04 🔸 Bertemu Kembali

    Reivant memulai hari dengan membaca basmalah. Ia saat ini sedang bersiap untuk wawancara bersama guru penguji, bersama lima kandidat lain yang bakal menjadi calon ketua dan wakil OSIS SMA Puspa Cempaka.

    Wajah para kandidat menunjukkan beragam ekspresi. Ada yang santai tapi kumisnya sudah berembun. Ada lagi yang menghentakkan kaki berkali-kali sembari mengunyah angin. Tak kalah berisik, ada anak hamster nyasar, sedang mengemil kuaci di depan ruang guru.

    Anak hamster itu adalah Ezra, dan ia berniat menonton di balik jendela. Sayang sekali, tirai ditutup. Ezra menggerutu di balik jendela, lalu pergi ke kelas.

    Ada tiga pasangan kandidat bersedia diwawancara oleh dua guru. Reza, pembina OSIS yang mewawancarai para kandidat, ditemani oleh Ruhima, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Kini Reza memicingkan mata, tangan bersedekap di atas meja.

    Hal itu membuat bulu kuduk para kandidat meremang, namun berusaha tak terlihat gugup di depan guru penguji. Si kumis berembun semakin sulit mengendalikan diri. Kini alisnya ikut basah terkena banjir keringat dari pelipis, namun dirinya teguh mempertahankan wajah berwibawanya.

    Satu persatu kandidat yang duduk bersebelahan akan menjawab setelah jari Reza berlabuh ke wajah, pertanda dipersilahkan menjawab dengan penuh percaya diri.

    "Jika kamu terpilih menjadi ketua maupun wakil ketua OSIS, bagaimana cara kamu membagi waktu antara kegiatan sekolah dan kegiatan organisasi? Dan bagaimana bila dua hal itu terjadi bersamaan?"

    "Dari skala prioritas, lihat situasi dan kondisi," jawab Reivant lalu mengambil jeda.

    "Contoh, jika saya sedang hadir dalam kerja kelompok, sedangkan organisasi membutuhkan saya untuk memimpin diskusi, maka saya akan izin dari kerkom, karena masih ada anggota lain yang dapat diberi tanggung jawab. Bilamana kerja kelompok itu wajib hadir semua, maka wakil ketua dapat menggantikan saya untuk memimpin diskusi."

    "Jika terjadi bersamaan, dua hal penting di organisasi dan tugas sekolah, saya lebih memilih akademik, karena itulah faktor utama kelulusan dan kewajiban siswa untuk menuntut ilmu," lanjutnya.

    Berbagai pertanyaan diajukan secara pribadi kepada keenam kandidat. Reivant menjawab seluruh pertanyaan dengan lancar dan penuh percaya diri. Otaknya bagaikan menulis kata-kata secara cepat, sedangkan suaranya dengan tegas menyampaikan kata-kata yang tersusun di kepala.

    Awal mengemban jabatan penting di OSIS, Reivant masih merasa gugup jika berbicara di khalayak ramai. Namun seiring berjalannya waktu, Reivant dapat mengendalikan rasa gugup itu dengan sangat baik, hingga menjadi terbiasa untuk memimpin.

    Diakhiri dengan petuah hampir melebihi durasi ceramah Maulid Nabi, kedua guru penguji mengucapkan terima kasih atas jawaban para kandidat. Antusiasme para calon pemimpin patut diapresiasi. Sudah merasa lega, si kumis tipis pun menyeka seluruh keringat di wajah menggunakan tisu di kantong. Ia tidak ingat bahwa tisu tersebut bekas mengelap bibir seusai makan bakso.

    Beriringan keluar dari ruang guru, mereka saling bersalaman, menyemangati satu sama lain sebelum acara debat minggu depan. Reivant dipasangkan oleh Karin, salah satu anggota andalan MPK Puspa Cempaka.

    Jarang berbincang berdua, mereka terjebak dalam atmosfir tidak mengenakkan. Karena sudah dipasangkan oleh guru, mau tidak mau, mereka harus nyambung demi terwujudnya impian mulia bagi sekolah kesayangan.

    "Karin kelas berapa?" tanya Reivant, berusaha membuka pembicaraan.

    Gadis itu menatap lurus, tidak mendengarkan. Jarak antara mereka juga memenuhi protokol kesehatan; satu meter. Penasaran dengan apa yang dilihat Karin, ia mengikuti arah pandangnya. Ada sepasang kucing sedang melampiaskan hasrat biologis yang wajar dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan.

    Untung saja itu adalah kucing, karena kedua anabul itu tengah melancarkan aksinya di lapangan basket. Kerudung panjang milik Karin tertiup angin, menutupi wajah. Dengan cepat, ia kembalikan lagi ke tempat semula.

    "Kamu dengar, nggak, sih?" tanya Reivant untuk kedua kalinya.

    "Eh, dengar apa?"

