CHAP. 2 : Kepanikan dan Ancaman
"Ini gimana?! Gue harus gimana?! Dia anaknya bos gue?! Kenapa elo enggak bilang, dia anak Pak Rizwan Dirgantara?!" Aku panik sepaniknya. Heboh sehebohnya.
Mona hanya memasang wajah polos-tidak tahu-yang-membuatku-semakin-geregetan.
"Gue enggak tahu nama sahabat bokap gue, Pak Rizwan Dirgantara. Yang gue tahu, namanya, Om Izwan."
"Terus? Gue harus gimana, dong?!" Aku membanting tubuhku sendiri di ranjang besar milik Mona, seraya memejamkan kedua mataku.
Aku pusing.
Aku panik.
Aku takut.
Remy, anak dari bosku. Pertemuan kemarin, saat Pak Rizwan bertanya mengenai kami, Remy hanya menjawab, "Nanti papa akan tahu!".
Ya ampun! Aku takut Remy akan menceritakan kejadiannya dan Pak Rizwan akan marah, lalu memecatku!
Aaarrgghhhh!!!
Tidakkk!!!
"Om Izwan baik, kok! Elo tenang aja!" Mona dengan wajah tanpa dosanya.
Aku bangkit, duduk dan menatapnya dengan memicingkan kedua mataku.
"Itu kan menurut elo! Sedangkan gue? Gue cuma bawahannya yang masih membutuhkan gaji darinya untuk membayar hutang-hutang kampret itu!"
"Sabar, tenang, Olga!" Mona mengusap-usap punggungku dengan lembut.
Ya ampun! Mona kenapa bisa begitu polosnya dan ... tidak terbebani dengan kebohongan yang sudah terbongkar.
***
"Saya enggak tahu kalau ternyata kamu sudah kenal dengan Remy," ucap Pak Rizwan.
Aku hanya tersenyum canggung.
"Sudah berapa lama kamu kenal Remy?"
"Emm ... baru kok, Pak! Beberapa bulan gitu ..."
Pak Rizwan hanya manggut-manggut.
Aku langsung bersujud di depannya dan memegang kedua tangannya.
"Pak, tolong jangan pecat saya! Beneran, pak, saya enggak tahu kalau Remy, anak Bapak! Tolong, jangan pecat saya, Pak!" Aku bersujud tepat di depan kakinya.
"Olga! Apa-apaan kamu?! Bangun!" hardiknya.
Aku langsung menurutinya dan menunduk malu, karena merasa sudah tidak memiliki muka.
"Saya enggak akan pecat kamu, hanya karena kamu berteman dengan anak saya, Olga! Saya tidak sekolot itu!"
Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan Pak Rizwan terbuka dan pria-yang-sangat-tidak-kuharapkan datang dan tersenyum sumringah begitu melihatku.
"Ternyata, kamu ada di sini. Kita bisa sekalian bicara sama Papa." Ia langsung duduk di sofa panjang begitu selesai bersalaman dan menyapa sebentar Pak Rizwan.
"Hah?! Sa-saya?!" Aku menunjuk diriku sendiri.
"Sini, Olga, duduk!" unjuk Pak Rizwan.
Remy menepuk-nepuk sofa di sebelahnya dengan senyum yang begitu menyebalkan.
Aku duduk di sofa lain.
"Ada apa Remy? Katanya kamu mau bicara hal penting sama papa?" tanya Pak Rizwan.
"Pa, maaf kalau Remy mendadak memberitahu ini. Tapi, kencan buta dengan Mona, tidak berjalan lancar dan perjodohannya dibatalkan saja. Remy mohon maaf. Remy sudah memiliki pacar."
"Hemm ... " Pak Rizwan hanya bergumam seraya masih tetap fokus mendengarkan penjelasan selanjutnya dari Remy.
Aku di sini, merasa tidak penting. Karena ternyata mereka membicarakan perjodohan itu. Tetapi di lain sisi, aku senang.
Yeayyy!
Akhirnya, Remy membatalkan perjodohan dengan Mona—atau aku saat kencan itu.
"Olga adalah pacar Remy selama ini, Pa!"
A-apa?! Apa itu tadi?!
Aku melotot melihat ke arahnya setelah memahami pembicaraan ini, menggelengkan kepalaku pelan, mencoba membuatnya paham dengan gerak tubuhku, bahwa, aku tidak setuju dengan rencana apapun yang ia buat.
"Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Papa tidak akan memaksa kamu dengan Mona. Bahkan, jika dengan Olga, papa enggak keberatan. Papa sudah mengenal Olga dengan cukup baik," ucapnya dengan panjang lebar.
Remy tersenyum.
Ya Tuhan! Senyumnya manis sekali!
Damn! Apa-apaan, sih?! Hey, otak! Stop!
***
"Kamu apa-apaan tadi?!" Aku langsung menunjukkan rasa tidak sukaku dengannya.
Kami sedang berada di dalam mobil pribadinya. Kebetulan, Pak Rizwan menyuruhku mengantarnya sampai ke mobilnya. Pak Rizwan langsung percaya dengan yang dikatakan Remy mengenai aku dan ia berpacaran.
"Jadi, nama kamu Olga dan kamu sekretaris papa selama empat tahun ini?" Dia tidak menjawabku, malah mempertanyakan hal lain.
"Kalau iya, kenapa? Ada masalah?!"
"Pertama, kamu berbohong soal identitas kamu saat kencan buta kita minggu lalu. Ke-dua, kamu memperkenalkan diri sebagai Mona pada saya. Jadi, saya anggap dua hal tersebut masuk ke dalam penipuan."
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Aku tidak berpikir sampai situ.
"Terlebih, kamu bohongin saya. Jadi, untuk menebus perbuatan kamu, kamu harus bekerjasama dengan saya sebagai pasangan di depan papa."
Ia melanjutkan.
"Dan ... Ini bukan hanya sebagai pacar. Tetapi, sudah dipastikan, papa akan segera menyuruh saya untuk menikahi kamu."
"Enggak! Aku enggak mau! Jangan memaksa, ya!" Aku tentu saja menolaknya. Aku belum mau menikah muda.
Menikah muda, tidak pernah ada dalam wish list ku.
"Kamu enggak bisa nolak, Olga. Kamu mau saya laporin ke papa? Atau ke polisi?" tanyanya dengan tenang.
"Kamu ngancem?!" Aku melotot ke arahnya, mempertahankan rasa beraniku yang mulai menciut.
"Ini bukan ancaman, tapi, ini yang seharusnya saya lakukan sejak kemarin ketika kita bertemu di restoran." Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Posisinya sangat mengintimidasiku.
Aku tidak suka dengan keadaan seperti ini.
"Pernikahan kita hanya sebuah kontrak. Kamu tenang saja. Kamu juga bukan tipe saya," ucapnya dengan melihat ke arahku dari kaki hingga kepalaku.
"Dih! Kamu juga bukan tipe aku!" Aku menaikkan sebelah alisku.
"Ehem, jadi ... untungnya buat aku apa, kalau setuju dengan kontrak ini? Jangan ambil kesempatan, ya!"
"Tentu saja sangat menguntungkan, kamu jadi istri saya. Kamu bisa berhenti bekerja sebagai sekretaris papa dan bertugas menjadi menantunya yang paling baik hati dan penurut. Kamu bisa shopping, makan enak di restoran, bisa belanja barang-barang branded, bisa nyalon, bisa kumpul-kumpul dengan genk sosialita kamu. Gimana? Itu semua keinginan kamu, kan?"
Wah...wah...
Aku malah tidak kepikiran seperti itu. Aku kira ia akan mengurungku di sangkar emasnya.
"Oke! Deal!"
Ia tersenyum.
"Besok, kita bertemu. Kita akan menuliskan segala hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika pernikahan kontraknya berjalan."
"Di mana?" tanyaku.
"Besok saya kabari kamu. Sekarang, kamu bisa keluar dari mobil saya."
Aku mendengus saat ia mengusirku.
Dasar, sombong!
Aku langsung keluar dari mobilnya dan supir pribadinya tersenyum ramah kepadaku. Ia langsung masuk ke dalam mobil begitu aku keluar. Akupun langsung kembali ke kantor.
Kita lihat saja besok! Aku harus memikirkan hal-hal yang ingin aku tulis besok di surat kontrak tersebut.
Yang pasti, hutangku akan segera lunas. Itu adalah hal pertama yang akan aku lakukan sebelum menikmati kekayaan Remy.
💰💰💰
*
Ekspresi Olga, saat Remy berkata :
"Olga adalah pacar Remy selama ini, pa!"
A__apa?! Apa itu tadi?!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top