CHAP. 22 : Dedek Bayi OTW...
Kami baru saja menuntaskan malam pertama di pagi hari dan masih nyaman dengan posisi kami. Rebahan sambil menatap ke langit-langit kamar, masih dengan selimut tebal yang menutupi tubuh polos kami. Napas kami masih belum beraturan sepenuhnya.
Ia melihat ke arahku, begitu juga denganku.
"Hai," sapanya dengan senyum.
"Hai," jawabku tersipu malu. Aku yakin pipiku bersemu merah.
"Ini luar biasa," ujarnya.
Aku semakin malu mendengarnya. Sejak pergelutan dimulai, Remy tak berhenti memujiku-ralat, ia memuji tubuhku, sepertinya.
Ada rasa bangga tetapi juga malu bersamaan. Aku belum pernah ditatap se-intens itu oleh pria manapun. Terlebih, aku tak berbusana sama sekali.
"Hari ini aku ijin ke kantor," ujarnya.
"Ada meeting, kan?" tanyaku seraya mengingatkannya.
"Ada meeting yang lebih penting."
"Di mana?" tanyaku bingung.
"Di sini. Mijitin yang penting-penting, misalnya, mijitin kamu," selorohnya.
Aku langsung meraup wajahnya dengan tanganku.
Ia tertawa terbahak-bahak.
"Di sini, ada tawaran yang lebih menarik dari pada urusan tender di kantor. Aku enggak akan melewatkannya begitu aja."
"Tender juga penting. Biar kamu makin kaya. Kalau kamu makin kaya, aku bisa puas habisin uang kamu," ucapku.
"Sebelum aku bekerja, aku juga butuh energi yang besar. Makanya, hari ini, enaknya, makan kamu." Ia langsung menarik tubuhku agar menempel padanya dan ia meraup bibirku tanpa segan lagi.
***
Hari ini, Remy benar-benar tidak ke kantor. Ia mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Setelah makan pagi-yang kesiangan, Remy langsung mengerjakan beberapa pekerjaan yang memang ia tangani langsung. Papa heran, kenapa Remy tiba-tiba mengubah jadwalnya. Remy itu tipe orang yang tepat waktu dan janji.
Tentu saja alasannya untuk menjagaku yang masih sakit. Walau membual, tetapi Remy tetap bertanggung jawab dengan pekerjaannya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah kami. Aku sedang menikmati buah mangga seraya menonton televisi, langsung menegakkan posisi dudukku. Takut-takut tamu yang datang.
"Olga! Kamu masih sakit?" Itu suara mama. Ada nada khawatir di sana.
"Udah sehat, Ma."
"Masa? Kok, Remy bilang, kamu masih sakit?" Mama tampak tidak percaya. Ia duduk di sampingku, punggung telapak tangannya ia tempelkan ke keningku.
"Demamnya udah enggak ada, sih!" Mama bicara sendiri setelah merasakan suhu tubuhku normal.
"Mama udah makan siang?" tanyaku.
"Sudah. Ini." Mama menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna hitam mewah.
"Apa ini, Ma?"
"Buka aja."
Akupun membukanya. Betapa terkejutnya aku, di dalam kotak tersebut, berisi sebuah gelang emas putih dengan bandul yang cantik. Sederhana. Tapi, cantik. Sangat cantik.
"Ini buat Olga, Ma?"
Mama mengangguk dengan senyum hangatnya.
"Terima kasih, Ma. Ini cantik banget!" Aku begitu antusias.
Aku memeluk mama dan ia membalasnya dengan tepukan lembut di punggungku.
"Loh? Kenapa mama ke sini?" Tiba-tiba Remy turun dan menghampiri kami.
"Mama khawatir Olga belum sembuh juga. Tapi, ternyata udah sembuh." Mama tersenyum.
Remy duduk tepat di sebelahku, ia menggamit bahuku.
"Mama udah makan?" tanya Remy.
"Sudah. Mama cuma mau lihat keadaan Olga dan sekalian bawain rendang buat kamu," jelas mama.
Remy hanya manggut-manggut.
Tidak lama kemudian, Mbak Tini datang membawakan teh hangat untuk mama.
"Ini Bu, tehnya."
"Terima kasih, Tini," jawab mama dengan senyumnya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya mama setelah mbak Tini pergi.
"Enggak ada," jawab Remy.
Setelah meletakkan cangkir tehnya, mama berkata, "sepertinya bulan madu kemarin di Bali berhasil. Hari ini, mama lihat Remy sedikit beda dengan Olga."
"Beda gimana? Mama berlebihan," Remy menanggapinya.
"Gestur tubuh kamu, Rem. Mama bisa bedakan dari sebelum bulan madu dengan hari ini."
"Terserah mama aja!"
"Ya, apapun itu, mama ikut senang pokoknya. Oiya, Olga sudah cek?"
"Cek apa?" Aku bingung dengan pertanyaan mama.
"Udah testpack belum?" Mama mengulang pertanyaannya.
"Sudah, Ma. Tapi maaf ya, hasilnya masih mengecewakan mama." Aku merasa tidak enak hati dengan mama, karena ia sangat berharap ada cucu di perutku.
"Mama tenang aja, cucu mama lagi on the way, kok!" Kini Remy yang menimpali.
Aku melotot ke arahnya.
Mama memandangi kami bergantian dengan pandangan yang-entah apa.
***
Sudah tiga hari aku menyandang sebagai istri Remy. Maksudku, benar-benar istri yang melayaninya selayaknya seorang istri. Aku bahagia sekali. Ternyata, seperti ini ya, kehidupan rumah tangga. Memang baru tiga hari aku melepas segel, jadi masih berasa pengantin baru.
Padahal, pernikahan kami sudah berjalan sekitar enam bulan. Namun, perasaan bahagia itu baru aku rasakan sekarang.
"Masak apa?" tiba-tiba Remy memelukku dari belakang-seperti biasa.
"Masak ayam mentega, perkedel sama kacang panjang," jawabku masih tetap menumis kacang panjang.
"Wanginya enak. Aku mau mandi dulu, deh!" Setelah menyelesaikan kalimatnya, ia mengecup pipi kananku. Lalu ia naik ke atas untuk membersihkan dirinya.
"Ehem..." itu suara Mbak Tini.
"Kenapa, Mbak? Batuk? Minum puyer," godaku.
"Itu mah obat buat pusing, Non," jawabnya.
Aku hanya senyum-senyum serata tetap memasak.
"Mas Remy, kelihatan lebih mesra, ya Non?" Mbak Tini mulai penasaran dengan sikap Remy yang berubah-lebih manis.
"Kan, kita udah sah jadi suami-istri, Mbak," kataku.
"Wah! Selamat ya, Non. Senang, deh dengarnya. Jadi, dedek bayinya sebentar lagi jadi, dong!"
"Doain aja, Mbak. Se-dikasihnya aja."
"Pantesan, kapan hari itu, Mbak ke dapur, kok masakannya ditinggal? Ternyata lagi bikin dedek bayi," goda Mbak Tini.
Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Selanjutnya, Mbak Tini membantuku menyelesaikan masakan.
*Olga, Remy dan anak-anak-anak-anaknya. Hah??? Banyak amat anaknya???
*Olga dan Remy, beneran bobok bareng. Bisa pelukan, bisa kiss-kiss, bisa uwu-uwuan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top