CHAP. 11 : Perasaan Yang Aneh

"Remy, bisakah kita pulang ke rumah?" Aku bertanya seraya memakaikan dasinya.

"Kenapa?"

"Besok aku mau bertemu Gian."

Ia sedikit berdehem, "mau ke mana?"

"Kami hanya makan siang di restoran."

"Baiklah! Nanti sore kita pulang."

Aku tersenyum senang.

"Makasih!" Aku memeluknya.

Ia langsung melepaskan pelukanku, mendorongku menjauh dari tubuhnya.

"Nanti pakaianku kusut lagi, enggak usah peluk-peluk!" jelasnya begitu melihat aku memajukan bibirku.

"Hari ini aku les nyetir kan? Kok, Mas Iwan belum datang, ya?" Aku.

"Dia enggak akan datang lagi."

"Kenapa?"

"Nanti aku aja yang ajarin kamu nyetir!"

"Kenapa? Kamu sibuk di kantor, aku sama Mas Iwan aja."

"Kamu mau pecicilan lagi sama dia?"

"Hah?!"

"Udah, pokoknya kamu besok belajar nyetir sama aku sebelum kamu jalan sama si cowok payah itu!"

"Gian! Namanya Gian. Siapa yang payah?" Aku merengut melihatnya.

"Dia enggak nyatakan cinta ke kamu, udah lama. Tarik ulur, biar kamu enggak kemana-mana, dengan hubungan 'pertemanan'. Apa lagi namanya kalau bukan si payah?" Remy begitu sinis.

"Sok tahu! Kayak pengalaman cinta kamu bagus aja!" Aku mencibirnya.

"Aku mau berangkat kerja, bisa enggak, kita enggak berdebat bahas orang lain?" Ia menatapku.

Aku balik menatapnya. Dan, akhirnya helaan napas yang keluar dari kami. Kami seperti paham tanpa harus mengucapkan kata.

Akhirnya, tidak ada lagi perdebatan, tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Aku mengikutinya ke bawah, sarapan bersama papa dan mama. Mengobrol sedikit dan Remy mengutarakan pada papa dan mama, bahwa kami akan pulang ke rumah kami nanti sore, selepas Remy selesai bekerja.

Papa dan mama sedikit kecewa, tetapi mereka tak bisa berbuat banyak. Aku merasa sedih dan bersalah pada mereka.

***

Sekarang, aku sedang belajar menyetir bersama Remy. Ini hari Sabtu, dan aku tersiksa diajarin oleh Remy.

"Saat masukin gigi, yang halus. Jadi, penumpang nyaman!"

"kalau ngerem, pelan-pelan, bertahap. Jangan langsung diinjek sampai habis!"

Dan masih banyak lagi ocehan dari mulut pedasnya itu. Aku enggak sanggup lagi.

"Besok aku mau diajarin Mas Iwan! Kamu galak! Aku enggak bisa konsen! Aku injek ini salah, masukin gigi salah, pencet klakson salah!" Akhirnya protesku keluar. Kami masih di komplek rumah kami, di dalam mobil yang sedang berhenti.

"Aku kasih tahu yang benar, kenapa malah protes?" Remy.

"Aku mau sama Mas Iwan aja!" Aku merengek, air mataku sudah sebentar lagi akan keluar.

Remy benar-benar galak. Seram. Ucapannya pedas. Aku nyerah!

"Hu ... hu ... hu ..., Aku enggak mau lagi diajarin sama kamu! Aku mau Mas Iwan!" Akhirnya tangisku pecah.

"Apa-apaan, sih kamu? Nangis kayak bocah!"

"Pokoknya minggu depan sama Mas Iwan! Aku mau sama dia aja!" Aku masih menangis dan terus merengek.

"Ya udah! Ayo pulang, udah siang!" Remy.

"Aku enggak mau nyetir, kamu aja! Insecure aku kalau ada kamu!" Aku keluar dari mobil dan menuju pintu yang ditempati Remy.

Akhirnya Remy pindah tempat ke kursi kemudi, ia yang menyetir. Aku diam saja sepanjang jalan pulang. Aku tahu, ia sesekali melirik ke arahku. Aku sibuk sama hingusku yang keluar terus karena menangis tadi.

Setelah sampai rumah, aku bergegas ke kamarku. Oiya, kami tidur di kamar masing-masing, sejak pulang dari rumah papa.

Jujur saja, rasanya aneh, ketika harus tidur sendirian lagi. Rasanya ada yang kosong. Selama lima hari kami menginap di rumah papa, kami tidur bersama. Bahkan, ketika aku bangun pagi selalu di dalam pelukan Remy, aku tidak masalah. Malah rasanya nyaman.

