CHAP. 16 : Pertengkaran Pertama
"Jadi, kalian itu sebenarnya, ada rasa suka enggak sih?" Mona.
Saat ini, aku di apartemen Mona. Setelah mengantarkan makan siang ke kantor Remy, menemaninya makan, aku ijin dengannya untuk menginap di apartemen Mona.
"Kamu enggak makan?" tanya Remy.
"Aku udah makan duluan."
"Kalau kamu enggak makan, aku juga enggak mau makan." Ia menjauhkan wadah makannya dan kembali duduk tegap.
"Aku udah makan, kamu makan aja. Aku temenin di sini," Aku.
Dia menggeleng.
Akhirnya aku menghela napas dan mengambil wadah makan tersebut, lalu memakannya sedikit. Selanjutnya, aku menyuapinya. Aku hanya makan dua sendok saja, sedang tidak nafsu makan. Tentunya dengan beralasan sudah makan lebih dulu.
Ia tidak mempermasalahkan lagi. Selama makan siang tadi, tidak ada pembicaraan apapun. Karena memang tidak perlu ada yang dibahas. Toh, kita sama-sama setuju untuk kejadian malam itu, tidak pernah ada!
Setelah ia selesai makan, aku ijin ingin menginap di rumah Mona. Sekitar dua hari, mungkin. Alasannya adalah karena aku bosan di rumah. Ia menyetujuinya.
"Gue enggak tahu, Mon."
"Elo suka enggak sih sama Remy? Maksud gue, elo ada perasaan enggak ke dia?" Mona.
Sempat diam. Lalu, aku menggeleng.
Aku tidak tahu.
"Sama Gian gimana?" Mona.
"Biasa aja sekarang." Aku jujur mengatakan itu.
"Apa benih-benih cinta mulai tumbuh buat Remy?" Mona.
"Apaan, sih?!" Aku melempar anggur ke arahnya. Ia hanya cekikikan.
Aku sudah menceritakan semuanya ke Mona. Walaupun tidak ada solusi yang ia tawarkan, tapi, pertanyaan-pertanyaannya, membuatku semakin berpikir.
***
Dua hari menginap di apartemen Mona, akan membuat tubuhku cepat subur alias menggemuk. Kerjaan kami hanya, makan, bergosip, menonton, tidur dan belum lagi cemilan-cemilannya. Dan, itu semua akan terus berulang.
"Kita ke Mal aja yuk?" Mona.
Aku menyetujuinya. Lagipula, Mal ada di lantai bawah. Anehnya, sejak kemarin, kami hanya di dalam apartemen saja.
Kenapa sekarang baru kepikiran akan ke Mal?
Maklum, Mona itu anak tunggal. Ia beruntung, lahir dari keluarga kaya raya. Semua yang ia inginkan dan butuhkan, akan tersedia dalam sekejap. Jadi, sekalipun ia tinggal di apartemen sendirian, mamanya akan mengirimkan aneka lauk pauk hasil masakan mama tercintanya.
Bisa dibilang, hidupnya aman, damai, sentosa.
Setelah kami rapi, segera turun ke Mal. Begitu kami keluar dari lift, ternyata, Gian sudah ada di depan pintu lift.
Ia tersenyum.
Aku menoleh ke Mona, ia hanya nyengir. Aku sudah yakin, pasti Mona yang memberitahunya bahwa aku ada di sini.
"Hai!" Gian.
"Hai!" Aku.
"Aku wa kamu, tapi enggak pernah dibales. Ada apa?" Gian.
"Em, maaf."
"Mon, gue pinjam Olga dulu, ya?" Gian.
"Silakan. Gue juga mau beli buah-buahan dulu. Bye Olga, Gian!" Mona pergi lebih dulu ke supermarket.
"Mumpung kita di sini, kita jalan yuk?" Gian.
"Aku-"
"Olga?!" Itu suara Remy. Tanpa perlu melihatnya, aku sudah hapal dengan suaranya.
Aku dan Gian menoleh bersama. Benar itu Remy. Namun, kenapa ada Jessica?
Remy dan Jessica menghampiriku.
"Ayo, pulang!" Remy.
"Maaf, anda siapa? Olga sama saya," Gian.
"Saya suaminya!" Remy.
Aku langsung melotot ke arahnya. Gian bingung, ia melihat ke arahku meminta penjelasan. Begitu juga dengan Jessica, ia terlihat sangat tidak terima.
"Tapi, mobil aku-"
"Biar Pak Amir yang bawa mobil kamu. Kamu pulang sama aku."
"Loh, Rem! Kita, kan mau jalan ke Mal," Jessica.