    "Kamu baru pertama kali lihat kucing kawin?"

    "Oh, mereka sedang kawin? Buat anak?"

    Reivant menggelengkan kepala, mengelus keningnya yang mulai beruntusan. Tidak mungkin partner-nya selugu ini. Mengingat jawaban logis dari Karin ketika menjawab pertanyaan dari guru penguji, mustahil bahwa anggota andalan MPK Puspa Cempaka ini, tidak pernah lihat kucing membuat anak.

    "Iya. Begitulah."

    Karin mengangguk. Tangannya merogoh sesuatu di dalam tas. "Mau yupi, nggak?" tawar Karin.

    "Yupi?"

    "Kalau nggak mau, aku makan dua-duanya."

    Apa sih ini anak, kok lucu, ya.

    "Iya, mau."

    Mereka mengunyah Yupi bersama. Sekarang giliran Karin yang membuka pembicaraan.

    "Aa tadi nanya apa?"

    "Oh. Kamu kelas berapa?"

    "Kelas sepuluh IPA satu. Kalau Aa?"

    "Sebelas IPS lima."

    Hening kembali. Melihat Karin sedang memperhatikan kucing melakukan pembuahan, sembari mengunyah Yupi yang ketiga kalinya dengan wajah datar, Karin mirip seperti priyayi. Kerudung panjang menjuntai, wajahnya dingin, berbicara pun seperlunya, tidak seperti perempuan pada umumnya yang mengeluarkan kurang lebih dua puluh ribu kata per hari.

    Merasa kecanggungan kembali menyelimuti, Reivant bertanya lagi, "aku belum pernah lihat kamu di SMP. Kamu SMP mana?"

    "Jauh di Aceh," jawabnya simpel.

    "Kok bisa sampai ke Purwakarta?"

    "Kata tante, aku nggak ada yang urus, jadi dipindahkan ke rumah nenek. Di sana aku jarang keluar rumah. Sekalinya keluar, aku disuruh keluar rumah selamanya."

    Tak terasa sudah setengah jam  saling berbagi kisah. Tidak banyak, namun setidaknya sudah saling mengenal. Karin adalah anak penyendiri, tidak punya teman, buku dan film kartun sebagai penghibur dikala suasana hati sedang tidak baik. Keluarganya tidak harmonis. Nasibnya bagai puing-puing kapal, terombang ambing setelah terpecah belah. Setelah orang tua cerai, semua lepas tanggung jawab. Hanya neneknya seorang yang tidak tega menelantarkan anak itu.

    Ketika asyik mengobrol, Ezra datang. Masih menggenggam sebungkus kuaci, ia duduk diantara Reivant dan Karin, menjadi pihak ketiga seperti setan. Setelah Ezra datang, Karin pamit untuk pulang karena sebentar lagi ia dijemput.

    Kerongkongan dan rongga mulut  mendadak kering setelah makan kuaci dua bungkus. Ezra menawarakan bungkus terakhir karena bibirnya mulai perih membuka cangkang kuaci.

    "Mabok kuaci kamu lama-lama," ujar Reivant.

    Ezra ketawa. Ia membuka bungkus terakhir, terlihat isi kuaci tanpa cangkang, jumlahnya banyak seperti masih utuh. Ada saja kegiatan tidak berfaedah yang seringkali dilakukan oleh Ezra. Seperti anak kecil, ia membuka seluruh cangkang dan mengumpulkan isinya untuk dimakan belakangan.

    "Mau nggak?" tawar Ezra.

    "Nggak. Bau jigong." Reivant menolak lalu bangkit menuju koperasi. Seperti anak ayam, Ezra mengekor.

    Ruang koperasi sudah kehabisan stok makanan karena diborong oleh makhluk-makhluk kelaparan dari berbagai kelas. Dua etalase kaca tak terisi penuh lagi, hanya ada lima jenis makanan ringan seharga dua ribuan. Reivant kurang suka makanan seperti itu. Ia hanya beli teh botol, Ezra pun sama. Mereka pergi lagi ke kelas untuk mengambil tas, lalu pulang.

    Sesampainya di parkiran, Reivant melihat seorang perempuan di gerbang sekolah sedang berbicara kepada Karin. Ia menaiki sepeda listrik dengan tas jinjing ditaruh di keranjang depan. Begitu familiar akan sepeda tersebut, Reivant memutuskan untuk mendekat ke arah mereka terlebih dahulu sebelum melengos pergi.

    Motor melaju dengan kecepatan rendah. Ezra dibonceng di belakang, tak berkomentar apapun. Kedua mata mereka bertemu. Ingatan lama kembali berputar cepat, seperti memori sebelum ajal menjemput. Seperti sebuah keajaiban dapat bertemu kembali, setelah keberadaannya lenyap di telan bumi.

    "Rei?"

🔅

IG: @vierya_chie
1.103 words
13/05/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top