CHAP. 25 : Bertemu Mas Jimmy

"Kamu?!" ucapku setelah susah payah menelan bakso.

"Loh, kamu? Si cewek yang baru bisa bawa mobil?" ujarnya dengan jelas. Ia masih mengingat tulisan stiker di belakang kaca mobilku.

Ia kemudian menghampiri Remy, berjabat tangan dan memeluknya sebentar. Pelukan khas para pria.

"Jadi, Jimmy yang nabrak mobil kamu?" tanya Remy kemudian.

Si pria bule tadi yang dipanggil Jimmy, langsung duduk diantara kami dengan santainya.

"Iya, dia. Kalian saling kenal?" tanyaku seraya menunjuk Jimmy.

"Olga, ini Jimmy, teman sekampus aku. Jimmy, ini Olga, istri aku." Remy mengenalkan kami berdua.

"Oh, ini istri kamu? Halo Olga, ini pertemuan kedua kita." Si pria bule itu senyum-senyum tanpa rasa bersalah.

"Aku ingat betul sama istri kamu ini, soalnya di belakang mobilnya ada stiker custom yang unik banget." Jimmy tertawa geli saat berbicara.

"Iya, dia baru belajar nyetir, soalnya."

"Chat dan telepon aku kenapa enggak di respon?" tanyaku akhirnya.

"Oh, sorry Olga. Aku masih sibuk banget kemarin, sekarang jadi kontraktor buat pembangunan mal di Tangerang," jelasnya.

"Oh, sekarang kamu yang handle perusahaan papa?" tanya Remy.

Aku di tengah-tengah mereka hanya bisa bengong menyimak obrolan mereka yang tidak aku mengerti.
Masih tetap memakan bakso ku yang tinggal sedikit lagi, Jimmy pamit untuk memesan makanan dulu.

Remy bercerita bahwa Jimmy adalah sahabat dia semasa kuliah. Walau tampilannya 80% bule, tetapi dia sangat rendah hati dan sangat membaur. Dia berbanding terbalik dengan Remy. Remy yang datar, Jimmy yang ceria dan jahil. Dengan karakter berbeda seperti itu saja, mereka bisa kompak sampai saat ini.

Remy juga bercerita, bahwa ayahnya Jimmy memiliki perusahaan kontraktor yang besar dan sukses. Mereka biasanya menangani gedung-gedung pencakar langit di Jakarta atau daerah lainnya. Terbilang sukses lah. Begitu cerita Remy.
Tak lama kemudian, si Jimmy datang membawa nampan berisi makanan. Ia langsung duduk kembali.

Seketika aku ingat Mbak Tini pernah bercerita tentang Jimmy.

"Jadi, kamu orang yang hadiahi aku kucing?" Aku menunjuknya seraya terkejut.

"Hah?!" Jimmy bingung.

"Uhuk...uhuk!!" Remy terbatuk-batuk. Aku segera memberikannya air minum.

"Kucing apa?" tanya Jimmy bingung.

"Kucing bengal. Kitten. Kata Mbak Tini, itu hadiah dari Jimmy. Berarti kamu, kan orangnya?" jelasku.

Wajah Jimmy masih bingung, ia benar-benar tak mengingat itu sepertinya.

"Iya-iya, dia yang beliin. Jim, kamu lupa." Kini Remy angkat bicara seraya menepuk-nepuk dadanya karena tersedak tadi.

"Aku enggak pernah beliin dia kucing, Rem." Jimmy masih bertahan dengan ucapannya.

Aku semakin bingung di sini.

"Udah-udah, enggak usah dibahas, udah lama itu." Remy mulai mengalihkan pembicaraan dan bertanya tentang Papa Jimmy.

"Oh, aku paham sekarang. Kamu dibeliin kucing bengal?" tanya Jimmy padaku.

Aku mengangguk.

"Itu pasti dari Remy, pakai nama aku." Jimmy tersenyum jahil pada Remy dan Remy sangat canggung.

