CHAP. 3 : List Olga dan Remy
"Silakan ditulis saja, hal-hal yang ingin kamu ajukan pada pernikahan kita nanti." Remy menyodorkan sebuah kertas putih beserta penanya.
Baiklah! Aku tidak akan segan menuliskan semuanya. Semalaman sudah aku pikirkan dan aku tulis di sebuah kertas. Aku mengeluarkan sebuah kertas yang sudah kulipat-lipat menjadi kecil dan membukanya, lalu menyalin setiap tulisan yang semalam aku buat.
"Ck! Sudah kamu persiapkan sejak malam?" sindir Remy.
Aku hanya mengangguk tanpa berniat melihat wajahnya. Biarkan saja, ia ingin menganggap aku seperti apa? Yang terpenting adalah, aku ingin melunasi hutang-hutang sialan itu!
Rasanya, hutang itu mencekik leherku dengan begitu kencang. Hampir tiga tahun aku hanya mencari uang untuk para rentenir itu. Tidak sekalipun aku pernah menikmati hasil kerja kerasku.
Mungkin, dengan Remy, inilah saatnya bagiku untuk menikmati hidupku.
Jadi, kesempatan ini, tidak akan aku sia-siakan. Buah hasil kesabaranku.
Selesai menuliskan beberapa hal, aku menyodorkan padanya. Ia juga tak lama kemudian, selesai menulis.
Kami saling bertukar kertas dan membaca satu persatu daftarnya.
Seperti inilah daftar yang kami buat.
List Olga :
1. Uang muka persetujuan sebesar 135 juta.
2. NO SKINSHIP apapun alasannya, dengan tujuan apapun dan dalam keadaan apapun.
3. NO SEX (kecuali jika kita sama-sama mau) tapi yang pasti, bukan AKU!
4. Tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun (KDRT).
5. Kamar tidur yang terpisah.
6. Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing.
7. Pernikahan ini hanya sampai 6 bulan sejak akad dilangsungkan.
List Remy :
1. Masa kontrak pernikahan 1 tahun sejak akad.
2. Jangan mencampuri urusan pribadi masing-masing.
3. Uang bulanan istri 500juta per bulan (ini tidak termasuk kebutuhan rumah dan lainnya).
4. Fasilitas istri, kartu kredit dengan no limit, keanggotaan nge gym, art untuk mengurus rumah.
5. NO SEX (Kecuali istri yang meminta duluan).
6. Kamar terpisah.
7. Jangan bikin masalah, karena pasti suami akan susah.
8. Akan ada jadwal liburan ke luar negeri atau dalam negeri.
9. Setelah masa kontrak berakhir, mantan istri tetap akan mendapatkan tunjangan, dengan nominal akan dibicarakan saat itu terjadi.
"Masa kontraknya terlalu lama? Enam bulan itu sudah pas!" protesku.
"Enam bulan terlalu sebentar. Kamu tahu? Papa membenci perceraian," jelasnya.
"Kenapa harus ada uang muka? Padahal nanti kamu akan saya kasih 500juta sebulan untuk jajan kamu," lanjutnya.
"Emm, aku butuh sekarang 135 juta-nya. Seharusnya kamu enggak keberatan, dong!" ujarku.
"Buat apa?"
"Dengar, kamu belum jadi suami aku. Jadi, uangnya buat apa, bukan urusan kamu!"
"Baiklah! Tuliskan saja nomor rekening kamu."
Selanjutnya, ia membubuhi tiga meterai di setiap kertas. Ia benar-benar membuat surat perjanjian ini sah. Kami juga merekam dalam bentuk video. Tentu saja, ia yang mempersiapkannya. Bahkan, aku tidak mengira sama sekali.
"Besok malam, saya akan jemput kamu. Kita akan makan malam bersama orangtua saya," ucapnya.
"Oke. Nanti alamatnya aku wa ke kamu."
Ia hanya mengangguk dan kami mulai memesan menu makan siang yang sudah sangat terlambat, karena urusan kontrak ini.
