Tiga Puluh: Sacrifice
Kembali pada waktu semula. Matahari nyaris terbenam. Dan dibawah bayang-bayang, (Y/N) bersandar pada pohon favoritnya di pekarangan Kastil. Sudah seharian ia bungkam, padahal biasanya ia adalah sumber keributan di Kastil itu.
Erwin tengah mengadakan rapat bersama Komandan Pyxis sejak pagi hari, sedangkan Hanji masih terbaring di ranjangnya. Betapa pun ia ingin merawat wanita itu, rasa dukanya yang mendalam menghalanginya. Ia tak bisa menutupi kesedihannya kali ini.
Tiba-tiba saja dari kejauhan Levi berlari ke arahnya. Entah apa yang sedang dicarinya, namun ia tergesa-gesa, merogoh hal yang berada di saku celananya.
"Aku turut berduka soal Ibumu." Ujung telinganya memerah. "Mungkin kau akan terhibur dengan bunga ini."
"Eh?" Ia tak menyangka, bahkan mulutnya sampai termangap. "Levi Ackerman, atau roh siapapun yang menempel pada tubuh cebol ini, kuucapkan terima kasih."
"Jangan berlebihan," Levi menghela nafas panjang, mengacak-acak rambut gelap itu. "Kau menyedihkan."
"Apa? Sialan kau, Boncel."
"Kau membunuh, lalu menangisi kematian korbanmu. Dasar Psikopat." Ia berlutut, menghadap gadis itu. "Erwin akan melakukan pekerjaan kotor. Peringatkan dia."
"Aku tahu, dia akan menggulingkan pemerintahan, pemerintahan yang mematikan Ayahnya. Lalu rencanaku, selama ia ditahan, aku.." (Y/N) terhenti sesaat, menarik nafas. "Aku akan mengambil alih kekuasannya.. Sementara."
"Apa? Boncel, kau sudah gila?" Levi tercengang. "Apa yang kau rencanakan? Bunuh diri? Jangan gila!"
"Kalian membutuhkan Erwin untuk waktu yang lebih lama lagi, Levi. Aku akan mewujudkan itu."
***
Lewat tiga hari sudah, (Y/N) resmi diangkat menjadi Komandan sementara, meski masa jabatannya singkat, ia melakukannya untuk sebuah tujuan. Erwin Smith ditahan, ia diperiksa karena dugaan pembunuhan terhadap Direktur perusahaan Reeves, yang sudah jelas ulah Pemerintah dan Polisi Militer untuk menjatuhkan Pasukan Pengintai. Pasukan Pengintai sudah diincar Pemerintah sejak Titan Eren muncul. Eren Yeager dan Christa- Bukan, Historia Reiss telah diculik. Yang terlibat diantaranya adalah Kenny Ackerman, yang terakhir dan yang paling berbahaya, Rod Reiss, Ayah kandung dari Historia. Tuan Boneka. Pria dengan kekuasaan tertinggi.
***
Levi dan anak-anak lainnya masih bersembunyi di sebuah Pondok di tengah hutan, mereka melingkar di antara api unggun, meratapi kejadian yang baru saja terjadi. Armin telah membunuh salah seorang Prajurit dari kelompok yang berusaha menyerang mereka.
"Bagaimana ini?" Armin gemetar ketakutan.
"Tanganmu itu sudah kotor, menyesal pun percuma." Balas Levi seraya menyeruput teh panasnya.
"Kenapa kau bicara seperti itu?" Mikasa menggertaknya.
"Kenapa, Mikasa? Kau pikir siapa musuh yang paling berbahaya di muka bumi? Makhluk apa yang paling mengancam?" Sahut (Y/N) dari tempatnya berdiri. Ucapannya membungkam semua orang, termasuk Levi. "Kalau kau membiarkan tanganmu tetap bersih, Jean takkan berada disini bersama kita."
"Komandan, kau membuatku tersentuh." Jean merengek.
"J-Jangan panggil aku Komandan!" Anak itu melonjak.
"Tetap saja namamu sudah tercatat dalam sejarah, bodoh." Levi menggeser bokongnya, supaya (Y/N) bisa duduk dan bergabung dengan anak-anak malang itu.
"Armin, kau menarik pelatuk karena tahu temanmu berada di ambang kematian. Kau pintar. Kau tahu di saat seperti itu tindakan atau keputusan yang setengah-setengah takkan bisa menyelamatkan siapapun." Ucap Levi, menepuk kepala Armin. "Dan kau juga mengerti.. Bahwa kalau kita kehilangan makanan, suplai, kuda, dan.. Teman, masa depanmu akan suram." Mata laki-laki itu menyapa (Y/N), rautnya menggelap.
