CHAP. 21 : Pengakuan

"Rem, Olga gimana keadaannya?" Mama datang ke rumah kami, setelah mendengar kabar dari Mbak Raras, bahwa aku sakit dan segera ingin kembali ke Jakarta.

Sekarang kami sudah di Jakarta dan aku langsung istirahat di kamar. Mama ada di sini, melihat keadaanku. Remy sedang mengecek sesuatu di laptopnya.

"Olga sudah mendingan, Ma." Remy berkata seraya mengetik sesuatu di laptop.

"Ini!" Mama menyodorkan benda pipih panjang berwarna putih pada Remy.

"Ini buat apa?" tanya Remy bingung.

"Ini testpack. Coba tes besok pagi, siapa tahu Olga lagi hamil." Mama begitu antusias menyuruh Remy.

"Ya ampun, Ma! Olga enggak hamil!"

"Jangan sok tahu kamu, Remy! Coba nurut sama Mama!" Mama bersikeras.

"Iya, besok pagi Olga bakal tes, ma," akhirnya Aku menjawab.

Remy melihatku seraya memberikan tatapan bingung.

"Iya, Olga. Besok langsung kabari Mama, ya?" Mama mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk lemah.

Tidak lama berselang, setelah berbicara sebentar dengan Remy, mama pamit.

"Kamu beneran mau tes?" Remy menghampiriku di ranjang.

"Iya. Biar mama enggak penasaran lagi, kasihan."

Remy hanya mengangguk setuju.

"Besok ada meeting?" tanyaku.

"Papa yang gantiin."

"Kok bukan kamu aja?" tanyaku lagi.

"Kamu masih sakit, aku akan ke kantor kalau kamu udah sehat."

"Enggak apa-apa, besok pasti udah lebih sehat lagi. Kamu terlalu lama ninggalin kantor, kasihan papa. Dia kan udah tua, pasti capek banget," ujarku.

"Kamu enggak apa-apa aku tinggal?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk pasti.

***

Pagi ini aku bangun dengan tubuh segar. Aku yakin, aku sudah lebih baik. Remy belum bangun, aku bergegas mandi dan setelahnya, turun ke dapur, menghampiri Mbak Tini.

"Non, udah sehat?" tanyanya.

Aku mengangguk beserta senyum lebar menghiasi wajahku. Rasanya senang, bisa beraktifitas kembali.

"Saya aja yang masak, Mbak."

"Jangan, Non! Nanti Mas Remy marah sama saya, Non istirahat aja, ya?" Mbak Tini tampak khawatir.

"Saya capek tiduran terus. Udah, saya aja yang masak. Remy enggak bakal marah, percaya, deh!"

"Ya udah, kalau gitu! Saya nyapu halaman belakang dulu ya, Non," pamit Mbak Tini.

Aku hanya bergumam sebagai jawabannya. Aku langsung membongkar kulkas, melihat ada daging apa saja yang bisa aku olah. Mbak Tini sudah menyiapkan sayur brokoli, aku tinggal memasaknya. Aku harus cepat, sebelum Remy bangun.

Entah sudah berapa lama aku bejibaku di dapur, tiba-tiba saja sepasang lengan melingkar di perutku dari belakang. Beserta embusan napas hangat menyentuh telinga dan kulit leherku.

"Astaga! Kamu ngagetin tahu, enggak?!" ujarku setelah melirik siapa yang memelukku.

"Kamu udah sehat?" tanyanya.

Aku mengangguk, tanganku tetap melakukan aktifitas memotong brokoli.

"Apa besok aja aku ke kantornya, ya?" Remy bertanya.

"Loh! Kenapa? Hari ini aja, kamu kan ada meeting," jawabku.

"Aku mau melanjutkan malam pertama kita yang tertunda di Bali, kemarin," bisiknya.

Aku berbalik menghadapnya, menatap wajahnya. Sedikit tidak percaya dengan pendengaranku. Remy, pagi ini, menggodaku.

"Aku enggak salah dengar?" Aku menanyakan lagi.

Remy mematikan kompor yang tadinya masih menyala, membuka celemekku dan ia menggendongku ala bridal. Aku terkejut saat ia mengangkat tubuhku. Kedua tanganku sontak saja terulur mengalungi lehernya sebagai pegangan.

"Kamu enggak salah dengar! Aku tersiksa sejak malam itu, membayangkan adegan ciuman kita. Kepalaku rasanya mau pecah, saat aku menyentuh kamu, saat desahan seksi kamu keluar, itu berputar terus di otak aku." Ucapnya panjang lebar tetap menaiki tangga seraya menggendongku.

Aku hanya senyum-senyum geli mendengarnya. Tanpa ia ketahui, akupun saat sakit kemarin, membayangkan kejadian malam itu. Saat itu, Remy benar-benar membuatku gila dengan sentuhannya. Rasanya aku menginginkannya lagi. Damn!

Begitu sampai di kamar, ia menurunkanku dekat ranjang, ia kembali mengunci pintu kamar. Setelahnya, ia mendekatiku dan menarik pinggangku hingga tak ada jarak lagi bagi kami.

"Sebelum kita melakukannya, aku mau bilang, sejak awal kita kencan buta itu, aku udah tertarik sama kamu, Olga," ungkapnya.