***
Remy datang menjemput ke rumahku malam ini. Tepat waktu. Sepertinya ia bukan orang yang akan menyia-nyiakan waktu. Kemarin, aku meminjam gaun malam yang mahal dan bagus pada Mona.
Dari tas dan dress, semuanya milik Mona.
"Papi batalin pertunangan gue sama Remy," ucapnya kemarin malam saat aku datang mengunjunginya ke apartemen.
"Iya tahu!"
"Jadi, enggak ada masalah kan? Kan, gue udah bilang, enggak usah panik. Om Izwan baik."
"Elo enggak ada masalah. Sekarang, masalahnya ada di gue."
"Maksudnya?"
"Remy ngaku ke papanya, kalau gue pacarnya Remy. Dan, papanya percaya. Bahkan, besok malam, gue diundang makan malam sama keluarga Remy."
"Woww! Remy suka sama elo?"
"Enggak lah!"
"Terus? Kok dia bisa-bisanya ngaku kalau kalian berpacaran?"
Akhirnya aku menjelaskan secara rinci kepada Mona.
Dan, tanggapan dia, hanya...
"Yeeeaay, sahabat gue jadi pengantin."
"Pengantin boongan! Cuma dikontrak selama setahun, bukan istri tetap."
"Eh, nanti kalian tidur bareng, dong! Jadi suami istri beneran, dong!" godanya.
"Enak aja! Kita pisah kamar."
"Yaaah, enggak seru. Bobok bareng kan lebih enak."
"Nih, otak! Kalau disuruh mikir, lemotnya enggak kira-kira. Tapi, bahas bobok bareng, langsung konek!" Aku menoyor keningnya.
Dia hanya nyengir.
Malam ini, Remy sudah mengetuk pintu rumah sederhanaku. Aku langsung keluar, agar ia tidak menunggu.
"Ayo!" ucapnya.
"Eh, gimana aku?"
Ia menoleh, melihat dari ujung kakiku hingga kepala. Dan ia hanya manggut-manggut.
"Apaan? Manggut-manggut doang! Komen, kek!"
"Bagus."
Ck! Bagus!
Gengsi banget mau bilang cantik.
Kami langsung masuk ke dalam mobilnya. Malam ini tidak ada supir pribadinya.
"Saya harap, kamu enggak usah banyak omong soal hubungan kita," ujarnya.
"Jangan pakai bahasa formal saat kita di depan Pak Rizwan."
"Kenapa? Memangnya ada yang aneh?"
"Ya, aneh lah! Mana ada orang pacaran pakai bahasa saya-kamu. Biasanya pakai aku-kamu, sayang-babe, bebeb, gitu!"
"Panggilan aneh yang tadi kamu sebutin, enggak akan saya pakai. Kita pakai aku-kamu aja."
"Oke! Menurut kamu, aku cantik enggak?" tanyaku.
"Cantik."
"Ish! Harusnya jawabnya, kamu cantik, sayang!"
"Saya belum terbiasa."
"Aku!"
"Aku belum terbiasa," ia berkata dengan nada kaku ketika memakai kata 'aku'.
"Kamu emangnya, belum pernah pacaran? Masa kaku gitu, sih ngomongnya?"
"Pernah," ia menjawabnya masih tetap fokus menyetir.
"Baru kali ini aku ketemu sama orang kaku. Kamu, tuh, kaku banget tau enggak?!"
"Kita berpacaran sudah berjalan tiga bulan. Kita bertemu enggak sengaja di restoran. Kamu katakan seperti itu nanti ya? Jika ditanya mama," jelasnya lagi.
Aku mengangguk.
Selanjutnya, kami hanya berdiam diri. Hanya ada suara musik dari saluran radio saja.
***
Di rumah Pak Rizwan, aku disambut dengan hangat. Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku menginjakkan kaki di sini. Sebelum-sebelumnya pernah, itupun karena urusan pekerjaan.
Tetapi, aku tidak pernah sampai melewati ruang keluarga dan ruang makan ini. Aku hanya duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang hanya ada foto Bapak Rizwan dan Ibu Melisa. Tidak pernah ada foto Remy di sana.
