08 🔸 Razia Dadakan

    Priiit!

    Lima anak berlari secara bersamaan dari garis start. Tanah berplester masih terasa licin bekas air hujan. Marvin melepas sepatu sekolah, sehingga ia dapat berlari melebihi kemampuan pedagang kaki lima yang diuber satpol PP.

    "Marvin kalau lari, mukanya kayak lagi ngeden."

    Mata Marvin membulat. Ia menyentil mulut seringan kapas milik Adara.

    Sekarang giliran Adara unjuk gigi. Rambut hitam sebahu itu ia ikat, dengan begitu larinya menjadi enak dan ringan seperti kijang.

    Baju olahraga SMA Puspa Cempaka berwarna biru tua, dengan corak hitam kecil memanjang secara vertikal di lengan dan kaki. Sekolah mereka menerapkan kebijakan untuk seragam seluruh siswa dan siswi, harus panjang, meski bukan seorang muslim.

    Peluit ditiup, Adara dan empat anak lainnya mulai berlari setelah aba-aba. Tubuhnya bagai burung, melesat di lintasan. Kaki jenjangnya ringan seperti menjejak awan. Butuh waktu 12,47 detik Adara berlari sejauh seratus meter. Wajahnya memerah karena memakai seluruh tenaga demi meraih skor tertinggi dan mengalahkan Marvin.

    Marvin dan Adara adalah juara bertahan di bidang olahraga. Tubuh mereka diciptakan lentur dan tangkas. Tak jarang, mereka beradu skor dalam mata pelajaran PJOK. Jika salah satu dari mereka kalah, maka konsekuensinya menuruti apapun keinginan sang pemenang.

    Sayangnya, Marvin berhasil mencetak skor tertinggi. Terkadang, ketika kalah, Adara mempermasalahkan gender. Karena kamu laki-laki, rengeknya, namun tetap harus menepati janji untuk menuruti apapun yang Marvin inginkan.

    "Nanti jam istirahat, beliin aku nasi goreng spesial, minumnya jus alpukat." Marvin mengungkapkan keinginannya.

    "Kamu mau meras aku?"

    "Nggak kok."

    Adara dan Marvin adalah sahabat sejak kelas dua SD. Pertemuan mereka cukup unik. Ketika pengambilan rapot semester ganjil, rapot mereka tertukar karena ibu Adara bersebelahan dengan ibu Marvin. Bagai langit dan bumi, yang biasanya nilai Adara menyilaukan mata, kini tertera lebih dari lima pelajaran bernilai suram. Sudah puas mengomel, barulah sadar bahwa rapot yang ibunya ambil bukan milik Adara. Ketika para ibu saling bersalaman minta maaf, Marvin dan Adara saling berkenalan tanpa ada rencana menjadi sahabat baik.

    Kembali ke masa kini. Belum juga berganti baju seragam, Adara dan Marvin lebih memilih ke kantin. Kosong, tidak ada orang, karena mereka beli makanan di jam pelajaran. Namun karena pelajaran guru olahraga izin pergi kondangan, jadi jamnya selesai lebih cepat, kelas kosong selama dua puluh menit.

    Berniat membayar pesanan, Marvin menghentikan pergerakan Adara. Ia membayar semua pesanan, sesuai dengan permintaannya barusan.

    "Kamu kelihatan capek banget. Nih, aku saja yang traktir."

    Bukan merasa terharu apalagi terbawa perasaan, justru Adara memandang dengan rasa ketidakpercayaan. Tumben makhluk yang ada di depannya itu baik.

    "Terima, kasih?"

    "Kok ragu gitu? Atit hatiku, burung dara!"

    Merasa kesal, Marvin merebut segelas jus alpukat itu dan menandaskan setengah isinya. Adara memukul pundak Marvin, merasa diberi harapan palsu.

    Di lain sisi, Reivant, bersama pasukan elitnya, menuju ke kelas-kelas untuk melancarkan tugas pertamanya sebagai ketua OSIS yang bijaksana.

    Razia dadakan ini dimulai dari kelas paling ujung arah utara, yaitu 11 MIPA 3, kelas Adara. Enam orang anggota OSIS mendampingi Reivant, sisanya bertugas untuk merazia kelas 10 dan kelas 12.

    Semua murid belum sempat berganti baju, Reivant dan anggota OSIS lainnya langsung memasuki kelas. Sebelum memulai, Reivant menjelaskan tujuannya datang ke kelas mereka. Setelah dijelaskan, seketika mereka terkejut, mendadak membuka seluruh risleting tas untuk memastikan barang bawaan, dan mungkin beberapa orang sedang memikirkan cara tercepat untuk menyembunyikan gelang, kalung, maupun topi hip-hopnya.

    Anggota OSIS berpencar, dua orang ditugaskan di setiap banjar dengan salah satu dari mereka membawa kardus untuk menampung barang-barang nakal para murid. Mengingat tujuan tersembunyi Reivant, ia menoleh ke sana kemari, mencari sosok Adara, murid spesial yang akan dirazia oleh sang ketua OSIS itu sendiri.

    Nihil. Adara tidak ada di kelas. Bukan hanya itu yang membuat Reivant jengkel, namun Marvin juga ikut menghilang bersama gadis itu.

    Si kunyuk, Adara diculik ke mana?

    Selang beberapa menit Reivant menggerutu di dalam hati, panjang umur, duo sahabat itu datang dengan wajah tanpa dosa menggenggam es plastik seribuan ke dalam kelas. Reivant berkacak pinggang.

    "Kenapa telat masuk kelas? Bukankah jam pelajaran pertama sudah habis?" tanya Reivant dengan niat menyelidik.

    "Maaf, tadi nungguin tukang nasgornya lama, ini anak juga makannya lama, jadi telat."