"Kamu bisa jalan sendiri atau langsung pulang naik taksi. Saya mau pulang sama Olga," Remy.
Ia menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya. Gian menanti penjelasan dariku dan Jessica semakin sinis melihatku.
Begitu sampai di tempat parkir, ia membukakan pintu untukku dan kami langsung meninggalkan pelataran parkir. Sepanjang awal perjalanan, kami sama-sama diam.
"Selama dua hari, kamu jalan sama Gian?" Remy.
"Enggak. Aku baru ketemu dia tadi," jelasku.
"Benar?"
"Iya, kenapa memangnya?" Aku.
Ia menggeleng.
"Kenapa kamu bilang ke Gian, kalau kamu suami aku?" Aku.
"Kita kan memang suami istri!"
"Suami-istri di atas kertas. Kita menikah pakai perjanjian. Salah satunya, jangan mencampuri urusan masing-masing!"
"Bisa enggak, kamu enggak usah bahas surat perjanjian kita itu?"
"Enggak bisa. Surat itu sah, ada meterainya. Kamu lupa? Kamu yang buat itu semua! Jadi, jangan campuri urusanku lagi!"
Ckiiiitt!
Tiba-tiba Remy membanting setir ke kiri, dan berhenti di pinggiran jalan. Aku sangat takut dan terkejut.
"Dengar! Sejak kemarin, kamu sepertinya marah sama aku! Aku merasa kamu lain sama aku. Kalau memang aku ada salah, kamu bisa bicara sekarang," Remy.
"Kamu enggak tahu salah kamu apa?" Remy.
"Kamu enggak bilang, gimana aku bisa tahu?! Jangan berharap, seorang pria akan tahu salahnya kalau wanitanya cuma diam aja!"
"Dan, tolong! Jangan pakai kata 'enggak ada apa-apa' atau 'terserah'!" lanjutnya.
"Ck! Jadi, Jessica seperti itu?"
"Kenapa jadi ke Jessica?! Kita sedang bahas masalah kita."
"Kamu enggak suka, kalau Jessica dibawa-bawa?"
"Aku enggak lagi bahas Jessica! Aku bahas KITA!" Dia menekankan kata KITA.
"Enggak ada KITA! Karena, sejak awal, pernikahan kita cuma bohongan!"
"Ya Tuhan, Olga! Pernikahan kita bukan bahan becandaan. Aku serius saat mengucapkan ijab kabul di depan orang banyak."
"Tapi, kamu anggap ciuman kita tempo hari hanya sebuah kesalahan! KESALAHAN, karena kamu membayangkan sedang mencium Jessica, kan?" Aku berteriak ke arahnya. Ia terkejut mendengar ucapanku itu.
Ia diam.
Tak ada penjelasan apapun darinya, aku membenarkan kembali posisi dudukku. Aku menghadap ke arah depan, melihat jalanan.
"Olga ... saya bingung harus menjelaskannya, tapi saya berharap kamu tidak salah paham."
"Ya, ya, saya minta maaf, karena terlalu mendramatisir kejadian tempo hari!" Aku.
"Olga, bukan itu maksud saya-"
Ucapannya terpotong, ponselnya berbunyi. Dan ia bicara di telepon memakai bluetooth wireless-nya. Ternyata yang menelepon adalah Pak Amir. Ia menyuruh Pak Amir agar ke apartemen Mona dan mengambil mobilku di tempat parkir. Akupun langsung mengabari Mona, agar memberikan kunci mobilku pada Pak Amir.
"Tadi, Jessica bisa sama aku, karena ia datang lagi ke kantor mengantarkan makan siang untuk aku. Aku memang mau jemput kamu pulang, ia terus mengikuti aku. Dan, kami tidak sedang jalan-jalan seperti yang kamu pikir," Ia menjelaskan.
Aku diam saja. Tidak menjawab, tidak menoleh juga ke arahnya.
Ia kembali menjalankan mobilnya dan mengantarkan aku pulang.
"Kita makan dulu, ya?" Remy.
"Aku mau langsung pulang."
Ia hanya menghela napas. Aku mendengarnya. Selanjutnya, sepanjang perjalanan pulang, kami hanya diam. Tidak lagi bicara apapun. Ia juga tidak berniat melanjutkan pembicaraan tadi.
Setelah menurunkan aku hingga di depan pagar dan memastikan aku masuk ke rumah, ia kembali ke kantor.
Aku langsung menuju ruangan Biscuit. Rindu bermain dengannya dan menghilangkan rasa gundah gulana yang ada di hatiku.
*Kata Venus, maminya Olga & Remy.
*Kata Venus lagi.
*Remy saat nyuruh Olga pulang di depan Gian.
Enggak estetik banget, sih, Rem!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top