Saat melewati ruang keluarga tadi, barulah aku lihat foto-foto Remy terpampang dengan jelas, momen ketika ia wisuda. Ada juga foto-foto saat Remy kecil. Sangat lucu. Semuanya ditata dengan baik. Terlihat sekali, Remy adalah kebanggaan mereka.
"Jadi, sudah berapa lama Olga kenal sama Remy?" pertanyaan pertama yang Ibu Melisa lontarkan.
Kami sudah duduk bersama di ruang keluarga, sehabis makan malam tadi. Makan malam yang menyenangkan, mereka hangat. Aku tahu. Namun, kali ini mereka menjamuku sebagai kekasih Remy. Sikap mereka bahkan lebih hangat.
"Kurang lebih tiga bulan, Bu. Kami berkenalan dan Remy dua hari kemudian mengatakan cinta," jawabku.
"Panggil mama saja, Olga. Sekarang, sepertinya kita akan menjadi keluarga," timpal Mama Melisa.
Aku hanya mengangguk seraya tersipu.
"Tapi, ini lucu juga. Saya bahkan tidak menyangka, pacar Remy adalah kamu, Olga," ujar Pak Rizwan.
Aku hanya nyengir, Remy santai saja.
"Olga, mama sangat ingin melihat Remy menikah. Lagipula, umurnya kan sudah matang untuk menikah. Apalagi, ternyata pacarnya adalah Olga. Mama sangat setuju untuk pernikahannya lebih cepat lagi."
"Ta--tapi, Olga baru--"
"Kamu tenang saja, urusan pernikahan biar mama dan papa yang urus. Kamu urus saja saudara atau mungkin keluarga dari ayah kamu untuk jadi wali nikah kamu," lanjut mama Melisa seraya menggenggam kedua tanganku dengan lembut.
Aku hanya bisa mengangguk.
"Iya, Olga. Setelah menikah, kamu berhenti saja jadi sekretaris Papa. Nanti, papa akan cari pengganti kamu mulai besok," lanjut papa.
Pembicaraan mengenai pesta pernikahanpun berlangsung sangat seru--bagi papa dan mama. Kami lebih banyak diam dan hanya mengangguk setuju soal temanya.
***
"Terima kasih sudah diantar," ucapku.
Aku sudah berada tepat di depan pintu rumahku. Selesai makan malam dan membahas soal pernikahan, aku langsung diantarkan pulang oleh Remy.
Yeah, papa dan mama tahunya kami akan berjalan-jalan menikmati Minggu malam dengan berduaan.
Pada kenyataannya, Remy sangat tidak sabar memulangkanku ke rumah.
Memangnya apa yang aku harapkan?
"Uang mukanya sudah saya transfer ke rekening kamu, semoga dipergunakan dengan baik," beritahunya.
"Wah! Cepat banget! Terima kasih!" jawabku sumringah. Serasa mendapatkan jackpot.
"Ck! Kamu memang sudah matre sejak lama?"
"Itu bukan matre, tapi, memanfaatkan kekayaan calon suami dengan baik. Tenang saja, aku akan pergunakan dengan baik uang itu!" Aku menepuk-nepuk pundaknya seakan ada debu di sana.
"Oiya, pakai 'AKU'!" Aku tekankan kata Aku di sana.
Ia mengangguk dan berniat berbalik meninggalkanku.
"Hey! Coba katakan!"
Ia menoleh. Lengannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Alisnya sedikit dinaikkan.
Lalu, berdehem singkat.
"Aku—pergi dulu!" Ia berkata tanpa melihat kearahku, netranya melihat arah lain.
Aku hanya senyum-senyum saja melihat sikapnya yang kaku.
"Hati-hati!"
Ia akhirnya melihatku dan tersenyum simpul. Lalu, langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumahku.
💰💰💰
Terima kasih ❤️
*
Ekspresi Olga, saat Remy ngomong pakai 'AKU'.
*Olga, saat mendapat transferan dari Remy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top