12 🔸 Teddy Bear
Bahu mereka berdampingan saat ini. Reivant mensejajarkan langkah agar ia dapat berjalan di samping Adara. Karena ikut bimbingan, Adara batal minta jemput, dan sekarang, sopirnya malah sulit dihubungi.
"Dara, mau bareng, nggak?" tawar Reivant.
"Nggak, makasih," tolak Adara tanpa pikir panjang lagi.
Gadis itu masih jengkel dengan kelakuan Reivant. Mengapa Reivant selalu muncul dalam hidupnya? Bahkan merekam privasinya tanpa seizin Adara. Mereka juga belum terlalu lama kenal, tapi mengapa seolah-olah Reivant tahu segala hal tentang Adara?
Jangan-jangan, dia stalker? Batin Adara.
"Maaf, ya ... aku nggak bermaksud bikin kamu kesal. Tadi Bu Ajeng nanyain, jadi aku turun buat nyari kamu," jelas Reivant agar Adara memaafkannya.
"Tapi nggak usah rekam-rekam segala, dong! Aku nggak suka!" Adara membentak Reivant.
"Iya, maafin aku."
"Hapus rekamannya!"
"Nanti aku hapus."
"Jangan nanti. Sekarang!"
Reivant mencari ponselnya di dalam tas. Ketika membuka kunci layar, terteralah sisa baterai milik Reivant. Satu persen. Beberapa detik setelahnya, ponsel itu sudah wassalam.
"HP-ku mati."
"Bohong!"
Tidak percaya akan pengakuan Reivant, Adara berusaha meraih ponselnya sebelum dimasukkan kembali. Tangan Reivant diacungkan setinggi mungkin agar Adara tidak sampai untuk mengambil ponselnya, namun gadis itu pantang menyerah. Ia menggelitik pinggang Reivant hingga hilang keseimbangan. Sebuah kesempatan emas, Adara langsung menyambar ponsel Reivant. Tombol power ia tekan berkali-kali, tetapi hasilnya sama, ponsel itu sudah semaput, tak bernyawa.
"Dibilangin, nggak percaya banget, sih!" Reivant mengambil kembali ponsel itu.
Adara terdiam sejenak untuk berpikir. "Aku bawa charger. Ayo, ikut ke kelas, kita charge sebentar di sana!"
"Apaan sih, nggak mau, di rumah juga bisa!"
"Pokoknya, aku mau sekarang. Nanti kamu lupa!"
Adara mengejar Reivant. Belum ancang-ancang untuk kabur, Adara sudah menyergap Reivant dari belakang. Posisi mereka terlihat romantis dari jauh, namun sebenarnya Adara bukan sedang memeluk, melainkan mengunci perut Reivant agar tidak kabur. Ia mengerahkan seluruh tenaganya karena Reivant jauh lebih kuat dan tinggi dari Adara.
Setelah langkahnya terhenti, Adara langsung pindah ke posisi depan, menggapai ponselnya lagi. Sepatu Reivant terinjak gadis itu, sehingga mereka kehilangan keseimbangan.
Bruk!
Mereka terjatuh dengan posisi persis seperti insiden lampu toko buku, hanya perbedaannya, Adara berada di atas Reivant. Seketika, pikiran mereka kosong, lupa akan ponsel yang menjadi biang keributan.
Dua pasang netra saling bertemu. Kini Reivant menelisik setiap inci wajah bidadari sepatu roda itu. Matanya indah seperti kucing, hidungnya mungil namun tetap mancung, bibir berwarna merah muda dan sedikit glossy. Tubuh Adara tidak terlalu berat, sehingga bagi Reivant, ini semua bukan masalah, malah sebuah anugerah.
Sementara gadis itu, ia juga termenung memandang wajah Reivant. Air mukanya tegas dihiasi bakal jambang, tidak terlalu lebat karena usianya masih di bawah umur. Tak lupa juga mata Reivant setajam elang dan bulu mata sedikit lentik. Kulit sawo matangnya sedikit mengkilap karena keringat. Ajaibnya, setelah berlarian, Reivant tetap wangi.
Mereka saling terpaku selama beberapa detik, hingga Reivant tersadar, ponselnya sudah tidak ada.
Mereka bangkit memperbaiki posisi masing-masing. Reivant bertanya kepada Adara, apakah gadis itu berhasil mengambilnya, namun pertanyaan Reivant hanya dibalas dengan satu gelengan kepala.
