Sepuluh: Thoughts
Hanji melompat berdiri, menancapkan pedang terakhirnya di boneka jerami yang nyaris hancur. Saat bertarung, rautnya menggila, ia bahkan tak peduli jika air liur berceceran sari sela-sela mulutnya.
Napasnya tersenggal, kemudian ia menghampiri (Y/N) yang tengah merebahkan tubuhnya di atas rerumputan seraya mengamati langit.
"Hari ini kau tenang sekali," Kata Hanji.
"Entahlah." Balas (Y/N)
"Apa yang terjadi?" Tanyanya.
"Hanya masalah sepele, kok." (Y/N) menghela napas berat.
"Ceritakan saja, mungkin aku bisa bantu." Kata Haji sembari mengangguk. "Ayo dong! Mumpung tak ada Erwin di sekitar kita, kapan lagi kita bisa bercerita antara perpuan seperti ini!" Ia mendesaknya.
(Y/N) menelan ludah, berharap dapat menemukan titik terang dari wanita ini. "Hanji, apa menurutmu Levi membenciku?"
"Tidak. Apa kau bodoh? Tentu saja tidak." Hanji tertawa. "Kenapa, (Y/N)?"
"Aku hanya berpikir, mengapa perlakuannya padaku sangat kurang ajar, sedangkan pada Petra, dia begitu lembut."
"Kalau begitu kau salah paham, bodoh!" Hanji menjitak kepala gadis itu. "Justru beruntunglah bisa diperlakukan seperti itu oleh Levi."
"Maksudmu?"
"Malahan dengan ia menunjukkan sikap kurang ajar itu menandakan bahwa kau itu kawannya sekarang, tahu." Perkataan itu membuatnya sedikit tenang.
"Jadi dia tidak membenciku?" (Y/N) mengangkat pandangannya.
"Jangan bodoh! Siapa yang bisa membenci gadis sepertimu, dasar!" Hanji tertawa seraya jemarinya bermain dengan pipi anak itu.
***
Di sisi lainnya terduduk Petra dan Oluo yang tengah berbincang satu sama lain di atap Kastil. Ditemani oleh sebotol alkohol favorit Oluo.
"Oluo, apa Levi memiliki kekasih?"
Pertanyaan itu membuat Oluo tersedak. "H-Huh?"
"Punya, ya?" Gadis itu muram.
"Hey dengar ya Petra, dengan kepribadian seperti itu, apakah ia terlihat seperti orang yang punya kekasih?" Oluo menyembur tawa, namun Petra menanggapi dengan serius. "Tunggu, kenapa kau bertanya seperti itu? Apa jangan-jangan kau menyukai Kapten Levi?"
"Begitulah," Petra mendesah frustasi. "Tapi dia nampaknya tidak tertarik denganku, ya?"
"Susah kalau mengharapkan orang sepertinya." Oluo mendecak. "Kok bisa sih kau suka dengan orang segalak itu?"
"Dia itu orang yang sangat baik, dia menolongku saat tragedi Dinding Maria, kurasa aku langsung jatuh hati!" Matanya berbinar-binar.
"Kalau Gunther atau Erwin yang menolongmu saat itu, apakah kau akan menyukai mereka juga?" Oluo cekikikan.
"T-Tidak lah! Levi itu berbeda bagiku!"
"Cinta pertama, ya?" Oluo memberikan ekspresi aneh, membuat Petra tak mampu menahan tawa.
"I-Iya, mungkin!" Ia memerah. "Tapi aku iri deh, melihat (Y/N) dan Levi bisa sedekat itu.." Kemudian muram.
"Mereka itu dua orang dari dunia yang sama, Petra. Sedangkan kita hanya prajurit yang masih hidup berkat mereka. Kurang lebih seperti itu." Oluo menghela napas. "Tapi kan kau tahu sendiri, mereka itu seperti tikus dan kucing. Santai saja lah."
"Lucu sekali ya tingkah mereka," Petra menyengir saat membayangkan kedua orang itu saling mengoceh. "Tapi—" Ia menutup mulutnya, mengingat sosok sang kawan baiknya.
"Kenapa?"
"Ya ampun! Aku rasa aku salah bicara!" Katanya.
"Apa? Tidak, kok."
"Bukan itu maksudku! Pada (Y/N)!"
"Kalian sedang bertengkar, ya?"
"Tidak, tapi dia benar-benar hening sejak pagi. Sepertinya ia kepikiran." Petra meringis. "Duh, bagaimana dong? Dia bertanya mengapa perlakuan Levi padanya sangat berbeda, dan aku kira Levi tidak menyukainya— Kurasa aku salah bicara. Malam itu pikiranku susah tidak fokus, jadi aku asak bicara."
"Iya juga, dia tak nampak hari ini. Ada dimana sih anak itu?" Oluo terheran.
"Aku melihatnya di pekarangan tadi." Ia membuang napas berat. "Aku tidak tahu, mungkin sebenarnya Levi lah yang tak menyukaiku."
"Jangan bicara begitu," Balasnya, mengelak perkataan anak itu. "Kalian hanya belun akrab, itu saja."
"Begitukah?" Seperti sepercik harapan timbul di dadanya. "Aku sangat menyukainya, gimana dong!?" Ia menahan jeritan bahagianya.
