CHAP. 10 : Suami Bohongan

Hari ini, hari pertamaku les menyetir mobil. Remy pergi mengantar mama ke butik. Sejak pukul 09.00 aku sudah pergi les menyetir. Sekitar pukul 15.00 aku kembali ke rumah papa. Remy sudah pulang, ia sedang duduk santai di teras.

Ketika mobil aku coba parkir di halaman, Remy sudah melihatku. Guruku, seorang pria. Sepertinya kami seumuran. Orangnya asyik, baik, ramah dan mudah sekali bercanda. Sepanjang les tadi, kami banyak mengobrol.

Ia menceritakan rencana ingin menikahi kekasihnya. Orangnya mudah diajak bicara. Banyak yang kami bahas. Dari soal film, hobi, rencana pernikahannya dan berapa lama ia sudah bekerja sebagai guru les menyetir.

"Mas Iwan, masuk dulu, yuk! Minum teh," ajakku setelah keluar dari mobil.

"Terima kasih Mbak Olga, saya harus kembali ke kantor," tolaknya halus.

"Loh! Minum teh dulu sama Mas Remy," Aku bersikeras menawarkannya.

"Dia harus kembali ke kantornya, kamu enggak denger tadi?" Remy.

Aku mendelik ke arahnya.

"Iya, Mbak Olga. Saya pamit dulu ya, Mbak, Mas." Ia kembali ke mobil dan pergi dari rumah papa.

"Jangan kecentilan!" celetuk Remy.

"Apanya yang kecentilan? Aku bersikap ramah! Apa salah?"

"Enggak usah terlalu dekat, dia cuma guru les kamu doang. Pake ketawa-ketawa di dalam mobil. Nanti dia berpikir, kalau kamu itu suka sama dia!"

"Kamu kenapa, sih?! Aku ramah sama orang, salah! Masih masalah foto?"

"Jangan-jangan, kamu cemburu, ya?" tembakku langsung.

"Ck! Cemburu? Buat apa?"

"Ya aku enggak tahu! Tapi, sikap kamu, mencerminkan kalau kamu cemburu sama para pria yang komen di foto aku dan sama Mas Iwan tadi!"

"Aku enggak cemburu! Gimana mau cemburu, kamu aja bukan tipe aku!"

"Oke! Jadi, jangan usik masalah pergaulan aku di luar sana. Aku bisa jaga diri dan aku enggak pernah melakukan hal bodoh. Jadi, stop, jangan komenin apa yang aku lakukan!"

Dan, aku langsung masuk ke rumah, meninggalkannya sendiri. Sungguh menyebalkan, sejak kemarin, masih saja membahas masalah yang sama.

Padahal, sesuai perjanjian, jangan usik kehidupan pribadi masing-masing.

***

"Bagaimana Olga, lancar tadi les menyetirnya?" Mama bertanya.

"Lancar, ma. Awalnya susah, sih! Tapi, pelan-pelan, Olga bisa, kok!" jawabku.

Kami sedang makan malam bersama. Seperti biasa, sesi makan malam selalu diselingi dengan obrolan ringan.

"Gurunya baik, enggak?" Mama.

"Baik, ramah, sabar juga Mas Iwan. Padahal, tadi Olga sempet hampir mau nabrak tiang listrik."

"Ya, ampun! Syukurlah, enggak apa-apa, kan?" Mama.

"Enggak jadi nabrak, kok!" Aku tersenyum menanggapi mama.

"Itu jadwalnya kamu yang atur, Rem?" Papa.

Remy mengangguk.

"Dari jam 9 sampai jam 3 sore? Kelamaan itu ,Rem. Apalagi, Olga kan baru pertama kali," lanjut papa.

"Biar cepat lancar, Pa," sahut Remy.

Setelah selesai makan malam, aku pamit terlebih dulu untuk ke kamar. Hari ini benar-benar melelahkan. Hampir tujuh jam aku les menyetir. Permintaan Remy. Katanya biar cepat lancar. Dijadwalkan seminggu dua kali. Hari ini dan lusa adalah jadwalku.

Setelah membersihkan gigi dan ritual lainnya sebelum tidur, aku langsung membaringkan tubuhku dan berselimut dengan nyaman.

Tidak lama kemudian, terdengar pintu kamar dibuka. Aku yakin itu Remy. Sepertinya ia langsung masuk ke kamar mandi.

