CHAP. 15 : Mini Cooper Buat Olga
"Olgaa! Buka pintunya!" Remy sedang menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku tidak berniat menjawabnya. Aku sudah bangun, sudah mandi. Namun, aku memilih bersembunyi di dalam selimutku. Perasaanku masih tidak baik-baik saja. Kejadian semalam, membuat mood ku terjun bebas.
"Olga, kita perlu bicara!" Remy kembali menggedor pintuku.
"Baiklah! Nanti siang kamu ke kantor, bawakan aku makan siang seperti biasa. Kita bicara di sana!" lanjutnya.
Aku tidak menjawab. Lalu, hening. Mungkin Remy memang sudah turun. Aku tetap tidak beranjak dari kasurku. Aku membuka selimut dan menatap langit-langit kamar. Hanya berpikir ingin memutar waktu. Agar kejadian semalam tidak terjadi. Sungguh, ucapan Remy sangat menyakitkan.
Kesalahan?
Cih! Dasar pria brengsek!
Pukul 10.00 akhirnya aku keluar dari persembunyianku. Aku turun, langsung menuju dapur.
Di sana ada Mbak Tini.
"Non? Butuh apa?" Mbak Tini.
"Enggak. Saya mau siapin makan siang buat Remy. Nanti tolong Mbak aja yang antar."
"Loh?! Kok saya?"
"Jangan protes! Anterin aja, deh! Dia pasti nungguin makan siangnya. Mbak siap-siap ganti baju, gih!" Aku tetap sibuk memasukkan lauk pauk ke dalam wadah untuk makan siang Remy.
Ia pasti menungguku datang. Makan siang tetap akan datang, tetapi tanpa aku. Biar Mbak Tini saja yang antar.
Setelah siap semua, Mbak Tini juga sudah siap di depan. Aku memberikannya tote bag yang berisi makanan. Tidak lama kemudian, taksi datang.
Aku menghela napas panjang setelah taksi yang dinaiki Mbak Tini menghilang. Aku masih butuh waktu sendiri. Aku tidak mau melihat wajahnya.
Seharian aku habiskan hanya makan, bermain dengan Biscuit, memberinya makan, menonton televisi dan tidur siang.
Sorenya, aku sedang di teras bersama Biscuit. Lalu, sebuah truk-anggap saja truk ya. Itu loh, mobil panjang pembawa mobil. Di atas mobil itu, ada mini cooper berwarna putih. Setelah berbicara dengan satpam di pagar, satpam mengijinkan mobil besar itu masuk dan parkir di halaman rumah. Aku langsung berdiri.
Sang sopir dan satu orangnya lagi, turun dari mobil panjang itu. Mereka menghampiriku.
"Sore, Bu. Dengan Ibu Olga Pradipta Dirgantara?" sapa salah satunya dengan formal.
"I-iya, benar."
"Kami bawakan mobil pesanan Bapak Remy Pradipta Dirgantara untuk Ibu Olga," jelasnya.
Aku hanya bengong. Mbak Tini tiba-tiba sampai di rumah. Ia juga tampak bingung dengan kedatangan mobil itu.
Pria tadi menyerahkan beberapa kertas padaku untuk ditandatangani sebagai bukti, bahwa mobil tersebut sudah aku terima dan mengambil beberapa foto kami untuk dokumentasi mereka.
Setelah mereka menurunkan Mini Cooper tersebut dan terparkir cantik di halaman, mereka bergegas pamit. Aku masih bingung.
"Itu dari Mas Remy buat Non, kayaknya," celetuk Mbak Tini.
"Enggak tahu."
"Kayaknya, ada kemajuan nih, Non!" godanya.
Aku diam saja.
"Mas Remy baik, kan Non?" lanjutnya.
"Iya baik, kemarin aja dia minta maaf sama saya!" balasku dengan judes.
Mbak Tini yang tidak mengerti, senyum-senyum menggodaku.
Aku langsung masuk ke kamar. Tidak berniat untuk mencoba mobil tersebut. Aku memilih mandi. Dan, memilih menonton televisi di kamar. Seraya menunggu Remy pulang.
Tepat pukul 18.00, Remy sampai di rumah. Ia masuk ke kamar dan mengucapkan, "hai!"