Mencari-cari di sekitar, akhirnya Reivant berhasil menemukan ponselnya dekat pohon, tergeletak tak berdaya. Setelah diambil, Reivant terdiam.
"Kenapa? Ayo, hapus rekamannya," pinta Adara.
Kemudian, Reivant menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan Adara. Layar LCD-nya rusak separuh.
Pasti mahal ini benarinnya. Gaji aja belum turun.
"Aduh, layarnya rusak. Gimana, ya ...," gumam Adara. "Maaf Rei."
Reivant mengangguk. "Ya. Nggak apa-apa."
Merasa tidak enak, Adara mengusulkan untuk bertanggung jawab mengenai biaya perbaikan LCD.
"Tapi nggak semua. Habis, kamu nyebelin, menghindar terus!" kata Adara.
"Nggak usah. Makasih, ya." Reivant kembali memasukkan ponselnya. "Jadi, kamu dijemput atau pakai angkot?"
Adara melihat ponselnya. Tidak ada jawaban apapun dari Pak Tio. "Dijemput, tapi sopirku susah dihubungi."
Reivant mengangguk sekali. "Jadi, gimana dengan tawaranku?" lanjutnya sembari menunjuk ke arah parkiran.
Daripada Adara menunggu sopir yang tak tahu rimbanya, lebih baik ia pulang bersama Reivant. Adara setuju, lalu ia menunggu di depan parkiran.
Motor Reivant meluncur ke arahnya. Adara naik dengan posisi miring karena rok seragamnya panjang. Perasaan canggung mulai merayapi benak Adara ketika mengingat dirinya jatuh di atas Reivant. Wajah Reivant secara dekat masih terngiang di kepala.
Ganteng, seperti Iron Man, pikir Adara. Ia tidak mengerti, mengapa Reivant tidak marah kepadanya dan malah mengantarkan Adara pulang
"Rei, rumah kamu di mana?" tanya Adara.
"Di perumahan Banana Garden," jawab Reivant.
"Hah, di mana, tuh? Kok aku baru dengar?"
Cekikikan Reivant dibuatnya. Adara tidak tahu bahwa nama perumahan itu biasa disebut Kebon Cau. Reivant hanya menerjemahkan ke bahasa inggris agar terdengar lebih estetik. (Kebun Pisang)
Sesampainya di depan rumah Adara, kepala Reivant tidak bisa berhenti mendongak. Rumah Adara itu sangat panjang kali sangat lebar kali sangat tinggi. Mulutnya menganga. Matanya melotot. Nyalinya menciut. Setelah menyadari ekspresi aneh yang dibuat Reivant, Adara menepuk pundak cowok di depannya itu.
"Hei, kenapa?"
"Ng-nggak. Ini rumahmu?"
"Iya, ini rumahku."
Seumur-umur, ia melihat rumah semegah kesultanan itu hanya di sinetron yang ditonton Kirana, maupun drama korea yang ditonton Syafa. Baru kali ini, dengan mata kepalanya sendiri, ditambah itu adalah tempat tinggal doi ... Reivant syok dibuatnya.
Rumah Adara lebih besar empat kali lipat dibandingkan rumahnya. Kini, Reivant mengalami guncangan secara fisik dan mental.
"Tangan kamu kok gemetaran gitu?" tanya Adara.
"Ini ... aku kalau kedinginan suka gemetar." Reivant tidak berani menoleh ke wajah Adara.
Adara memandang langit sebiru uang lima puluh ribu. "Tapi sekarang cerah, masih siang."
Ah, sial.
"Tadi, di perjalanan aku agak ngebut kan, jadi kedinginan."
Nggak masuk akal.
"Oh, gitu, ya?"
Kenapa kau percaya, Munaroh?
Turunlah Adara dari motor lalu melepaskan helm bogo milik Reivant. Ia berterima kasih dan melambaikan tangan kepada Reivant, tanda perpisahan dan sampai bertemu kembali di sekolah. Adara tidak ingin menyinggung mengenai rekaman itu sebelum ponsel Reivant berhasil diperbaiki.
🔅
Seminggu telah berlalu, tidak ada kabar dari Reivant. Adara masih penasaran, bagaimana nasib ponsel tersebut. Jika ia bertanya, dikira terlalu mementingkan urusannya sendiri, meminta untuk menghapus rekaman aib itu.
