11 🔸 Dara Jangan Marah-marah

    Lantai kamar Adara kini berantakan seperti pelabuhan pecah—karena kapal tidak cukup untuk mendeskripsikan kamar seluas lapangan sekolah—namun tetap dibiarkan begitu saja. Pertama kali dalam seumur hidupnya, setengah lantai kamar itu tidak terlihat lagi ubinnya. Keluarga nun jauh di sana datang berkunjung ke rumah Adara, membuatnya berperan seperti babysitter dalam satu hari.

    Tante Miranda dan suaminya, membawa empat krucil yang sekarang sedang menginvasi kamar Adara. Anak sulungnya berusia sepuluh tahun, anak kedua berusia delapan tahun, lanjut terus secara konsisten, hanya berbeda dua tahun dari saudara sebelum maupun sesudahnya.

    "Kak Dara, bisa kentut high pitch nggak?" tanya si anak sulung, seorang cowok yang matanya sudah minus dua.

    "Apa lagi itu?"

    "Contohin, Ric!"

    Rico, anak kedua tante Miranda menarik napas dalam-dalam, lalu diembuskan, ia ulang selama tiga kali. Mainan yang berserakan itu ia singkirkan menggunakan kaki. Rico duduk di lantai, terlihat seperti menekan bokongnya.

    Prot!

    Suara kentut solo, lolos secara nyaring karena dipaksa berbenturan dengan ubin. Ketiga saudaranya terkencing-kencing menyaksikan tingkah konyol Rico.

    "Halo anak-anak mami, kalian sepertinya asyik banget ya, main sama Kak Adara."

    Tante Miranda membuka pintu kamar Adara. "Oh, God, please, ini pasti ulah kalian, ya?"

    Tidak ada yang menjawab, mereka hanya merespon dengan tawa membahana. Sudah tak dapat terlukiskan betapa pusingnya Adara setelah ini, harus membereskan kamar seluas lapangan itu. Pasalnya, mainan yang berserakan ini adalah mainan masa kecil Adara sendiri, empat anak kerasukan jin tomang itu hanya membawa beberapa mainan dari rumah.

    "Nggak apa-apa tante, nanti Dara bereskan," katanya sambil tersenyum tawar.

    "Kalian jangan kabur, ayo, bantuin!" perintah Miranda, menahan keempat anaknya. "Bentar lagi kita harus ke airport, katanya mau cepat-cepat ke Tokyo Disneyland?"

    "Aye, mom!" seru mereka serempak.

    "Adara mau ikut, nggak? Liburannya kapan, sih?" tanya Miranda kepada Adara.

    "Nggak tahu, tan, mungkin setelah UAS," jawab Adara.

    "Oh ... begitu. Ya sudah, semangat ya, belajarnya. Adara kan pintar kayak Papa Pras."

    Adara hanya membalas dengan senyum simpul. Ia tidak suka diberi semangat untuk belajar.

    Bukan apa-apa, tapi tanpa mereka ketahui, Adara menghabiskan waktu untuk belajar minimal empat jam dalam sehari. Jika sudah muak, ia mengunci diri di kamar ataupun pergi jalan-jalan ke luar tanpa sepengetahuan ayahnya yang sedang bekerja.

    Kejadian yang menimpa Adara ini tidaklah jarang. Sebagian orang di luar sana memasang stereotip bahwa, anak pintar adalah, ia yang mendapat nilai akademis diatas rata-rata, bahkan bisa meraih angka sempurna, sudah menjadi pencapaian biasa bagi seorang jenius.

    Bisa dibilang, Adara malah kesal dibilang pintar. Karena, kepintaran yang diapresiasi hanya nilai akademisnya saja. Selain itu, sedikit sekali yang menganggap keahlian lain milik Adara itu sama hebatnya. Ia bukanlah tidak bersyukur, melainkan nilai-nilai perfect di rapornya itu adalah hasil gojlokan papanya, Pras. Adara mengakui bahwa otak kirinya kurang, bahkan jika kepalanya panas karena belajar berjam-jam, cara menghitung luas segitiga saja ia mendadak lupa, linglung.

    Kejeniusan Adara berada di bidang lain, yaitu bernyanyi, menulis, juga melukis. Ia juga termasuk murid yang atletis, beberapa cabang olahraga sudah ia kuasai. Padahal Adara lebih sering memboyong piala dari bidang non akademis, tapi respon keluarganya hanya ala kadarnya saja, seolah seorang jenius matematika sudah menduduki kasta tertinggi, tidak bisa diganggu gugat.