"Gini, ya Olga. Aku kasih tahu rahasia Remy. Remy itu pemalu. Dia yang beliin kamu kucing, itu hadiah dari dia. Mungkin, dia lihat kamu bosan atau apa, pasti dia jadi berpikir, kalau ada kucing, kamu enggak akan kesepian. Walau pemalu, tapi Remy manis, kan?" goda Jimmy.

"Jadi, kucing itu kamu yang beli?" tanyaku kini pada Remy. Ingin memastikan saja.

Remy tidak menjawab, ia sibuk dengan baksonya—mangkuk bakso yang sudah kosong.

"Ay?" tanyaku lagi.

"Iya-iya, enggak usah bahas lagi soal kucing!" Remy tampak malu, pipinya merona dan ia salah tingkah.

Ah, manis banget, sih, suami aku. Jadi makin sayang, kan.

Akhirnya kami mengobrol mengenai perusahaan Jimmy, aku hanya menyimak. Karena aku tidak mengerti soal pekerjaannya.

***

Setelah dari mal tadi, akhirnya kami jalan-jalan bertiga. Remy mengajak Jimmy ke rumah. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu, karena Jimmy menetap di Australia. Jimmy mengikuti mobil kami dari belakang dengan mobilnya.

Setelah sampai, ia disambut hangat oleh Mbak Tini. Jimmy juha tidak sungkan memeluk Mbak Tini, sudah seperti ibunya sendiri.

"Mas Jimmy makin ganteng, udah dapat pacar belum?" tanya Mbak Tini begitu pelukan dari Jimmy lepas.

"Sayangnya saya masih sendiri, Mbok."

"Wah, padahal ganteng begini. Masa sih enggak ada yang deketin?" Mbak Tini penasaran.

"Enggak ada, Mbok. Habisnya enggak ada yang secantik Mbok, sih!" Goda Jimmy.

"Ih, Mas Jimmy bisa aja godain si Mbok," ujar Mbak Tini lalu ia tertawa geli.

Setelah melepas rindu dengan Mbak Tini, kami berkumpul di ruang tamu. Mbak Tini langsung menyediakan minuman dingin untuk Jimmy.

Aku yang sejak tadi memandangi wajah Jimmy hanya merasa aneh saja mendengar Mbak Tini memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Wajah bulenya sangat tidak cocok.

"Besok aku akan membawa mobil istri kamu ke bengkel untuk dicek," ucap Jimmy.

"Itu cuma cat-nya aja, sih. Sebenarnya aku enggak masalahin itu," terang Remy.

"Enggak bisa! Biarin aja, Mas Jimmy yang bawa ke bengkelnya," ucapku tegas.

Jimmy hanya tertawa geli melihatku.

"Aku rasa, kalian emang cocok. Remy si pemalu bertemu dengan kamu, yang penuh kejutan." Jimmy tertawa setelah berkata begitu.

Aku pun pamit ke kamar, ingin membersihkan tubuhku dan beristirahat sebentar. Biarkan saja Remy dan Jimmy mengobrol melepas rindu.

Selesai mandi, aku membuka lemari dan memilah-milah pakaian. Mataku tertuju pada lingerie hitam yang pernah aku beli sewaktu itu. Tiba-tiba ide nakal ku muncul. Aku meraih lingerie tersebut dan memakainya. Seraya bercermin, aku memutar tubuhku, ingin melihat dari berbagai arah. Setelahnya, aku merias diri agar penampilanku lebih seksi. Di depan cermin, dengan senyum nakal, aku memandangi diriku dan membayangkan apa yang akan terjadi.

*Olga, saat Jimmy dan Remy mengobrol.

*Olga, ketika tahu kalau kucingnya ternyata yang beli adalah Remy.

*Olga, ketika tahu, Remy yang beliin dia kucing. Katanya, Remy manis banget.

*Remy, rasanya ia ingin banget membungkam mulut si Jimmy.

*Remy, maluuuu 😬

*Olga, dandan + pake lingerie. Eits, mau ngapain dia?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top