02 🔸 Kesan Pertama
Berbulan-bulan telah berlalu. Kini Reivant telah naik ke kelas XI IPS 5. Jam masih menunjukkan pukul 6.35 pagi. Saat ini, Reivant sedang bersantai di tempat duduk ubin yang tersedia di sepanjang kelas. Ia menonton podcast terbaru dari kanal Youtube Daddy Kok Besar.
Kenyang akan humor bapak-bapak, Reivant mulai mendengarkan video musik yang diunggahnya kemarin, ditemani sebotol good day mocachino. Tak lama kemudian, ada yang menepuk pundaknya. Itu adalah Farhan. Ia duduk di samping Reivant dan mulai berbicara perihal masalah pribadinya.
Orang tua Farhan akhir-akhir ini kesulitan keuangan dikarenakan ayahnya menjadi seorang pengangguran cukup lama. Ibunya sempat membuka usaha rumah makan, namun karena persaingan yang ketat dan keahlian memasak kurang,—bisa dibilang lebih parah dari hasil praktek pelajaran prakarya anak SMP—mereka bangkrut. Saat ini, orang tua Farhan membuka warung sembako di rumah dan itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Merasa memiliki tanggung jawab sebagai seorang kakak sulung, ia mulai mencari kerja paruh waktu. Farhan dapat kerja di pasar sebagai kuli angkut karung beras, dari truk ke toko, jam kerja setiap pulang sekolah, hingga pukul tujuh malam. PR keteteran. Tak ayal menjadi langganan kena semprot guru, dihukum menyikat lumut di kamar mandi yang sudah karatan.
"Gimana kalau kerja di toko buku om Arif?" usul Reivant.
"Om Arif buka lowongan?" tanya Farhan dengan sorot mata penuh harap.
"Nggak tahu. Tapi nanti aku coba bilang ke om Arif."
Mereka berdua tos ala cogan gang nanas. Diantara para wibu sableng, Reivant paling klop dengan Farhan. Selain telah bersahabat dari zaman belajar merangkak, Farhan juga paling enak diajak berkeluh kesah. Jika kedua sahabatnya yang lain tidak bisa dihubungi, Farhan bagaikan layanan 911, selalu menjawab panggilan dari Reivant hingga ia sempat berpikiran, apakah Farhan masih sehat wal 'afiat? Apa tidak usah punya pacar saja jika ia masih memiliki Farhan dalam hidupnya?
"Han, kamu kenapa nggak jadi cewek saja?" tanya Reivant.
"Kasep kieu disuruh jadi awewe. Lebih baik jomlo, daripada melukis pelangi bersamamu." (Ganteng gini disuruh jadi cewek)
"Indah dong, hidup kita jadi berwarna."
"El-ji-bi-ti-kyu delapan belas plus! Sok teu nyambung anak-anakan bapak alif lam mim." (LGBTQ. Suka nggak nyambung)
Bel masuk pertanda kegiatan belajar mengajar sudah menggema ke seluruh penjuru sekolah. Mata pelajaran pertama adalah sejarah peminatan. Empat sekawan itu berada di kelas yang berbeda-beda. Reivant di IPS 5, Farhan di IPS 1, Axel di IPA 2, dan terakhir, Ezra di IPA 4. Meski mereka berpisah, namun setiap jam istirahat maupun jam kosong, mereka adalah contoh perwujudan sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Sepulang sekolah, Reivant mengajak Farhan ke toko buku Arifin. Farhan mulai mengutarakan niatnya untuk menjadi pegawai yang baik dan tidak sombong jika dipekerjakan. Arifin menimbang-nimbang lagi. Masih terlalu dini untuk bekerja, Farhan pun belum memiliki ijazah SMA.
Tapi karena Farhan sedikit memaksa, ia diberi waktu kerja dari jam satu siang hingga jam lima sore, setiap pulang sekolah. Tentu saja upah yang diberikan tidak terlalu besar, namun Farhan sudah bersyukur mendapatkan jam kerja yang jauh lebih ringan dari sebelumnya.
Arifin juga menawarkan pekerjaan kepada Reivant. Ia menjelaskan, akhir-akhir ini Kirana sering mengeluh sakit kepala. Kirana tidak pernah cerita mengenai kondisi fisiknya.
"Om nggak tega sama teh Kirana. Sudah jadi orang tua tunggal, dia juga sebagai tulang punggung keluarga menghidupi tiga anak."
"Kalau gitu, biar aku juga kerja di sini, om," sahut Reivant.
Meski jam kerjanya ringan, imbalannya tidak bisa dianggap sepele bagi anak sekolah, karena dapat tambahan uang seharga satu lusin es lilin jika dijabarkan menjadi jatah harian.
