu, ia dan keluarganya sama sekali tidak pernah menemuiku lagi. Bahkan, ia tidak menganggap aku adalah keponakannya.
Namun, karena aku akan menikah dan butuh wali, aku dan Remy datang ke rumahnya dan meminta dengan sopan agar ia menjadi wali nikahku. Awalnya ia menolak, tetapi Remy yang bicara dengannya, akhirnya ia mau.
Mengenai maskawin, aku sama sekali tidak tahu, Remy akan memberikan maskawin yang begitu besar.
Coba bayangkan!
Emas batangan seberat 500 gram, sekarang ini, jika ditotal, berapa?
Silakan hitung sendiri!
Om Alfian, bagai menemukan harta karun, ketika ia datang ke sini, melihat pesta pernikahanku yang begitu megah.
"Olga juga enggak tahu soal maskawin itu."
"Halah! Pinter kamu nyari suami kaya. Jangan lupa bayar hutang ayahmu itu!"
Aku diam saja.
"Karena Om sudah berbaik hati sebagai wali kamu, seharusnya kamu memberikan Om sesuatu sebagai ucapan terima kasih," ujarnya.
"Tenang saja, Om Alfian! Nanti akan saya berikan ucapan terima kasihnya." Itu suara Remy.
Kami berdua kaget dengan kedatangannya.
"Eh, Nak Remy! Enggak, Om cuma bercanda aja, kok!"
"Kamu belum makan, istirahat dulu di belakang. Ada mama, kamu makan dulu, sana!" Remy bicara padaku.
"Eh, iya. Saya pamit dulu, om!" Aku langsung pergi dari hadapan Om Alfian.
Remy bicara berdua dengan Om Alfian. Aku hanya berharap, Om Alfian tidak bicara yang membuatku malu pada keluargaku.
Empat bulan lalu, aku resign dari kantor. Malam ini adalah, malam pesta pernikahanku. Meriah, mewah dan euforia kebahagiaan terpancar jelas di wajah Mama Melisa dan Papa Rizwan. Walau tidak ada spesifikasi tentang tema pernikahan yang aku inginkan, tetapi, acara pernikahanku ini sangat indah.
Akupun bahagia. Walau aku tahu, bahwa, semua ini adalah palsu. Hanya pernikahan di atas surat bermeterai. Namun, tidak ada salahnya kan, menikmati malam ini?
Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan bahagia. Mungkin, ini faktor karena, hutangku akan segera lunas setelah ini.
Aku merasa tidak ada beban lagi.
***
"Aku tidur di mana?" Aku bertanya pada Remy yang dengan-santainya-sudah-rebahan-di atas-ranjang.
Kami menginap di hotel di mana pesta pernikahan kami berlangsung. Tentu saja ini kamar pengantin! Ada kelopak mawar merah di atas ranjang kami berbentuk hati.
Aku langsung geli melihatnya dan menyingkirkan itu semua dari ranjang. Remy langsung mandi. Setelah ia selesai, barulah kemudian aku yang mandi.
Namun, saat aku sudah selesai mandi, ia malah dengan nyamannya rebahan di atas ranjang itu.
"Di sini!" Ia menepuk ranjang sebelahnya yang kosong.
"Enggak mau! Nanti kamu ambil kesempatan, saat aku tidur!"
"Enggak ada tempat lagi. Kamu mau di sofa sempit itu? Ya, silakan saja!" Ia menunjuk sofa itu dengan alisnya.
"Kamu aja."
"Enggak mau! Saya capek!"
"AKU!"
"I—iya, maksudnya, aku capek!"
"Ya udah, deh! Awas ya, deket-deket!" Aku pasrah dan akhirnya tidur di sebelahnya dengan guling sebagai pembatas kami.
Ia hanya berdecak lidah melihatku menaruh guling diantara kami.
Selanjutnya, aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku lelah, langsung tertidur.
Begitu pagi, entah pukul berapa, aku terbangun. Karena merasa ada yang janggal, biasanya aku tidur tidak se-sesak ini. Ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di pelukan Remy.
Remy?
Kok bisa?
Karena saking terkejutnya, aku langsung menendangnya hingga jatuh ke lantai.
"Kyaaa!!!"
Bugh!
"OLGAAA!!!"
Kalian tahu? Dihari pertama pernikahanku, aku sudah menendangnya.
Dan, ia sudah meneriakiku.
Kami sama-sama melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
*Olga, saat nendang Remy pas bangun tidur, di hari pertama sebagai suami-istri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top