01 🔸 Menantu Idaman Om
Tubuhnya sedang berguling-guling di kasur, meladeni rasa kemalasan di malam minggu. Tak ada kegiatan yang menarik, Reivant memutuskan untuk berbaring dengan kedua telinga dimanjakan oleh alunan musik akustik barat melalui earphone. Sedari tadi pula ia baca buku tips menjadi tajir melintir.
Sekitar sepuluh detik sekali, musik yang sedang mengalun, harus terjeda karena notifikasi beruntun dari aplikasi perpesanan di ponsel. Tak hanya suara, notifikasi beruntun itu juga menimbulkan getar, bagai blender tukang jus buah. Reivant muntab.
COGAN GANAS
Deskripsi grup :
Cowok-cowok Ganteng Gang Nanas
Reivant:
GARARANDENG
(Berisik banget)
Axel:
Halo bayi bajang. Pantas cewek pada kabur, sia hobina ngilang wae
(Kamu hobinya ngilang mulu)
Ezra:
You're my baby bajang, bajang baby bajang🤰🏻
Reivant:
Diam kalian keturunan Fir'aun
Ezra:
Reii, kita main ke rumah, ya?
Reivant:
Nggak.
Farhan:
Oke, OTW.
Reivant memutar bola matanya malas. Jika Farhan sudah bilang OTW, berarti tekad untuk bangkit dari persemayamannya sudah bulat. Ditambah mengajak pasukan sableng lainnya, kamarnya yang berantakan, akan semakin hancur tak keruan.
Sembari menunggu para tetangga sekaligus sahabat sableng itu, Reivant membereskan kamarnya. Ia menciptakan peraturan bahwa, yang boleh membereskan kamar hanya dirinya seorang, meski hasilnya tidak jauh berbeda dari sebelumnya.
Kejadian minggu lalu, adiknya yang bersih-bersih rumah dan merapikan kamar Reivant. Barang yang sebelumnya disimpan sedemikian rupa, menjadi tersebar acak, membuat ia frustasi karena harus main petak umpet dengan dasi abu-abu dan barang pribadinya yang lain.
Reivant balas dendam dengan menyembunyikan foto-foto polaroid member BTS di ventilasi udara kamar adiknya. Setelah itu, adiknya kapok, tidak lagi-lagi kerasukan jin baik hati. Biarkan kamar itu seperti kandang sapi saja, pikirnya.
Setelah merapikan kamar, ia mulai memainkan gitar yang telah lama dianggurkan di sisi kasur. Wajah bidadari bersepatu roda itu muncul kembali dalam pikirannya, menari-nari memamerkan kecantikan yang membuat hati ABG itu resah.
Sebenarnya, Reivant tertarik pada pandangan pertama kepada gadis di toko buku itu. Namun ketika ingin mengenal lebih jauh, ia teringat masa lalunya. Reivant masih belum bisa menyembuhkan luka itu sepenuhnya dan menimbulkan sedikit keengganan untuk dekat dengan lawan jenis.
Pintu kamarnya diketuk. Itu adalah Irish, adik bungsunya. Ia mengatakan teman-teman Reivant sudah datang. Setelah mempersilahkan masuk, Irish sedikit risih karena para sableng mulai beraksi.
"Irish kapan suka sama aa kumis tipis ini? Soalnya dia jomlo dari lahir," gurau Axel menawarkan Farhan, disahuti cekikikan dari Ezra.
Reivant menghampiri Irish lalu membisikan sesuatu padanya.
"A Farhan bukan indomie. Bukan seleraku," ujar Irish, adik bungsu berusia sepuluh tahun. Reivant tertawa dan mengusap kepala adiknya, bangga.
Farhan diam tanpa ekspresi, namun langsung bergerak untuk menjitak kepala mereka bertiga "Sesat kalian," katanya.
Setelah cuap-cuap ringan di ruang tamu, kini Reivant memandu mereka ke kamar. Mengapa di kamar? Selain kamar Reivant cukup luas, mereka sudah bersahabat sejak air liur meleleh di sudut bibir setiap jam, alias sejak bayi.
Dikeluarkannya ponsel masing-masing. Tidak heran, buat apa lagi mereka berkumpul jika bukan main game bersama. Setelah cukup lama bermain Mobile Legend, mereka bosan, lalu Axel mengajak nonton anime terbaru.