"Kamu udah tidur?" tanya Remy begitu ia keluar dari kamar mandi.

Aku tidak menjawabnya.

"Ini! Tadi aku beli!" Ia meletakkan sebuah kotak di atas lengan kiriku.

Aku menoleh dan mengambil kotak tersebut, seraya duduk. Aku melihat ke arahnya. Memastikan, kalau kotak itu memang benar untukku. Ia hanya diam saja.

Aku membukanya. Isinya sebuah jam tangan wanita, cantik dan tentu saja mahal. Dari sebuah merk terkenal.

"Ini beneran buat aku?" tanyaku.

Ia mengangguk. Aku sumringah dan langsung memeluknya yang masih duduk di sampingku.

"Terima kasih, suami boonganku."

Ia langsung melerai pelukanku dan menatapku tajam.

"Siapa yang suami bohongan?" tanyanya masih memegang pundakku.

"Kamu."

"Aku suami sah kamu secara hukum dan agama. Jangan lupa soal itu! Jadi, jaga pandangan dan hati kamu di luaran sana!" Ia melepaskan pegangannya di pundakku dan memunggungiku.

"Tapi, kita kan menikah sesuai kontrak?" Aku merasa tidak ada yang salah dengan ucapanku.

"Iya, setahun. Setahun aku suami sah kamu dan kamu juga istri sah aku!" Ia menjawab tanpa mau menoleh.

Aku masih tidak mengerti, kenapa ia merajuk seperti itu? Tidak terima dengan ucapanku.

***

Remy mendiamkan aku. Tadi, saat sarapan, ia lebih banyak diam. Saat berangkat bekerja, ia tidak mengecup puncak kepalaku seperti biasa. Saat aku bertanya atau mengajaknya bicara, ia hanya menjawab seadanya. Aku tidak suka dengan sikapnya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan ucapanku semalam.

Aku kan bingung.

Ponselku berbunyi, aku langsung membaca pesan wa tersebut. Itu dari Gian. Aku sumringah membaca pesannya. Pukul 09.30, aku bersiap merapikan makanan yang akan aku antarkan ke kantor.

"Mau kemana, Olga?" Mama.

"Mau antar makan siang buat Mas Remy, ma."

"Pasti Remy senang, kamu datang."

Aku harap iya!

Setelah berkemas dan yakin tidak ada yang tertinggal, aku diantar oleh supir pribadi mama--Pak Aris. Dan, menuju kantor Remy.

Sekitar sejam kemudian, aku sampai. Setelah melapor terlebih dulu pada resepsionis bawah, aku langsung menuju lantai 12. Ruangan Remy.

Pintu lift terbuka. Aku berjalan menuju ruangannya, di luar, sudah siap sekretaris yang bernama Lita, yang dulu menggantikan aku. Ia berdiri tersenyum menyambutku dan mempersilakan masuk ke ruangan Remy.

Ketika aku masuk, Remy sedang bicara telpon. Ia hanya melirikku saja sekilas, lalu melanjutkan pembicaraannya. Aku duduk di sofa khusus tamu, meletakkan tote bag berisi makan siangnya. Aku menunggunya selesai.

"Tumben kamu ke sini?" tanya Remy begitu ia selesai dengan panggilan telponnya.

"Aku bawa makan siang buat suami aku," jawabku dengan sumringah dan membuka tote bag tersebut.

"Suami bohongan kamu, maksudnya?" Remy duduk tidak jauh dariku.

"Iya, maaf. Aku salah."

"Kamu enggak salah, aku memang suami bohongan kamu selama setahun nanti, kok!"

"Iya, aku enggak bakal salah ngomong lagi. Maaf ya? Maafin aku, kan? Nih, lihat! Aku pakai jam tangan dari kamu. Aku suka banget! Makasih ya!" ucapku menunjukkan pergelangan kiriku yang tersemat jam tangan yang ia belikan untukku kemarin.

Ia melihat pergelangan tanganku. Walau tidak terlalu jelas, tapi aku melihat senyum di wajahnya. Hanya segaris. Begitu tipis. Tapi, aku tahu, ia tersenyum melihat aku memakai jam tangan itu.


*Remy, saat Olga nunjukin lengannya yang terpasang jam mahal yang dibelinya.





*Olga, saat Remy ngambek pas Olga nyebut dia Suami boongan. Olga kan enggak peka! Olga kan dodol! Kan, Venus jadi kezel😫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top