20 🔸 Master Chef in Love with Dara

    Tangan Reivant menuntun tangan Diandra untuk melepas lengan bajunya. Ia menghela napas diam-diam, kemudian menatap tajam sahabat masa kecilnya itu.

    "Maaf Diandra, aku nggak bisa."

    Mendengar jawaban Reivant, Diandra tersenyum tipis. Sakit rasanya, ditolak oleh orang yang disayangi. Apalagi, orang itu pernah memperlakukan dirinya seperti tuan puteri.

    "Aku udah maafin hal itu. Aku udah berusaha untuk lupain semuanya. Dan sekarang, aku udah suka sama orang lain."

    Mengapa dada Diandra terasa begitu nyeri? Bagai dihantam hujan batu. Apakah, ini yang Reivant rasakan, ketika ia bermesraan dengan teman kafenya di bawah pengaruh alkohol?

    Saat itu, Reivant dan Diandra sudah menjalani hubungan, kurang lebih lima bulan. Mereka berdua sama-sama di mabuk asmara. Rasanya, dunia hanya milik berdua. Namun, semuanya sudah tergantikan oleh gadis lain. Tidak rela sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, semua hal sudah terjadi, dan kejadian di masa lalu itu adalah kesalahan yang paling Diandra sesali.

    Diandra mulai berandai-andai. Jika saja, ia menolak ajakan teman-temannya untuk main bersama di kafe, mungkin saja sampai saat ini, Reivant masih tetap menjadi miliknya. Padahal, Diandra sama sekali tidak ingat, apa saja yang ia lakukan bersama lelaki itu. Setelah menanyakan kepada teman-temannya, apakah mereka melakukan hal-hal yang memalukan, jawaban mereka tidak. Sampai saat ini juga, Diandra baik-baik saja, tidak berbadan dua.

    "Teman sekelas kamu, ya?" tanya Diandra sambil tersenyum hambar.

    "Bukan. Beda kelas," jawab Reivant.

    Ada perubahan dari dalam diri Reivant. Biasanya, cowok itu jarang mengurus penampilannya apabila tidak menyukai seseorang. Namun sekarang, Reivant selalu berpenampilan rapi dan ganteng. Tubuhnya wangi, auranya terpancar. Dan setelah diketahui, ternyata itu semua bukan karena mereka bertemu kembali, melainkan Reivant sudah memiliki pengganti.

    "Udah kamu ungkapkan?" tanya Diandra.

    Pipi Reivant bersemu merah. "Belum."

    Ada sedikit kelegaan setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh Reivant. Itu berarti, Reivant masih belum siap untuk mengutarakan perasaannya.

    Apakah Diandra belum terlambat, untuk mengambil kembali hati Reivant, yang saat ini berbelok ke gadis lain?

🔅

    Hari sabtu, Reivant, bersama trio nanas sedang bermain 'ulah seuri'. Axel mengusulkan ide permainan aneh untuk mereka berempat. Peraturannya mudah saja. Mereka duduk diam di tempat, wajahnya datar tanpa ekspresi, dan teman-teman yang lain menggoda kita, tanpa sepatah kata terucap

    Reivant mulai duluan. Ia mengelus pipi Farhan, lalu menggelitiki lehernya seperti anak kucing. Wajah Farhan sudah datar sejak embrio, jadi sentuhan seperti itu tidak berpengaruh baginya. Farhan hanya melotot ke arah Reivant.

    Sekarang giliran Farhan. Wajahnya mendekat ke arah Axel. Ketika cukup dekat, Farhan menempelkan hidungnya dengan hidung Axel. Digesek-gesekan ke kanan dan ke kiri, seperti seorang ibu kepada anaknya. Untung saja hidung mereka mancung, sehingga jarak diantara mereka masih menjunjung tinggi norma agama.

    "Ai sia keur naon? Garila!" pekik Axel, lalu menabok pipi Farhan. (Kamu ngapain?)

    "Yes, ketawa, keluar lo." Farhan menyingkirkan Axel dari lingkaran setan—ah, bukan, mereka hanya duduk melingkar saja.

    Kini, tersisa tiga makhluk nanas. Waktunya Ezra untuk maju. Belum apa-apa, ia sudah tertawa duluan. Ezra menampar kedua wajah sahabatnya yang terlihat bingung, sedangkan dirinya asyik terbahak-bahak. Humornya sedangkal otaknya.