    Adara mencubit pinggang Marvin karena telah mengatakan dusta di kalimat terakhirnya.

    Kenapa lo yang jawab, kunyuk?

    Helaan napas adalah jawaban atas pernyataan Marvin barusan. Reivant kembali fokus kepada seluruh murid MIPA 3.

    "Semuanya diharapkan duduk di tempat masing-masing!" perintah Reivant kepada mereka.

    "Maaf, ini sebenarnya ada apa, ya?" tanya Adara. Ia kebingungan karena banyak anak OSIS berkunjung ke kelas mereka.

    "Razia," jawab Reivant singkat.

    Satu kata namun berhasil membuat pikiran Adara bercabang. Masalahnya, hari ini, di dalam tasnya terdapat dua buku non pelajaran. Buku pertama masih normal dan ia dapat mengikhlaskan buku tersebut jika disita. Namun, tidak dengan buku yang kedua, karena isinya mengandung bromance, penuh dengan adegan baper diantara kedua makhluk berpisang.

    Selain dirinya, tidak ada yang mengetahui bahwa Adara adalah penyuka cerita boys love. Jika komik itu sampai kena razia, kabar itu bisa menyebar. Image seorang pradana putri yang cantik dan bisa apa saja, seketika langsung terkalahkan oleh gosip bahwa ia adalah orang aneh, bisa juga disangka belok.

    Padahal dirinya masih mempertahankan standar ideal, yaitu lelaki sejati yang bertubuh kekar, juga brewok yang menghiasi wajah. Daripada gundul, lelaki yang berbulu lebih seksi. Mengenai komik perpisangan, itu hanyalah hobi yang memiliki sensasi menggelitik jika dibaca.

    Kekhawatiran semakin memuncak ketika Reivant berada di hadapannya, diikuti oleh Ezra yang memberikan senyum semanis kembang gula.

    "Boleh, ya, saya geledah tasnya?" tanya Reivant memastikan.

    Adara gelagapan. "Itu ... aku bawa barang cewek, masa digeledah sama cowok?"

    "Kalau gitu, biar Verisa saja."

    Reivant memanggil temannya yang bernama Verisa. Setelah Verisa menoleh, bertanya ada apa Reivant memanggil, Adara langsung mengambil alih, "Halo, Verisa!" sapanya.

    Kini Reivant dan Verisa sama-sama memasang tampang bingung.

    "Halo juga."

    "Semangat, ya, Verisa!" pekik Adara.

    "Iya, terima kasih."

    Sadar akan reaksi yang didapatkan, Reivant jadi ingin mengusili Adara lebih lama lagi.

    "Kamu kenal Verisa?"

    "Iya, dia teman lamaku."

    "Kalian bertemu di mana?"

    "Di SD dua."

    "Oh, ya? Tapi Verisa murid pindahan kelas sepuluh dari Jakarta."

    Wajah Adara memerah, ingin rasanya ia menelan bumi bulat-bulat. Lalu, apa yang harus ia lakukan agar tasnya tidak digeledah?

    Mungkinkah Adara menyerah saja dan memberikan buku itu, atau ia dapat mengupayakan cara lain agar tidak di razia. Adara baru saja dilantik menjadi pradana putri. Mereka diharuskan untuk disiplin, bertanggung jawab, menjadi contoh yang baik, serta berakhlakul karimah.

    "Anu, aku mau ngumpulin buku ke ruang guru, takut gurunya pergi lagi."

    "Nanti saja, razia nggak lama kok."

    Adara sudah kehabisan akal. Niatnya, jika berhasil, ia akan mengambil LKS untuk mengapit komik BL itu di dalamnya. Bukan untuk diberikan pada guru, namun dititipkan kepada penjual seblak di sekolah. Mereka dekat karena umur sang penjual seblak tidak terpaut jauh, sehingga Adara dapat mengobrol kasual sembari makan seblak.

    Tangan Reivant sudah memegang risleting tas. Ketika berniat membuka, Adara menahan tangan Reivant. Meski jantungnya berdegup lebih kencang, tapi Reivant pintar menyembunyikan perasaan itu. Adara menggandeng tangan Reivant. Ia giring ketua OSIS itu keluar kelas.

    "Kenapa keluar?"

    Adara bingung menjelaskannya kepada Reivant. Jika digeledah di luar, apakah dirinya tidak akan ember? Meski begitu, pastinya barang hasil razia akan dilaporkan ke guru BK. Adara belum siap untuk dibrondong pertanyaan, mengapa ia membawa komik tidak lazim.

    "Kamu, ketua, jangan geledah aku, ya?" pinta Adara sambil menunjukkan ekspresi sedih, bibir bawah dimajukan.

    "Kok gitu?"

    "Soalnya, nanti aku nggak bisa belajar komputer."

    Adara mengambil salah satu buku yang membahas tuntas mengenai komputer. Reivant memindai buku tersebut, tidak ada yang aneh.

    "Kenapa cuma satu? Tolong biarkan saya periksa semuanya."

    Adara terpojok. Apakah akan baik-baik saja jika salah satu murid SMA Puspa Cempaka mengetahui rahasianya?

    Kasihan dengan Adara, akhirnya Reivant menyudahi itu semua.

    "Jika kamu tidak mau digeledah, ada syaratnya," bisik Reivant di telinga Adara.

    Wajah mereka hanya berjarak satu jengkal. Reivant dan Adara sama-sama terdiam, saling memandang. Yang satu berdebar karena wajah sang gadis begitu dekat, yang satunya lagi berdebar menanti kelanjutan kalimat sang ketua OSIS.

    Reivant kemudian meneruskan kalimatnya. Seketika Adara membeku mendengar hal itu.

🔅

IG: @vierya_chie
1.313 words

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top