"Nyatakan saja, apa susahnya!" Oluo memutar bola matanya.
"Tidak akan!"
"Lakukannya kalau kalian sudah cukup dekat." Pria itu mengangkat pundaknya. "Aku tak paham urusan perempuan, tuh."
"Bantu aku minta maaf padanya, dong!" Petra memohon.
"Tinggal katakan saja nanti malam, kalian kan satu kamar." Usulnya.
"Bagaimana kalau ia tidak memaafkanku?"
"Mana mugkin dia begitu?" Balas Oluo, seolah ia telah mengetahui gadis itu selama hidupnya. "Dia pasti akan menerima itu."
"A-Akan kuusahakan!"
"Itu sih harus! Semangat, Petra!!" Oluo menenggak habis alkoholnya hingga kepalanya terasa berputar dan tertidur teler disana.
***
Di sisi lain-lainnya, Erwin dan Levi saling berhadapan. Di meja terbentang selembar Peta yang menggambarkan denah Dinding Maria. Ditengah-tengah kefrustasiannya, Levi menatap dengan sinis ke arah Erwin yang sibuk menyeruput teh panasnya.
"Apa," Sadar dirinya tengah diawasi, Erwin melirik.
"Apa kau ada sesuatu?" Desaknya.
"Apa yang kau bilang 'sesuatu' ini, Levi?"
"Belakangan kau seperti orang yang termotivasi sesuatu." Levi menjelaskan, membuat Erwin tersadar kemana arah pembicaraannya.
"Jangan sok tahu, kerdil." Kata Erwin dengan tenang, namun menusuk dalam.
"Bagaimana bisa kau tenang seperti itu padahal rumor tentangmu sedang ramai diperbincangkan dikalangan para anggota lain? Cih." Levi mendecak, sebal.
"Rumor apa?"
"Tentangmu, dan si boncel anak bawang itu." Levi mengangkat pundaknya.
"(Y/N)? Terus kenapa?" Erwin membalas, seolah ia terima-terima saja.
"Kau benar-benar ada sesuatu dengannya, huh?" Levi sesaat memelotot, namun dengan cepat ia mengalihkan ekspresinya.
"Tidak, sih." Balas Erwin. "Tapi aku tak peduli apa yang mereka bicarakan tentangku."
"Lalu bagaimana dengan gadis itu?" Ia bertanya. "Bagaimana dengan (Y/N)?"
Erwin terhenti, saat mendengar nama itu seketika ia terbayang-bayang oleh gadis itu. Mulai dari wajahnya, suaranya, ekspresi-ekspresi lucu yang dibuatnya, dan sikap keras kepalanya yang hampir membunuhnya.
"Terus, kalau sudah begitu aku bisa apa? Memang kenyataannya tidak ada apa-apa, kan?" Erwin mengangguk. "Rumor seperti ini akan padam sendirinya."
"Cih, kau membosankan, Erwin." Levi menyeringai. "Omong-omong kudengar Angkatan Militer tahun depan lumayan banyak peminatnya."
"Ya, sejak kejadian dinding Maria, kurasa aku tak heran kenapa." Erwin tersenyum. "Semoga saja peminat Pasukan Pengintai akan semakin banyak tanpa harus diteriaki."
"Kalau tidak ada, kita keluarkan saja senjata pamungkas kita, tuh." Balas Levi. "Kurasa ia akan menggemparkan panggung lagi, deh."
Erwin tertawa lepas membayangkan peristiwa di panggung kala itu. Pertemuan pertamanya dengan gadis itu, adalah hari dimana ia merasakan kebahagiaan yang sudah lama tak ia rasakan, juga hari dimana ia mulai merasakan sesuatu dari seseorang setelah sekian lamanya.
***
Di sisi lain-lain-lainnya lagi, di tempat nan jauh, tepatnya di Wisma pengungsian warga Maria, Bertholdt, Reiner, dan seorang kawan bernama Annie tengah meributkan perkara sebuah roti dingin yang disisakan sejak semalaman.
Bertholdt sang bocah jangkung terhuyung mundur, menyerah dengan keributan yang tak berujung itu. Sedangkan Reiner dan Annie menjadi pusat perhatian para warga setempat.
Tiba-tiba saja ia teringat oleh sosok baik hati bak bidadari yang menyelamatkan hidupnya. Kemudian rasa khawatir mulai menghantuinya, teringat sosok penolong itu terpental, cedera parah, dan sekarat. Kemudian ia dikejutkan oleh hal-hal yang tak bisa lepas dari kepalanya sejak hari itu,
Apa aku membunuhnya?
Apa ini semua salahku?
Apakah dia masih hidup?
Apakah aku sudah menjadi makhluk yang kotor?
Pertanyaan-pertanyaan itu membenaninya, memusingkan rasa bersalah dimana seharusnya tak ada dalam dirinya yang terlanjur kotor itu. Ia kira menjadi boneka mereka akan lebih mudah dibandingkan hidup tertindas di Negeri itu, nyatanya pekerjaan ini adalah hal tersulit yang sangat tak diinginkan bagi siapa pun yang masih waras.
Namun ia sadar diri, ia yang memilih jalan kotor ini. Sekarang sudah tak ada jalan kembali, kehancuran akan segera terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top