"Apa lihat-lihat?" (Y/N) menggelintir kuping Levi, sangat kencang, membuatnya menyembur tawa.
"Armin, berkat kau mengotori tanganmu, kami semua bisa lolos. Terima kasih." Lanjut Levi.
"Kapten Levi.." Jean merunduk. "Aku pikir caramu salah- Tidak. Aku lah yang berharap bahwa caramu salah. Itu karena aku benar-benar takut menggunakan tanganku untuk membunuh orang lain. Tapi ternyata akulah yang salah. Lain kali aku akan menembaknya."
"Bocah, apa yang kau takutkan? Jika orang itu ancaman, bunuh saja, beres." (Y/N) mengelak, membuat Jean tersedak.
"Dasar, kau itu memang aliran sesat, Boncel. Jangan membuat mereka takut." Levi menggeleng.
"(Y/N), apa kau tidak merasa takut untuk membunuh orang?" Tanya Mikasa, menahan ekspresinya.
"Tidak." Alih-alih, Levi lah yang mewakilkannya. "Dia itu gila, Mikasa. Jangan bertanya apa pun tentang ini padanya."
"Sial kau, Levi." Gertaknya, mengamuk. "Yah, sebenarnya aku pun tak ingin. Kalau tak ada pilihan, bunuh saja. Daripada kita yang mati?"
"Tidak salah, sih." Connie dan Sasha setuju. "Apa kau pernah membunuh seseorang?"
"Ya. Ibuku,"
"A-APA?!" Anak-anak itu tercengang.
"Ibuku berubah menjadi Titan liar karena ulahnya sendiri. Meskipun aku membunuhnya dalam wujud Titan, dia itu pada dasarnya tetap.. Manusia. Aku tak mengerti bagaimana bisa ia menggunakan akalnya, padahal ia hanya Titan liar.."
"Jadi ini maksudmu." Mikasa murung. "(Y/N), kami turut berduka atas Ibumu."
"Boncel, kau menceritakannya pada mereka?" Tanya Levi. "Kupikir kau akan merahasiakannya."
"Kenapa? Kalian kan temanku." Ia tersenyum.
"Sungguhan?!" Jean menggeliat, seperti disetrum. "Komandan, apa kita berteman?!"
"Tentu saja. Iya kan, Levi?" (Y/N) mengguncang pundak orang itu.
"Jangan tanya aku." Ia memutar bola matanya. "Yang jelas aku ogah menjadi temanmu."
"Huh? Jahat sekali kau." (Y/N) memoncongkan bibirnya, bangkit. "Sudah ah, aku ingin tidur saja, percuma berbasa basi padamu, Cebol.."
"Oi, Boncel, aku bercanda." Levi mengejarnya.
Anak-anak itu tertawa. Seolah pertengkatan kedua orang itu adalah hiburan semata bagi mereka. Setidaknya, disaat-saat seperti ini, ada setitik peluang untuk tersenyum.
***
"Boncel, kau marah padaku?" Levi mengguncang gagang pintu kamar (Y/N). "Aku akan masuk, terserah kalau kau.."
(Y/N) benar-benar terkapar di atas ranjangnya, sangat pulas seakan ia lupa kenyataan. Lupa bahwa dunia disekelilingnya tengah membakarnya.
"Tukang tidur." Levi duduk, membiarkan kepala gadis itu bertumpu pada pahanya, supaya mendapatkan posisi tidur yang lebih nyaman. Namun, gadis itu malah terbangun.
"Aku mengejutkanmu?"
"Tidak. Aku hanya ketiduran."
"Ada apa?"
"Erwin pasti sedang memikirkanku. Malam ini dingin sekali. Dia kedinginan tidak, ya?" Bisiknya, mengerjapkan mata untuk mengumpulkan kesadaran.
"Bodoh. Pikirkan saja dirimu sendiri." Balasnya. "Apa kau baik-baik saja?"
"Tidak. Aku tidak baik-baik saja." Keluh (Y/N), berusaha menahan tangis. "Semua ini memusingkan."
"Yah, begitulah pekerjaan seorang Komandan." Levi tersenyum. "Kau akan baik-baik saja, lihat sekelilingmu, mereka akan membantumu."
"Levi, bagaimana denganmu? Apakah kau akan membantuku?"
"Kalau kau menjalankan misi ini hanya untuk mati, aku jelas takkan mendukungmu, bodoh."
"Aku tak mengharap mati, kok." Gadis itu menghela nafas lantas mengangkat pandangannya. "Aku ingin melindungi Erwin sebisaku. Setidaknya sampai perang ini berakhir."