    "Hahaha, rarayna pikaseubeuleun!" (Mukanya menyebalkan!)

    Duo nanas yang tersisa sontak menjitak Ezra.

    Permainan masih berlanjut. Dua pemain masih gigih dibalik dinding pertahanan. Atmosfir diantara mereka berdua seperti tokoh Naruto dan Sasuke. Dalam diamnya, mereka sedang ancang-ancang untuk mengeluarkan jurus andalan masing-masing.

    Namun ternyata, tidak ada yang terjadi. Reivant dan Farhan hanya saling bertatapan. Hening.

    Mereka berkedip sesekali, bernapas lewat hidung agar tidak mati, dan kini sudah lima menit duduk seanggun adipati.

    Pesshh ...

    Bau busuk menguar ke seluruh hidung cogan ganas.

    "Bau naon ieu?" tanya Axel sambil mengendus. "Koplok, maneh hitut nya?!" (Kamu kentut ya?!)

    Farhan akhirnya tersenyum tipis, tapi matanya tetap datar. "Iya," jawabnya.

    Pada akhirnya, Reivant yang menjadi pemenang.

    Tririring!

    Panggilan masuk dari Salsa kepada Reivant.

    "Halo?"

    [ Halo! Hei, Dara habis hujan-hujanan, kan, sama kamu?! ]

    Yang menelpon Salsa, tapi suaranya laki-laki.

    "Ini Marvin?"

    [ Iya, ini Marvin, lagi di rumah Adara. ]

    [ Adara demam gara-gara hujan-hujanan kemarin. Dia cerita ]

    Ya ampun, ternyata Adara sampai menggigil itu, karena tidak pernah hujan-hujanan. Sekalinya mencoba, malah demam. Tanpa disuruh, Reivant langsung meluncur ke rumah Adara.

🔅

    Pak satpam membuka gerbang untuk Reivant. Cowok itu masih belum terbiasa dengan rumah megah keluarga Adara. Motor Reivant masuk ke dalam.

    Kamar Adara berada di lantai tiga. Dikira akan berkeringat karena harus naik tangga ke lantai teratas, ternyata di dalam rumah sudah ada lift mini. Semakin takjub Reivant mencoba lift dalam rumah. Sebenarnya, apa pekerjaan ayah Adara? Mungkin, seperti di drama korea. Ayahnya adalah pemimpin perusahaan yang galak, didampingi seorang sekretaris yang cantik. Namun karena sudah berstatus duda beranak, sekretaris itu hanya bisa mengagumi bosnya.

    Untung saja Pras belum pulang. Jika sudah, nyalinya bisa mendadak ciut menghadapi orang tua kaya raya.

    Sesampainya di depan pintu kamar Adara, Reivant mengetuk pintu. Anehnya, malah Marvin yang mempersilahkan masuk.

    "Adara, kamu sakit?" tanya Reivant. Ia langsung memegang kening Adara. "Panas banget. Berapa derajat dia?" Ia bertanya kepada kedua sahabat Adara.

    "Tadi diperiksa tiga puluh delapan koma empat," sahut Salsa.

    "Ya ampun, panas banget!"

    Reivant mengelus rambut Adara. Gadis itu sedang terlelap. Melihat wajah Adara yang tertidur, Reivant menjadi gemas dibuatnya. Bidadari sepatu roda itu sangat cantik, meski wajahnya sedikit pucat.

    "Ehm, udah, apaan sih, nanti Adara bangun," sela Marvin.

    Reivant menoleh ke arah Marvin. Cowok itu terlihat tidak suka akan kedatangannya ke rumah Adara. Tersirat, dalam kilat matanya, Marvin mengatakan, 'jangan sentuh-sentuh Adara!', begitulah isyaratnya. Namun, siapa Marvin? Hanya sebatas sahabat saja, tidak lebih.

    Adara bangun dari tidurnya. perutnya mendadak berisik, keroncongan. Adara benar-benar malu. Mengapa harus di depan anak cowok? Ia takut dikira banyak makan kalau begini.

    "Dara lapar? Mau aku masakin sesuatu?" tawar Reivant, sambil sedikit menahan tawa.