Dikarenakan Reivant berperan penting di sekolah, yaitu sebagai wakil ketua OSIS, dan sedang menjalankan bimbingan OSN ekonomi, ia dijadwalkan bekerja full pada hari sabtu dan minggu saja, tidak setiap hari seperti Farhan.
"Sok ararizin heula. Kalau sudah dibolehkan, mulai besok Farhan bisa kerja. Rei juga, nanti setiap hari sabtu dan minggu, datang ke toko jam delapan pagi," ujar Arifin, kemudian berlalu ke belakang. (Pada izin dulu)
Matahari ditelan langit barat, menyisakan taburan bintang menghiasi suasana malam yang tenang meski seringkali terkena polusi udara.
Meja berbahan kaca bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk. Itu dari Farhan. Setelah berkomunikasi dengan orang tuanya, awalnya mereka tidak setuju. Tapi karena Arifin baik dan ringan dalam memberi jadwal, maka mereka tak keberatan.
Ketika Reivant meminta izin untuk bekerja setiap weekend di toko buku, Kirana tidak memberikan izin. Biar ibu yang bertanggung jawab, Rei belajar saja, kata Kirana berusaha tegar. Namun sorot mata Kirana tidak bisa berbohong. Terlihat jelas ia kelelahan, juga kerutan di wajah semakin bertambah.
"Ibu tenang saja, Rei 'kan sudah jago mengatur waktu. Jam kerjanya juga ringan. Pokoknya, Rei mau bantu ibu. Do'akan Rei bisa sesukses om Arif, dan semoga bisa lebih dari itu," jelas Reivant meyakinkan hati Kirana.
Hati janda beranak tiga itu tersentuh oleh niat baik putra sulungnya. Kirana mendekap Reivant. "Aamiin. Ibu do'akan kamu jadi anak yang sukses. Tapi kalau kecapekan, jangan dipaksa, ya."
Mereka saling menguatkan setelah ayahnya pergi dari dunia ini dua tahun lalu. Reivant sebagai anak sulung laki-laki ingin memiliki mental dan fisik sekuat baja, melindungi tiga bidadari dalam keluarga.
Keesokan harinya, Farhan langsung ke toko buku setelah berganti baju di rumah. Farhan meminta izin kepada Arifin untuk membawa beberapa buku. Bapak berumur itu mengangguk pelan sembari menyesap kopi hitam. Musik dangdut berjudul Terajana didendangkan lewat radio yang hampir menemui ajal. Arifin mengatakan 'yes, sure' lewat saluran telepon.
Jika sedang sepi pelanggan, Farhan mengerjakan tugas-tugasnya. Dari hari selasa hingga jum'at, Farhan telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Tibalah saatnya Reivant bekerja, menemani Farhan. Mereka berdua bekerja full-time, dari pagi hingga sore. Jam malam adalah bagian pak Arifin berjaga dan menyiapkan buku-buku pesanan online untuk dikemas keesokan hari oleh kedua anak buahnya.
Hari sabtu, pukul tiga sore, salah satu lampu toko padam. Reivant beli lampu menggunakan sepeda tua yang sering dipakai oleh almarhum kakeknya—ayah dari Alifin—dulu. Reivant takjub dengan keadaan sepeda itu, masih enak dipakai meski karat sudah menghiasi sekujur tubuh sepeda seperti tato preman pasar. Setelah mendapatkan lampu dari toko sembako yang tak jauh dari toko buku, Reivant mengambil tangga di gudang.
Karena Farhan adalah tiang listrik berjalan, ia disuruh naik untuk mengganti lampu. Memang pada dasarnya iseng, dan itu sulit diobati karena sudah penyakit bawaan, Reivant bercanda dengan menggoyangkan tangga itu setelah lampu terpasang. Sudah puluhan kali sumpah serapah terlontar dari mulut Farhan.
"Urang du'akeun jomlo nepi karatan, lamun urang asup UGD!" ancam Farhan, dengan kedua tangan mencengkram erat ibu tangga, hidungnya kembang kempis. (Aku do'akan jomlo sampai karatan, kalau aku masuk UGD)
Karena tangga kayu itu terus menerus digoyangkan, pada akhirnya salah satu anak tangga yang dipijak Farhan patah. Ia jatuh dan menimpa Reivant dengan posisi wajah saling berhadapan hingga tidak sadar ada pelanggan yang memasuki toko.
Cukup lama pelanggan itu diam, tak bersuara melihat tingkah laku dua bujang kekanak-kanakan. Ketiga makhluk di dalam toko berpandangan satu sama lain.
Bidadari sepatu roda, batin Reivant dalam hati. Wajah mereka bak kepiting rebus, apalagi gadis dihadapannya yang tidak bisa mengontrol semburat merah di wajah seputih lobaknya.
Hancur sudah kesan pertamaku.
🔅
IG: @vierya_chie
1.158 words
11/05/2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top