Aku diam saja, tidak menjawabnya. Sama sekali tidak berniat menjawabnya. Ia masuk ke kamar mandi dan aku memilih turun ke ruang makan lebih dulu. Aku menghindarinya.
Aku menunggunya di meja makan, Mbak Tini kaget, aku turun lebih dulu. Namun, ia segera menyiapkan makan malam buat kami. Aku hanya duduk manis memperhatikan kesibukan Mbak Tini. Sama sekali tidak membantunya. Aku sedang malas melakukan apapun.
Mager!
Remy turun. Aku mendengar langkah kakinya. Ia duduk di sebrangku. Aku mengambilkan nasi untuknya dan untukku sendiri. Ia masih menatapku. Memperhatikan gerak-gerikku.
Begitu suapan pertama meluncur ke mulutku, ia bicara.
"Olga, maafin aku soal semalam," ucapnya.
Aku menghela napas. Sungguh! Aku tidak ingin mendengar kata maaf dari bibirnya.
"Aku melakukan itu-"
"Anggap aja semalam enggak terjadi apa-apa. Itu kan yang kamu mau? Jadi, aku anggap, semalam enggak terjadi apapun," Aku memotong kalimatnya. Aku tidak mau mendengar lebih lagi. Aku tidak mau sakit hati.
Ia diam, hanya melihatku. Aku tetap melanjutkan makanku tanpa mau melihatnya.
"Kamu marah sama aku?" tanyanya.
"Enggak!" Aku kecewa.
"Apa yang harus aku lakukan biar kamu ceria kayak biasanya?" tanyanya lagi, seperti tidak puas dengan jawabanku.
"Makan. Aku laper!" Hanya itu yang aku jawab.
"Tapi, malam ini kamu tidur di kamar kita, kan?" tanyanya.
"Iya."
Akhirnya ia makan. Aku tahu ia tetap melihatku, pandangannya tak berpindah. Ia seperti mengawasiku. Aku sama sekali tidak mau menatapnya.
Selesai makan malam, aku naik ke atas, menuju kamar. Meninggalkannya sendirian yang masih makan. Biarkan saja Mbak Tini yang mengurusnya kali ini.
Sejam kemudian, ia masuk. Mungkin habis dari ruang kerjanya. Ia masuk kamar mandi, membersihkan dirinya. Begitu keluar, ia langsung naik ke ranjang. Aku masih duduk di ranjang, menatap televisi yang menyala. Sebenarnya aku tidak berniat menonton. Pikiranku melayang kemana-mana.
"Kamu suka mobilnya?" tanyanya.
"Mobilnya bagus."
"Kenapa tadi enggak dicoba dulu?"
"Aku lagi males!"
"Itu buat kamu besok ke kantor bawain makan siang buat aku. Jadi, enggak perlu naik taksi lagi. Aku tadi sudah nanya ke Mas Iwan, kamu sudah lancar bawa mobilnya. Lagipula, SIM kamu kan udah keluar juga," jelasnya. Ini adalah kalimat terpanjang dari bibirnya selama pernikahanku.
Ya, kalimat ijab kabul juga termasuk yang terpanjang selama bersamaku.
"Jessica, kan bawain kamu makan siang juga!"
"Dia enggak ke kantor besok. Ada kerjaan ke luar kota," jawabnya.
Aku diam.
"Kamu enggak keberatan aku makan sama Jessica?" Remy.
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya dalam. Perasaanku campur aduk.
"Kalau memang kamu mau makan sama dia, silakan. Toh, kita enggak ada hubungan apa-apa, kan?" Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Ia diam. Tetap menatapku. Kami saling menatap. Aku tidak tahu yang ada di pikirannya.
"Terima kasih mobilnya. Besok aku akan antar makan siang buat kamu."
Aku langsung berbalik memunggungi dan menutupi tubuhku dengan selimut. Televisi masih menyala. Entah, ia menontonnya atau enggak? Aku paksakan pejamkan kedua mataku.
*Ini Mini Cooper buat Olga. Cuma respon, "mobilnya bagus!" Heh! Neng Olga, itu mobil muahalllll.
*Olga mager.
*Remy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top