    Kamar Adara sudah kembali seperti semula. Keluarga Miranda berpamitan kepada Pras, Adara, dan para pekerja di rumah. Dengan keempat anak seperti reog itu, Adara salut dengan kesabaran Miranda.

    Rumah sebesar keraton Jawa itu kembali lengang.

    "Mbok Sri, tolong siapkan makan malam," perintah Pras.

    Adara dan Pras duduk berhadapan di meja makan. Mereka berdua diselimuti kesunyian malam. Kemudian, Pras angkat bicara.

    "Gimana perkembangan belajarmu?"

    Tidak ada jawaban. Adara menyibukkan diri mengiris daging sapi panggang buatan Mbok Sri yang dijamin sedap seperti makanan resto bintang tujuh.

    "Adara, kamu dengar nggak, pertanyaan papa?"

    Adara menghentikan aktivitasnya. "Aku remedial di pelajaran fisika."

    Mata Pras membelalak. "Kok bisa?! Bukankah kamu nggak pernah remedial? Pasti kamu mulai malas belajarnya."

    "Aku nggak mau."

    "Apa?"

    Wajahnya mengarah ke sosok papa di depannya. "Aku nggak mau duduk terus di meja belajar. Aku lebih suka melukis! Lebih asyik main sepatu roda! Nggak mau belajar terus!"

    "Kamu kok ngebentak papa seperti itu?! Pasti ini ulah Marvin dan Salsa. Mereka itu dalam segala hal ada dibawah kamu, jangan terpengaruh oleh gaya hidup mereka!" Papanya mulai menyalahkan sahabat-sahabatnya, bahkan menganggap mereka rendah.

    "Jangan bawa-bawa Marvin dan Salsa. Mereka nggak tahu apa-apa! Ini semua pure keinginanku!"

    "Apa keinginanmu? Menjadi seniman musiman? Atlet sepatu roda? Apa untungnya bagi masa depan kamu? Semua yang kamu sukai itu kemungkinan besar nggak bawa pengaruh, kehidupan seusai sekolah itu kejam!"

    Pras menarik napas. Ia merendahkan nada suaranya. "Ingat lagi impian kamu setelah kejadian itu. Kamu bermimpi menjadi seorang dokter, dan papa sangat mendukung hal itu!"

    Memori menyakitkan itu kembali muncul. Kepalanya mendadak pening. "Aku sudah selesai makan."

    Setelah berkata demikian, Adara meninggalkan Pras sendirian, juga daging sapi panggang yang baru masuk tiga suap ke mulutnya. Ia mengunci dirinya di kamar.

    Jam menunjukkan pukul 20.15 malam. Cuaca lebih dingin dari hari-hari biasanya. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya tanpa sisa.

    Sudah tiga puluh menit Adara mencoba mengistirahatkan pikiran, akhirnya ia bangun dari tempat tidur. Berjalan ke meja rias, tampak sebuah foto wanita seorang diri dalam pigura berukuran, yaitu almarhumah mamanya.

    Bulir bening menetes di pipi. Adara memeluk pigura itu. "Mama ... aku kangen."

🔆

    Suasana hatinya masih belum membaik. Di meja makan, Pras dan Adara saling diam. Seusai menghabiskan menu sarapan, ia beranjak dari kursi untuk memakai sepatu sekolah.

    "Assalamu'alaikum, pa, aku berangkat."

    "Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan."

    Pak Tio membukakan pintu mobil untuk nona muda Adara. Sedan hitam itu melesat menuju SMA Puspa Cempaka.

    Hari ini, Adara sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ada salah satu teman sekelasnya bertanya, apakah ada pulpen lebih untuk dipinjam, Adara menjawab pakai urat dan memberikan satu buah pulpen sekarat. Ketika mengantri untuk beli bakso, ada beberapa murid menyerobot tempat, langsung ia senggol hingga terhuyung, hampir jatuh.

    "Dara, kamu lagi PMS, ya?" tanya Salsa.

    Tidak ada jawaban apapun dari Adara. Versi diamnya lebih menyeramkan dari versi mengomelnya. Adara menggigit bakso, meminum teh botol dan menaruhnya agak kasar. Untung saja meja kantin terbuat dari kayu dan cukup kokoh menahan amukan Adara.