Selepas sholat isya berjamaah di masjid, mereka berkumpul lagi, sekarang di teras rumah.
Tidak jauh berbeda dari perempuan, mereka mulai mengobrol mengenai apa saja yang terlintas kepala. Awalnya membahas klub bola kesayangan, berlanjut ke sekuel film maupun anime favorit yang sempat digantung dua tahun, tanda-tanda hari kiamat, kisah nabi dan rasul sampai ke cucu cicitnya, dan masih berlanjut ke konspirasi dunia. Itulah obrolan pokok mereka selama tiga jam.
Kini, jam sudah menunjukkan pukul 22.45. Mereka mulai kehabisan tenaga untuk mengobrol dan Reivant mulai menguap.
"Cemen ah, ngantuk jam segini," cibir Axel kepada Reivant.
"Aku itu pengacara," balas Reivant. Para sahabatnya bingung, tidak menimpali. "Pengangguran banyak acara," lanjutnya.
"Hahaha, acara apaan, sih?" tanya Ezra.
"Besok pagi mau bantuin om Arif packing pesanan online."
"Ramai terus ya, tokonya."
"Iya, alhamdulillah." Reivant kemudian melihat jam di ponsel. "Pulang gih, aku mau menggembala cicak di kamar."
"Semoga cicaknya makan nyamuk, gendut-gendut, terus bertelur di mulut anta," kata Farhan asal sembari menggulirkan layar ponselnya. (Kamu)
Mereka bertiga pulang jalan kaki karena rumahnya saling berdekatan, hanya Ezra yang beda dua gang dari mereka. Namun mengapa tetap masuk ke sirkel Reivant? Ya, karena akrabnya sama trio nanas.
🔅
Setelah sholat subuh, Reivant langsung bersiap-siap untuk mandi. Ia berpakaian rapi dan wangi, namun style-nya tetap terlihat santai. Siapa tahu ketemu bidadari sepatu roda lagi, pikirnya, kemudian lanjut menyisir rambut yang ke-seratus kalinya.
Jam setengah tujuh pagi, ia berangkat menggunakan motor Beat hitam seri menengah, hadiah dari Kirana—ibu Reivant—karena berhasil mempertahankan peringkat paralel dua selama dua tahun berturut-turut di SMP. Pertama kali naik motor itu, Reivant menabrak jemuran tetangga. Kirana trauma, lalu menahan motor miliknya hingga SMA. Sekarang, barulah ia mulai diizinkan menjamah motor tersebut.
Sampai di toko jam tujuh kurang sepuluh. Terlihat Arifin sedang memasukkan buku-buku pesanan ke dalam kotak kardus. Reivant masuk dengan salam dan senyum sumringah secerah matahari terbit. Arifin menunjuk ke arah meja kasir.
Ada dua tumpuk buku yang menunggu untuk dimasukkan ke dalam kardus. Setelah dioper ke lantai dan dihitung, jumlahnya ada 38 buku dengan total 21 paket pesanan dari berbagai daerah di Indonesia.
"Alhamdulillah ya, om, sehari bisa mengirimkan paket sebanyak ini," ucap Reivant sambil memasukkan buku sesuai pesanan.
"Makanya, om kelelahan kalau nggak dibantu kamu. Apalagi om sudah tua, nyareri cangkeng wae," jawab Arifin (sakit pinggang terus).
Arifin merintis toko buku ini awalnya bersama saudara kembarnya yaitu Alifin—almarhum ayah Reivant. Ia hanya bisa memeluk kaus Alifin yang dulunya sering bau keringat pemanjat kelapa, juga buku-buku masa kecil mereka. Badannya yang gempal, seketika mengecil. Namun karena waktu terus berjalan dan tidak baik membiarkan diri sendiri terpuruk dalam waktu yang lama, bangkitlah toko buku kecil yang sempat redup itu hingga sesukses sekarang, terkenal di platform jual beli online.
"Om," panggil Reivant.
"Hm," sahut Arifin.
"Om."
"Naon?" (Apa?)
"Om ..."
"Ari maneh niat ngomong henteu?" (Kamu itu niat ngomong nggak, sih?)