Mereka tidak sekelas, juga beda ekskul. Adara hanya bisa melihat Reivant ketika bimbingan olimpiade, dan itupun jarang mengobrol karena fokus akan mata pelajaran masing-masing.
Tanpa komunikasi, Adara merasa, kehilangan? Apakah karena ponsel yang rusak, sehingga Reivant kesulitan menghubungi dirinya? Gadis itu merasa, Reivant sedikit menjauh.
Keesokan harinya, ketika Adara sedang bermain puzzle, ada satu panggilan masuk dari Reivant. Sebelum diangkat, gadis itu berdeham sebanyak tiga kali, kemudian check sound, dan akhirnya mengangkat telepon.
[Adikku ulang tahun. Ibu bonceng adik-adikku. Nah, nanti kamu bareng aku.]
Ujar Reivant di seberang sana. Ia mengajak dirinya untuk ikut serta di acara ulang tahun Irish. Merasa tidak enak, takutnya Reivant juga mengajak teman-teman cowoknya, Adara menolak secara halus.
[Aku nggak ngajak siapapun, kecuali kamu.]
Nyes hati Adara dibuatnya. Ia belum pernah berkunjung ke rumah Reivant, tapi sudah diajak untuk menghadiri acara keluarganya. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya Adara setuju.
[Besok aku jemput kamu di depan rumah.]
🔅
Ba'da dzuhur, motor Reivant sudah terparkir di depan rumah. Adara sudah berpesan kepada Mbok Sri, Pak Tio, beserta pekerja lain di rumah, untuk merahasiakan kepergian Adara dari Pras. Lagipula, mereka tidak akan lama.
Perayaan ulang tahun Irish bertempat di mall, lumayan jauh dari rumah. Kirana tidak mengundang siapapun. Tidak ada badut, maupun tamu undangan. Hanya ketiga anaknya, dan Adara, sebagai teman Reivant, duduk dalam satu meja, melihat Irish sedang mengumpulkan oksigen untuk meniup dua lilin berbentuk angka 11.
Seusai acara inti, Reivant izin kepada ibunya untuk berpisah dari mereka untuk bermain bersama Adara. Ia ingin menghabiskan waktu bersama gadis yang masih ia anggap sebagai teman baik di depan Kirana.
Mereka berdua main di Timezone. Adara, yang lumayan jago menari, menantang Reivant untuk mengalahkan skornya di game Pump it Up.
"Dara ... aku nggak bisa jingkrak-jingkrak."
Wajah datarnya membuat Adara terbahak. "Cobaa dulu!"
"Nggak mau, ah."
"Ih, ayo, yang gampang aja."
"Nggak."
Adara menunjukkan wajah memelas.
Astaga ... kenapa kamu imut banget?
"Iya, oke."
Setelah itu, Adara bersorak. Ia menggandeng tangan Reivant ke arah mesin menari itu. Dipilihnya lagu dengan ritme sedang. Perasaan Reivant semakin tidak enak.
Dan benar nyatanya. Reivant payah mengikuti panah-panah di layar. Panah dan pijakan kakinya tidak sinkron, membuat perbedaan skor yang sangat jauh. Beberapa anak kecil menonton mereka dan menertawakan gerakan kaku yang dilakukan oleh Reivant.
"Aa nu eta teu bisaeun." (Aa yang itu nggak bisa)
"Nya, joget na siga boneka Oppo." (Iya, menarinya seperti boneka Oppo)
Wajah Reivant memerah. Ia kemudian berhenti dan memarahi bocah-bocah tadi. "Kadieu maraneh, asaan sorangan!" (Kemari kalian, rasakan sendiri!)
Kedua bocah itu kabur sembari berteriak, "hii, kabur ah, kabogoh tetehna galak!" (Pacar kakaknya galak!)
Reivant tidak merespon, sedangkan Adara hanya terbahak-bahak melihat tingkah laku Reivant dan kedua bocah tadi.
Skor telah muncul. Adara dapat nilai A, sedangkan Reivant dapat nilai D.
"A teh alus, D teh derita lo! Hahaha!" ejek bocah yang sama. (Bagus)
Reivant muntab. "Garandeng budak jahanam!"
Setelah kenyang diolok-olok, gantian Reivant unjuk gigi. Ia memilih game survival tembak-menembak bersama Adara.
"Pistol nya besar banget, susah!"
"Ayoo, bisa." Reivant menirukan cara Adara membujuk dirinya.
"Duh, iya deh, aku coba."