    Tuh kan, terdengar. Adara bangun hanya untuk minta makan. Ah, memalukan.

    "Wah, kamu bisa masak?" tanya Salsa penasaran.

    "Bisa. Nasi tim ayam aja, ya. Nasinya dilembutin."

    Mendengar Reivant ingin membuat bubur untuk Adara, ia jadi tertantang untuk membuat sesuatu juga. Sedari tadi, Adara tidak mau makan apa-apa karena perutnya malah mual jika diisi. Serba salah. Namun sekarang, Adara malah kelaparan.

    "Nggak usah."

    Reivant menggeleng. "Dapur ada di mana?"

    Adara menghela napas. Reivant bersikap manis lagi padanya. Ia sudah bisa menebak, pasti nanti di sekolah, Reivant berubah lagi menjadi ketua OSIS judes yang tak berperasaan. Lebih baik, Reivant tidak usah jadi ketua OSIS saja biar tidak menjadi versi killer-nya.

    Salsa mengantarkan Reivant ke dapur, dibuntuti oleh Marvin. Sesampainya di dapur, Reivant mempersiapkan bahan-bahannya.

    "Aku juga mau bikin!" seru Marvin.

    "Bikin apa?" tanya Salsa.

    Marvin tampak berpikir. Ia tidak bisa memasak, juga tidak bisa membuat dessert. Melihat banyak buah tersimpan di dalam kulkas, ia terpikirkan satu ide.

    "Bikin salad buah!"

    Di dapur yang besar ini, ada dua sosok laki-laki yang terlihat sedang berkompetisi demi memenangkan hati seorang gadis. Salsa menyaksikan mereka berdua sibuk sendiri membuat hidangan demi sang pujaan hati, ikut merasakan hawa kompetitif.

    Setengah jam kemudian, hidangan yang dibuat Reivant dan Marvin sudah jadi. Salsa hanya membuatkan teh hangat untuk Adara, karena dua makhluk itu terlalu lama.

    Reivant dan Marvin bersebelahan sambil membawa hidangan masing-masing.

    Pertama, Reivant menaruh nasi tim ayam.

    Lalu disusul oleh Marvin yang katanya membuat salad buah.

    "Ini mah, buah dikucur susu, bukan salad buah." Salsa berkomentar.

    Wajah Marvin memerah. "S-salad lah! Nih, ada sayurnya!"

    Melihat tingkah laku mereka, Adara tertawa tipis. Marvin jadi khawatir, apakah masakannya sekonyol itu di mata Adara?

    "Kalian baik banget, makasih, ya ...," ujar Adara, melontarkan senyuman hangat.

    Melihat gadis itu tersenyum, kedua cowok itu buru-buru mengambil kursi dan mulai menyuapi Adara.

    "Salad buah tuh, bisa jadi makanan penutup. Nanti lah, dia makan dulu!" kata Reivant.

    "Aku cuma ngasih satu suapan ke Adara! Lagian, dia kayak pengin nyobain buah!" balas Marvin.

    "Aku itu, masak hidangan utama, sedangkan kamu, salad buah. Jadi, biar Adara makan dulu, baru nyoba yang manis-manis."

    "Yaudah dong, santai, kayak mulut Adara bisa lari aja!"

    "Elo yang santai, yeuh, kumaha da?!" (Gimana sih?!)

    Menyaksikan kedua cowok itu ribut, membuat Adara makin pusing. Pertama, ia menyendok nasi tim milik Reivant, setelah itu, ia menusuk satu buah menggunakan garpu, buatan Marvin.

    "Puas?" kata Adara. "Hmm, enak semua," lanjutnya.

    Ini mah, kayak acara Master Chef Indonesia—ah bukan—Master Chef in Love with Dara, batin Salsa, menjadi nyamuk di pojok kamar.

🔅

    Keesokan harinya, Adara sudah sembuh. Ia kembali ceria seperti biasanya.

    Mereka berempat kumpul demi mengetahui kondisi Adara. Tiba-tiba, Marvin menyeletuk,

    "lebih enak mana, nasi tim Rei, atau saladnya aku?"

    Bingung Adara. Maksud Marvin bertanya seperti ini, apa? Sudahlah, daripada bingung, Adara cukup menjawab jujur.

    "Aku suka dua-duanya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top