Aku rasa, Remy tidak sadar saat di pagi hari, ia selalu memelukku. Karena setiap bangun, ia tidak pernah bertanya atau membahasnya.

Selesai mandi, aku merias diri. Memakai pakaian yang menurutku paling cantik. Aku keluar kamar dan mengetuk kamar sebelah. Aku ingin pamitan pada Remy. Tak ada jawaban, aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci oleh Remy. Aku panggil-panggil, tidak ada jawaban.

Mungkin ada di bawah.

Akhirnya aku ke bawah.
Begitu aku lihat Remy ada di ruang tamu sedang memainkan ponselnya, aku menghampirinya.

"Rem, aku pergi dulu ya?" pamitku padanya.

Ia bangkit dari duduknya, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana panjangnya.

"Ayo!" Ucapnya seraya berjalan keluar rumah.

"Aku sama supir aja!" tolakku.

"Aku antar!"

"Aku enggak mau!"

"Aku antar atau kamu enggak usah keluar sekalian!" finalnya.

Aku menghela napas, menyerah dan menurutinya. Aku mengikutinya berjalan di belakang hingga ke mobil.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Hanya musik dari radio yang sedang memutarkan lagu The Only Exception dari band Paramore.

Entah mengapa, lagu itu sangat mengena di hatiku. Suasana di dalam mobil semakin dingin, dalam artian, Remy seperti menjaga jarak dariku.

Aku tidak nyaman. Aku tidak suka ia diam seperti ini. Aku lebih suka ia protes tentang sikapku atau hal lainnya yang akhirnya terpaksa menjadi sebuah perdebatan.

Tidak terasa, kami sampai di restoran yang menjadi tempat janji temu aku dan Gian.
Remy masih diam.

"Enggak usah nunggu aku."

Ia masih diam.

"Makasih ya, aku masuk dulu." Akhirnya aku keluar dari mobil.
Sungguh, saat ini aku berharap ia mengataiku centil atau komen soal penampilanku. Sampai aku keluar, ia masih diam. Tetapi, aku tetap masuk ke dalam.
Aku menolak rasa bersalah di hatiku.

Aku juga bingung, kenapa aku harus merasa bersalah pada Remy?

Dia hanya suami sementara aku sampai setahun. Dan, hari ini, Gian, pria yang aku sukai sejak lama mengajak makan siang, jadi, aku tidak akan menyiakan kesempatan ini.
Toh, tidak lama lagi, aku akan menjanda.

Ya, ampun! Gian apa mau sama aku yang sudah jadi janda?

Gian melambaikan tangannya begitu ia melihatku dan aku langsung menghampirinya dan duduk berhadapan dengannya.

Ia sudah memesankan menunya, tidak lama kemudian pelayan datang membawa pesanannya. Restoran tidak mahal, biasa saja, tapi, aku senang. Karena bisa makan siang berdua aja sama Gian.

"Apa kabar, Olga?" Gian memulai percakapan begitu kami sedang makan.

"Baik. Kamu gimana?" Aku balik bertanya.

"Luar biasa. Kamu cantik banget hari ini," Gian memujiku.

Aku tersenyum malu, "terima kasih."

Kami makan dan bicara ringan. Perihal pekerjaannya. Setelah selesai makan siang yang cukup lancar, Gian mengajakku menonton di bioskop. Aku menyetujuinya dan kami pun keluar dari restoran.

Ketika menuju ke mobil Gian, aku melihat mobil Remy. Ia menungguku. Aku tidak tahu ia ada di mana, karena kaca mobilnya gelap.

Pesan wa di ponselku berbunyi.

[Kamu mau ke mana?] itu pesan Remy.

[Ke bioskop] balasanku.

[Ya udah, hati-hati. Cepat pulang!] balasan Remy.

[Kamu pulang?] Aku bertanya.

Dan, tidak ada balasan lagi darinya. Mobil Gian melaju dan meninggalkan pelataran parkir restoran.

"Siapa?" Gian bertanya saat ia melihat aku serius melihat ponselku.

"Bukan siapa-siapa."

Selanjutnya, Gian bercerita perihal rencananya akan menonton film apa dan membahas tentang acara hari ini.

Aku hanya diam saja, tatapanku tertuju ke jalan di depanku. Di kepalaku, dipenuhi bayangan Remy. Entah kenapa, aku kecewa pada diriku sendiri. Dan, rasanya, hari Sabtu ini, jalan-jalan bersama Gian sangat terasa tidak spesial.

*Kayaknya, ini ekspresi Remy, deh!

*Kata Venus buat Olga.

*Olga, di dalam mobil Gian, begitu dapet wa dari Remy.

*Olga nangis kejer, gara2 diomelin Remy pas belajar nyetir. Remy galak banget! Venus juga kasian liat Olga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top