CHAP. 24 : Nge-Mal Dulu Kita
"Ini cuma baret cat-nya aja, kok. Enggak usah diperpanjang, seharusnya," komentar Remy begitu ia melihat kondisi Mini Cooper-ku di garasi.
"Tapi dia nyalahin aku, loh!" Aku masih merasa tidak terima soal kejadian tadi.
Aku mengikuti langkah Remy yang berjalan memasuki rumah lewat pintu yang menyatu dengan garasi. Aku berada di belakangnya, mengikuti langkahnya, melewati dapur hingga tembus ke ruang makan. Ia berhenti tepat di depan lemari pendingin.
Membukanya dan mengambil buah jeruk.
Aku duduk di depan stool bar. Memerhatikan gerakannya yang kini mengupas kulit jeruk. Setelah membersihkan jeruk itu hingga bersih, ia memberikannya padaku dua buah. Aku menerimanya dan langsung memakannya.
"Terus, dia bilang mau tanggung jawab?" tanya Remy kembali setelah ia menelan jeruknya.
Aku mengangguk dan mengambil jeruk lagi dari tangannya.
"Ya udah, kita lihat aja nanti. Enggak usah dipikirin. Lagian, kamu dari mana memangnya?" tanya Remy.
"Aku dari cafe dekat sini."
"Ngapain kamu sendirian ke sana?" lanjut Remy.
"Ya bosen aja, pengen keluar, bisa lihat orang-orang di sana. Siapa tahu, aku dapat inspirasi jadi penulis novel," ujarku asal.
"Tugas kamu cuma ngabisin duit aku, kenapa harus repot mau jadi penulis novel? Orang udah dikasih enak, malah maunya susah."
"Kalau ada yang ribet, buat apa yang simpel?" godaku.
Remy hanya menaikkan alis sebelahnya seraya memasang wajah acuh.
"Kalau bosan, kamu bisa ke kantor," ujar Remy kemudian.
"Ngapain aku ke kantor?"
"Yaaa, liat aku gitu?" Remy menatapku dengan wajah yang lucu.
"Kamu mau aku samperin ke kantor?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Emangnya kamu enggak mau nengokin aku di kantor?" tanyanya serius.
"Ya ampun, suami aku pengen disamperin istrinya, yaaa?" Aku menghampiri dan mencubit gemas pipi kanan-kirinya.
"Apaan, sih, kamu!" Ia menghalau kedua tanganku, merasa risi dengan yang aku lakukan. Remy pergi dari sana dan naik menuju kamar. Aku mengikutinya dan memeluk pinggangnya dari belakang. Menggodanya dan ia membuat mimik wajah cemberut.
"Sayang..." panggilku dengan manja.
"Apa sih?!" Ia kesal karena aku menggodanya.
***
Keesokan harinya, ketika aku sedang berdiri di teras depan seraya menghubungi seseorang melalui ponsel, Remy menghampiriku dan bertanya.
"Kamu telepon siapa?"
"Aku lagi telepon orang kemarin yang nabrak mobil aku. Ini enggak diangkat-angkat!" keluhku seraya melihat ke layar ponsel, mencoba menghubunginya kembali.
"Udah, biarin aja. Hari Senin, biar Pak Bekti bawa aja ke bengkelnya dan minta diperbaiki itu cat-nya." Remy mencoba menenangkan aku.
"Aku tetap mau dia yang tanggung jawab, dong! Enggak mau rugi, pokoknya!" Aku bersikeras.
Remy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku mengetik sesuatu di ponsel tertuju pada pria keturunan bule kemarin. Menanyakan tentang pertanggung jawabannya kemarin. Masih dengan rasa kesal, aku menghadap Remy yang sedang menggendong Biscuit.
Biscuit sangat tenang digendongan Remy. Beberapa waktu lalu, ia menyarankan agar membeli kucing betina untuk menemani Biscuit di rumah.
"Kita jalan-jalan, yuk?" ajak Remy begitu aku sudah mendekat dan sedang mengusap-usap tubuh Biscuit.
"Ayo! Aku mandi dulu, ya," jawabku semangat.
Aku setuju dengan idenya. Kebetulan memang besok hari Minggu dan Remy masih libur. Aku segera mandi dan memakai pakaian. Lalu merias diri secukupnya. Saat aku sedang memakai parfum, Remy masuk, ia melepas baju yang tadi ia kenakan dan mencuci tangannya.
Setelahnya, ia hanya mengganti dengan kaos yang bersih.
"Kamu enggak mandi?" tanyaku.
"Aku kan baru mandi," jawabnya.