    "Hari ini, hari apa?" tanya Adara tiba-tiba.

    "Seingatku, kamis," jawab Salsa.

    "Oh." Adara melihat jadwal di jurnalnya. "Aku akan bolos bimbingan hari ini."

    Kuah bakso yang diseruput Salsa menyasar ke tenggorokan, tercengang mendengar keputusan Adara. "Buset! Kesambet setan apa kamu?"

    "Kamu."

    Sempat loading sebentar, akhirnya Salsa paham. "Si koplok!"

🔅

    Jam pelajaran telah usai. Murid yang mengikuti bimbingan olimpiade, menuju ke perpustakaan sekolah, kecuali Adara.

    "Sekali-sekali, lah. Lagian sub-materi sekarang, gampang."

    Celingak-celinguk, memastikan tidak ada pasang mata mengawasi, Adara bersembunyi di gazebo belakang kelas, menunggu Pak Tio. Ia sudah memberi tahu Pak Tio untuk segera menjemput tanpa boleh bertanya ada apa.

    Setelah hampir di-razia, Adara kapok, tidak akan membawa komik BL lagi ke sekolah. Bosan menunggu, Adara mulai buat konten di Tiktok, melihat explore Instagram, hingga pada akhirnya membaca komik BL online di ponsel.

    "Pak Tio mandi di bathub dulu apa gimana sih? Lama amat!"

    Sekitar lima menit baca komik BL, Adara menyadari ada seseorang di dekatnya. Ternyata, itu adalah Reivant. Ketua OSIS itu bagai jalangkung. Datang tak diundang, pulang bareng pacar orang. Eh, bukan begitu, ya?

    Reivant tidak mengetahui alasan Adara membolos, tapi tetap saja mengganggu rencana bersantai Adara. Suasana hatinya sedang buruk saat ini.

    "Kamu mau ikut bimbingan, atau kuserahkan ini ke Bu Ajeng?"

    Taring Adara mulai keluar. Niat untuk membolos ini sudah ia pikirkan sejak lama, hanya tidak tahu kapan ia berani melakukannya. Adara hanya ingin merasakan sehari saja terbebas dari buku pelajaran. Setelah itu, ia berjanji akan belajar lembur bagai kuda seperti biasanya.


    Reivant mulai ngos-ngosan. Tidak seperti Diandra, teman masa kecilnya, Adara ini seperti mengejar pencopet di pasar, cepat sekali larinya. Agar menghentikan kejar-kejaran super sengit ini, Reivant memutuskan untuk lari ke perpustakaan, lalu bersembunyi di belakang Bu Ajeng. Melihat Adara dan Reivant berkeringat seperti habis lari marathon, Bu Ajeng mengomeli mereka berdua.

    "Kalian habis ngapain, sih? Ayo, duduk!"

    Dan pada akhirnya, rencana membolos Adara batal.

    Seharusnya aku pesan ojol saja, pikir Adara.

    Mata Adara menatap tajam ke arah Reivant. Ngeri akan tatapan gadis itu, Reivant langsung menunduk, fokus kembali ke buku.

    Sepasang mata Adara bertipe fox eyes, membuat Reivant gemas jika gadis itu marah.

    Reivant mengirimkan dua baris pesan kepada Adara.

Reivant:
Dara jangan marah-marah

Takut nanti lekas tua ...

Daraa🕊:
Iy.

Reivant:
(Mengirim stiker bocah korea sedang menangis)

    Reivant tidak mengerti mengapa Adara semarah itu, padahal ia sendiri juga salah. Jika tidak ingin ikut bimbingan, lebih baik izin daripada bolos. Adara termasuk murid yang paling rajin ikut bimbingan, aneh rasanya jika ia membolos, dan malah memilih untuk membaca komik laknat itu di belakang kelas.

    Sampai bimbingan selesai, Adara masih marah ke Reivant. Frustasi akan hal itu, Reivant memutuskan untuk membuka suara.

    "Kamu kalau mau, izin aja, jangan bolos."

    Adara tidak menanggapi. Ia terus saja berjalan meninggalkan Reivant.

    "Hei, kamu kenapa, sih?" Reivant menahan tangan Adara, namun langsung ditepis oleh gadis itu.

    "Bisa nggak, jangan ganggu aku terus?"

    Mendengar kalimat yang dilontarkan Adara, hati mungil Reivant terpotek-potek. Jadi selama ini, Reivant dianggap sebagai seorang pengganggu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top