Reivant menunjukkan cengiran kuda.
"Cewek yang pakai sepatu roda itu, om tahu namanya?" tanya Reivant
"Duka. Hilap deui." (Entah. Lupa lagi)
"Piraku hilap, om?" (Masa sih, lupa)
"Om nggak tahu orangnya yang mana."
"Ah, om, mah."
"Rei bogoh? Uluh-uluh." (Suka?)
Wajah Reivant memerah. Ia menyangkal, beralasan bahwa itu adalah temannya di sekolah. Arifin tidak percaya alasan klasik seperti itu.
"Masih zaman ya, pakai sepatu roda? Orang mah lebih milih pakai motor,"
"Mungkin belum boleh naik motor," bela Reivant.
"Uluh. Belum apa henteu bisa?" (Belum)
"Henteu nyaho, ah!" (Nggak tahu!)
Setelah mencerna kalimatnya sendiri, ia berpikiran bahwa gadis sepatu roda itu kemungkinan besar seumuran dengannya. Dilihat dari tinggi badan, wajah, dan cara berpakaiannya yang kasual, serta belum dibolehkan naik motor, bisa dipastikan mereka seumuran, kelas sepuluh SMA. Jika tidak pun, paling hanya beda berapa tahun.
"Kalau mau dekati cewek, langsung beraksi. Soalnya, orang cantik mah saingana loba," saran Arifin sembari manggut-manggut, menjelma jadi guru cinta.
"Om, kenapa cewek suka marah-marah?"
"Tanya ke mbah Google, da abdi sanes awewe." (Saya bukan perempuan)
"Mereka marah-marah mulu karena nggak dimengerti. Padahal, cowok ge kan, pengin dimengerti."
"Perempuan mah, perasa. Lamun keur ambek-ambekan, antepkeun weh, tapi tetep diperhatikeun. Dipeluk, dibelai, minta maaf. Mission kumplit." (Kalau lagi marah, diamkan saja, tapi tetap diperhatikan)
"Sok ge, lamun diperlakukan istimewa, mereka bakal sieun kahilangan, terus, bisa balas lebih banyak." (Kalau diperlakukan istimewa, takut kehilangan)
Mata Reivant yang tajam, fokus kepada Arifin. Ia berusaha mencerna apapun yang diucapkan omnya karena melalui Arifin, ia merasa mendengarkan kembali petuah-petuah dari ayahnya.
"Ntos, ayeuna, Rei fokus belajar heula. Pertahankeun prestasi. Ulah waka bobogohan. Leutik keneh." (Sudah, sekarang, Rei fokus belajar dulu. Pertahankan prestasi. Jangan dulu pacaran. Masih kecil)
Reivant tidak berkomentar. Ia mengekori Arifin sambil mengangkut kardus.
Mereka berangkat ke tempat sortir paket jam sembilan pagi. Belum satu kilometer jauh dari toko, Reivant melihat sosok itu lagi. Tampilannya lebih santai dari yang sebelumnya ia lihat. Rambut sebahu dibiarkan terurai, menambah poin plus kecantikannya. Meski hanya sekilas dari balik jendela mobil, Reivant sudah terhipnotis.
Mundur dikit neng, cantiknya kelewatan.
🔅
Reivant sampai rumah pukul sebelas lebih karena menunggu di tempat sortir. Perutnya kenyang ditraktir mi ayam oleh Arifin.
Wajah gadis bersepatu roda itu kembali terlintas di kepalanya. Reivant teringat akan kanal Youtube miliknya, sudah berdebu dimakan waktu.
Menantu Idaman Om, itulah nama akun milik Reivant.
Reivant berganti setelan jas dan dasi bermotif polkadot biru, ciri khas Mas Mantu setiap take video. Peralatan dapur rekaman kelas teri sudah dirapikan sedemikian rupa, gitar disetel sesuai kunci, ia mencari posisi paling nyaman untuk cover lagu.
"Rambut warna-warni bagai gulali.
Imut, lucu, walau tak terlalu tinggi.
Pipi chubby, dan kulit putih.
Senyum manis, gigi kelinci.
Membuatku tersadar, bentuk cinta itu ... ya kamu."
🔅
IG: @vierya_chie
1.425words
10/05/2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top