"Tindakanmu benar. Tapi- Entahlah."
"Ada apa, Cebol?"
"Jangan mati."
"Sudah kubilang. Aku juga tak ingin, kalau bisa." (Y/N) menyembur tawa. "Tapi Umat Manusia membutuhkan isi kepala Erwin, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menuntun mereka ke kehidupan yang lebih cerah. Jadi aku akan mempertaruhkan semuanya, bahkan nyawaku."
"Kau bisa. Tetaplah hidup."
"Ya. Aku akan berusaha, tentunya." Gadis itu mengangguk. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku kira kau marah padaku."
"Untuk apa? Memang benar, ucapanmu, Boncel." Ia bangkit. "Memang sejak awal kita hanya sebatas rekan. Namun, entahlah apa yang kupikirkan. Aku terlalu tidak tahu diri. Maafkan aku."
"Cih." Levi mendecak. Gadis ini tidak paham, apa maksud dari perkataannya.
"Kalau begitu aku akan berjaga, kau istirahat saja, Levi." (Y/N) menepuk bahu Levi sembari berlalu.
"Jean dan Armin tengah berjaga." Pria itu menarik lengannya. "Tidurlah, Boncel. Matamu sayu."
"Sudah, kau keluar saja, Levi."
"Aku akan disini sampai kau tidur." Ia memaksa.
"Yasudah, kalau sudah mau keluar tolong matikan lentera dan tutup pintunya, ya." (Y/N) menggulingkan tubuhnya. Levi dengan sigap meniup lentera yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu, membuatnya gelap gulita.
"Tidurlah."
"Kenapa kau masih disini?"
"Aku akan tetap disini untuk beberapa waktu."
"Kenapa?"
"Karena aku ingin." Levi menghela nafas, menyandarkan tubuhnya ke bangku. "Boncel.."
"Apa?"
"Aku takut," Suaranya bergetar.
"Hm? Kau bisa merasa takut rupanya." Ia melontarkan tawa. "Apa yang seorang Levi takutkan? Kau takut gelap?"
"Bukan- Maksudku, Aku juga manusia, Boncel." Levi menarik bangkunya ke sisi tempat tidur gadis itu. "Aku takut kehilangan seorang teman. Aku takut menjalani hidupku tanpa dia, karena dia yang menyemangatiku selama ini."
"Wih, kau punya teman?" Ia bangkit dari tidurnya. "Jadi, siapa teman yang beruntung ini?"
"Kau." Levi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Makanya jangan marah karena aku bilang seperti tadi.. Hanya saja.. Aku tak bisa mendukungmu dalam hal yang akan membunuhmu seperti ini, bodoh."
"Eh? Tapi.. Sungguhan deh, kenapa harus takut? Ini kan sudah jalannya, pada akhirnya."
"Aku tahu nasib kita sebagai Prajurit. Akhir cerita hidup kita hanyalah kematian atau hidup dengan umur panjang dalam penuh duka. Tapi untukmu, aku lebih ingin kau terus hidup dan berbahagia." Pria itu menghela nafas berat.
"Yah, Levi, aku juga kalau ada pilihan.." Gadis itu menyadari suara Levi yang berubah. "Levi kau baik-baik saja? Oi-"
"Kalau kau tidak ada, siapa yang akan menemaniku bicara serius seperti ini?" Levi menahan air matanya.
"Bagaimana denganmu? Kau juga harus menjalani hidup yang bahagia, ya." (Y/N) menepuk bahu Levi.
"Ada kalanya aku lelah menahan emosiku, menahan kekakuan ku. Lalu saat bersama denganmu, rasanya aku bebas. Aku tidak merasa lemah meski ceria, aku tidak merasa lemah meski menangis seperti ini." Pria itu meraih tangannya. "Kau harus bertahan hidup."
"Akan kuusahakan, oke?" (Y/N) cekikikan. "Kau juga harus tetap hidup, kau harus merasakan masa depan cerah itu."
"Kau juga harus ada disana." Levi mengusap matanya. "Kita sedang mencetak sejarah, aku harap kau bisa hidup lebih lama."
"Aku akan hidup lebih lama," Ia tertawa. "Demi seorang teman."
Senyumannya membawa Levi ke empat belas tahun yang lalu. Senyuman yang ia lihat di sebuah kedai di perkotaan, senyuman seorang bocah sepuluh tahun yang memberinya beberapa potong roti. Potongan roti yang menyemangati Levi sampai di titik ini, seolah roti-roti itu adalah sebuah harapan baginya. Senyuman yang ingin dilihatnya sampai batas waktu yang tak diketahui, mungkin selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top