Aku terkejut. Tentu saja tidak percaya. Saat kencan buta itu, aku benar-benar seperti sedang mempermalukan diriku.

"Kamu serius?" Aku benar-benar tidak percaya.

Ia mengangguk.

"Yaaah, walaupun kamu saat itu sedikit aneh. Makan seperti orang kesurupan, bicara blak-blakkan soal kamu enggak minat sama pengusaha kecil seperti aku, justru itu membuat aku berpikir, bahwa kamu tidak pura-pura bersikap manis ke aku," jelasnya lagi.


"Tapi, ternyata kamu bukan pengusaha kecil," sambungku.

"Kamu enggak menyesal, kan menikah sama aku?" tanyanya.

"Enggak. Soalnya kamu kaya."

Dia tertawa hingga matanya menyipit.

"Dasar matre!" Ia menjawil hidungku.

"Cewek itu, suka cowok pintar. Pintar nyari duit!" ucapku.

Ia kembali tertawa mendengar ucapanku.

"Kamu enggak gegar otak, kan? Kok, bisa suka sama aku yang matre?" Aku memastikan. Bisa saja, kan, saat ini ia sedang mengalami amnesia sementara.

"Aku sehat. Aku memang mencari wanita yang senang menghabiskan uangku," selorohnya.

"Ah! Bingo! Kamu berada di wanita yang tepat!"

Ia kembali tertawa. Ia manis dengan wajah penuh tawa seperti itu. Biasanya, hanya wajah minim ekspresi yang ia perlihatkan. Dan, komentar-komentar pedasnya bagai netijen masa kini.

"Kamu enggak berencana balikan sama Jessica?" Aku penasaran.

"Kenapa harus ditanya lagi? Di Bali, aku udah jelasin semuanya."

"Sekarang jawab aja. Wanita emang ribet, mau jawaban jelas dan pengakuan." Aku nyengir.

"Aku enggak punya perasaan apapun lagi sama Jessica, jadi ... jawabannya jelas. Aku enggak ada niatan mau balikan sama dia."

"Aku juga udah enggak ada perasaan apapun ke Gian. Perasaan itu pindah ke kamu. Entah sejak kapan. Kayaknya, pas kamu nganterin aku ketemu Gian di cafe pertama kali, deh!" jelasku seraya mengingat-ingat kejadian itu.

"Itu menyebalkan! Aku jeallous lihat kamu sama Gian, sedangkan aku, nungguin kamu di mobil! Serasa lagi mata-matai istri selingkuh!" Ia tersenyum kecut.

Aku tertawa.

"Jadi ... bagaimana dengan kontrak kita?" tanyaku.

"Kontrak yang mana? Tidak ada kontrak sejak awal. Itu hanya akal-akalan aku aja!" jelasnya seraya menelusupkan jemarinya ke dalam helaian rambutku. Persis seperti malam itu.

"Olga, ada tiga kata dengan delapan huruf yang ingin aku ucap," ujar Remy.

Aku mengernyitkan dahi.

"I love you!" ucapnya.

Aku tersenyum. Aku tidak menyangka dengan Remy saat ini. Biasanya datar. Kini, ia pandai menggoda.

"Kamu mau aku jawab apa?" godaku seraya memasukkan jemariku ke dalam kaosnya. Mengusap perut berototnya dan naik ke dadanya. Ia menggeram pelan.

"Aku enggak butuh jawaban. Aku ingin kamu menyerahkan diri ke aku," jawabnya.

Ia menautkan bibirnya di bibirku, mencecapnya lembut. Wangi mint pasta gigi. Aku rasa ia sudah mempersiapkan ini. Aku tersenyum dibalik ciuman kami.

Lalu, aku membalasnya, menyerahkan lidahku padanya agar ia mencecapnya. Tangannya tidak tinggal diam. Ia membuka kancing dress-ku perlahan, menggoda. Meremas payudaraku dengan lembut.

Ia membuka pakaianku dan membiarkan dress-ku tergolek di lantai. Ia tetap meneruskan aktifitasnya. Menjelajahi leherku dengan bibirnya. Menggairahkan.

Akupun merasa ingin lebih dari ini, segera aku lepaskan kaosnya dan terlihatlah perut seksinya.
Tatapannya berkabut, kami masih berdiri, ia melihat seluruh tubuhku yang kini hanya memakai dalaman.

"You're so sexy with black!" pujinya.

Ya, aku memakai bra dan celana dalam berwarna hitam.

Setelahnya, ia menurunkan celananya. Menggiringku ke atas ranjang, direbahkannya dan ia melanjutkan kegiatan panas tadi. Ia menjelajahi seluruh area tubuh, tidak terlewat. Setiap inci tubuhku, tangannya menelusuri dengan penuh minat. Terkadang berhenti di bagian tertentu. Dan meremasnya.

Ia membuka pengait bra-ku, menurunkan celana dalamku. Ia memandangi keseluruhan tubuhku. Bagaikan sedang berpikir, akan ia makan bagian mana dulu?

Damn! He's fucking hot!

*Olga dan Remy meresmikan status suami-istrinya pagi-pagi. Emm, serangan fajar memang lebih seru 😬😬

*Olga, ketika lihat Remy naked di depannya. Untung ga mimisan 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top