Dengan mobil sedan Audi A8 hitamnya yang sangat mengkilap. Suamiku memang enggak kaleng-kaleng soal kekayaannya.
Aku jadi teringat ketika pertama kali kencan dengan Remy, yang mana aku menyamar sebagai Mona. Dia terlihat begitu sederhana. Tidak ada gerak-gerik merendah untuk meroket, seperti kebanyakan orang saat ini.
Remy begitu sederhana, saat itu. Aku beruntung, sih menikahinya.
"Kenapa?" tanya Remy memecah lamunanku.
Kami sudah di dalam mobil, melaju entah ke mana ia akan membawa kami. Jalanan sudah mulai gelap, semburat senja menghiasi perjalanan kami.
"Kenapa apanya?" tanyaku bingung.
"Kamu ngeliatin aku terus. Kenapa? Aku emang setampan itu, jadi enggak perlu kamu sampai ngences gitu liatnya."
Aku memukul pahanya reflek.
"Apaan, sih?! Aku lagi mikir, kamu beruntung aku nikahi. Bisa nikmatin hasil kerja kamu dengan santai, kamu kerja yang rajin, ya. Biar aku bisa foya-foya."
"Dasar matre!" Remy berlagak marah.
"Ini bukan matre. Tapi keahlian mencari suami kaya raya." Aku berjumawa.
"Oiya, tadi aku cek di mutasi rekening, kamu narik 20 juta kemarin siang. Buat apa?" tanya Remy.
"Oh–itu–aku beli tas, ke salon. Iya, itu."
"Kemarin siang kamu bilang ke cafe doang? Kapan ke salonnya?" Remy menatapku seakan mencari kebenaran di mataku.
"Itu–aku pinjem uang Mona, kapan hari pas ke salon dan beli tas. Nah, kemarin aku narik buat bayar utang aku sama dia," jelasku takut-takut.
"Jadi, kemarin siang kamu ketemu Mona?" Selidik Remy.
"Iya, cuma sebentar. Dia ada urusan."
"Kenapa enggak transfer aja, sih? Bahaya kamu bawa-bawa uang cash puluhan juta gitu! Nanti kalau ada yang ngincer kamu, gimana? Perampok misalnya?!" Remy tampak kesal.
"Iya maaf, aku enggak akan kayak gitu lagi," ucapku melemah. Berharap ia tak meneruskan pertanyaan soal uang itu. Dia tidak perlu tahu soal Om Alfian. Itu adalah aib keluargaku. Jangan sampai ia tahu kebusukan om ku yang matrenya luar biasa.
"Lain kali jangan kayak gitu, bahaya. Dengar, enggak?" Remy memastikan.
"Iya, aku dengar."
***
Di sinilah kami. Mal Senayan City menjadi tujuan kami. Sebelum kami makan, kami melihat-lihat beberapa toko dengan brand mewah. Namun, kami lebih lama di toko jam tangan mewah. Sepertinya Remy ingin membeli jam tangan, tetapi tidak ia beli. Ia hanya melihat. Setelahnya, kami ke foodcourt. Remy sedang ingin menikmati makanan biasa saja. Bukan dari restoran mewah.
Aku, sih, ngikut aja. Selama dia yang bayarin, aku akan mengekor terus.
Setelah Remy mengantri membayar makanan kami, ia menghampiriku yang sudah duduk manis di bangku. Kebetulan sekali, malam ini foodcourt sedang sangat ramai.
Setelah ia duduk seraya meletakkan nampan yang berisi makanan kami, aku langsung membersihkan alat makan dengan tissue.
"Gimana? Enak enggak?" tanyanya dengan senyum lebar.
"Enak." Aku masih memakan bakso yang memang enak dan harganya cukup mahal bagiku yang dulunya enggak sekaya sekarang ini.
"Tapi, aku sih makan bakso doang enggak kenyang," lanjutku.
"Nanti bisa makan lagi."
Tiba-tiba seseorang memanggil Remy.
"Remy!!"
Sontak saja kami berdua menoleh ke asal suara.
Aku yang masih berusaha menelan bakso di mulutku tiba-tiba saja tersedak. Kaget melihat orang yang memanggil Remy sedang berjalan ke arah kami.
"Uhuk...kamu!" Tunjukku setelah susah payah menelan bakso.
*Bakso yang dipesan Remy.
*Ini Remy. Kalo Olga, sih, enggak mempan makan bakso doang. Belum makan kalau belum makan nasi. Bakso mah cemilan doang bagi Olga.
*ekspresi Olga saat melihat seseorang yang memanggil Remy di foodcourt.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top