Tembakan itu mereka arahkan ke sekumpulan zombie berwajah menjijikan. Adara disuguhkan sebuah jumpscare, di mana sang zombie tiba-tiba muncul di layar. Ia loncat dan melemparkan senjata yang ia pegang ke lantai.
"Hei, belum selesai, kok kabur?"
Reivant menyelesaikan babak sendirian.
Sudah cukup banyak permainan mereka coba, fisiknya mulai lelah. Adara memutuskan untuk duduk di corner makanan, memesan nasi goreng dan lemon tea.
"Dara, sebentar, ya. Mau ke toilet."
Reivant pamit untuk ke toilet, tapi nyatanya, ia mencari counter HP untuk memperbaiki ponselnya.
Sudah berkeliling cukup lama, akhirnya Reivant menemukan satu counter.
"Kalau harga LCD plus pemasangannya, lihat dari tipe HP, kurang lebih empat ratus ribuan."
Dada Reivant bagai ditinju malaikat Izrail. Itu adalah nominal yang besar baginya. Dengan penolakan super sopan, Reivant mundur alon-alon dari counter.
"Aku pergi terlalu lama ...," gumam Reivant. Ia berpikir, apa alasan yang tepat untuk Adara karena telah meninggalkan gadis itu hampir setengah jam.
Satu ide muncul. Jika ia meninggalkan gadis itu terlalu lama, padahal ia bilang hanya izin ke toilet, mungkin saja Adara akan marah. Reivant memutuskan untuk membeli beberapa koin lagi di Timezone. Ia menuju ke mesin pencapit boneka, mengerahkan seluruh kemampuannya, hanya untuk memberikan hal kecil yang dapat mengingatkan gadis itu tentang hari ini.
Sebelum memulai percobaan yang kelima kalinya, Reivant berdoa'a, meminta restu Allah yang Maha Kuasa, agar ia berhasil mendapapatkan satu boneka saja.
"Bismillah." Reivant mengarahkan pencapit ke arah kepala teddy bear warna moka. "Headshot!" pekiknya, setelah pencapit itu berhasil mengangkat seluruh bagian boneka.
Reivant bersorak ketika boneka itu dijatuhkan ke dalam lubang. Ia mengambilnya dan berputar bersama boneka teddy bear, seperti bocah berusia lima tahun.
Sudah lima belas menit ia menghabiskan waktu di mesin capit boneka. Ia bergegas kembali ke corner makanan dengan langkah seribu.
"Adara ... haah ... maafh, lamah ...," ujarnya terdengar capek sekali.
"Iya," jawab gadis itu tetap fokus ke ponsel.
"Tebak, aku punya sesuatu buat kamu."
Sebelah alis Adara menaik. "Apa itu?"
Boneka teddy bear dikeluarkan dari balik badan. "Ini, buat kenang-kenangan."
Adara terdiam. Tatapannya agak berbeda ketika melihat teddy bear itu. Wajahnya tidak berekspresi, namun beberapa detik kemudian, Adara menolak untuk memandang boneka itu.
"J-jauhin, bonekanya!"
Reivant menurut lalu memegang pundak Adara. "Hei, ada apa?!"
Adara mulai sesenggukan. Melihat keadaan Adara, Reivant semakin bingung. Gadis itu bukan terlihat tidak suka, tetapi takut. Ia takut akan teddy bear.
Emosi Adara semakin sulit dikendalikan. Ia semakin histeris, membuat para pengunjung lain menoleh ke arah mereka.
Tiba-tiba, ia teringat akan perkataan omnya. Reivant mendekap tubuh Adara yang gemetaran. Tangan besarnya mengusap kepala Adara, menenangkan gadis itu. "Sssh ... jangan nangis."
Kedua tangan Adara mencengkeram kemeja belakang Reivant. Ia berusaha meredam tangisannya di bahu lebar cowok itu.
"Rei ... aku ... takut ...," gumamnya, tenggelam di dekapan Reivant.
"Nggak apa-apa. Udah, ya, jangan takut. Ada aku."
Tangisan Adara mulai mereda, namun ia masih mempertahankan posisinya. "Aku mau begini, sebentar aja, boleh?" tanya Adara.
Reivant mengangguk. "Iya, boleh."
Sebenarnya, apa yang membuatnya takut dengan teddy bear hingga seperti ini? Reivant terus menerka-nerka sembari mengelus puncak kepala gadis yang terasa mungil di tangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top