Enam Belas: Drunk
(Y/N) dan Levi saling bertukar pandang dengan sinis. Di pagi hari yang berhiaskan suasana gerimis-gerimis kecil, mereka bertanding catur, ditemani teh hitam kesukaan Levi.
Oluo dan Gunther menjadi penggemar berat (Y/N) sejak ia mengalahkan Levi empat kali berturut-turut.
"Skakmat." Gadis itu memeluncurkan bentengnya ke barisan tempat Raja milik Levi berada.
"Dasar maniak perang." Levi mendecak. "Kalau aku bermain dengan Oluo mungkin-"
"Tidak terima kasih, Kapten." Oluo menegang.
"Wah, gila! Kerja bagus, (Y/N)!" Seru Gunther seraya menepuk pundak sang kawan. "Omong-omong dimana Hanji dan Petra?"
"Hanji sedang merancang strategi untuk Operasi Penelitian besok bersama Mike, kalau si pirang itu aku tak tahu." Levi menyeruput tehnya. "Oh iya, Boncel, aku belum memberitahumu."
"Ya?" (Y/N) tersentak.
"Kau dibutuhkan. Kita akan melakukan Operasi Penelitian di Shinganshina."
"Mendadak sekali?"
"Lakukan saja, jangan banyak bicara, bodoh." Pria itu menghela napas. "Kau akan bergabung dengan reguku untuk sementara."
"Wah, besok akan seru, nih!" Oluo menyikut gadis itu, riang.
"Kalau kau mati, kau tak akan lagi bilang seru." Balas Levi menggertak, membuat lingkaran yang terdiri dari empat orang itu tertawa.
"Aku tinggal dulu," (Y/N) bangkit meninggalkan lingkaran itu dan mengambil peralatannya. Tanpa memikirkan kemana ia akan pergi, ia keluar dari Kastil dan membiarkan dirinya perlahan-lahan basah kuyup.
(Y/N) berjalan menyusuri perkotaan, tanpa tujuan dan arah, menikmati udara dingin yang menusuk kulitnya. Rambutnya layu, pakaiannya terasa membebaninya.
Lalu ia terhenti di suatu titik yang tak ia sangka-sangka. Dia membawa dirinya sendiri ke jembatan kesukaan Levi yang sudah setahun tak dikunjunginya. Meski begitu, tak ada yang berubah disana.
(Y/N) melepas sepatunya dan membiarkan kakinya menahan arus sungai yang mengalir dengan tenang, terkadang ada beberapa ikan yang berlalu. Ia tersenyum, mengagumi keunikan warna dari masing-masing ikan itu.
"Cantik sekali, deh!" Lirihnya, kakinya berusaha menangkap ikan itu, namun alih-alih ia malah memerosot ke sungai.
Anak itu tertawa terbahak-bahak bak seorang bocah yang tengah menikmati momen dirinya bermain dengan hujan. Entah hal itu membawa pikirannya lagi-lagi pada Erwin. Senyumannya melebar saat membayangkan itu.
"Benar-benar kekanakkan, harusnya ia malu dengan jubahnya." Gertak sebuah suara, seorang warga sekitar yang berlalu-lalang.
"Masa bodoh. Kau tak tahu rasanya." Balasnya. Gadis itu melipat jubah hijaunya, dan merebahkan diri di atas rerumputan di tepi sungai. Gerimis yang kini mulai kencang berjatuhan di wajahnya, namun ia tak menghiraukannya dan tetap terpejam.
***
Ia membuka mata dan mendapatkan dirinya berada di punggung seseorang. Masih separuh sadar, gadis itu menarik rambut pria yang sedang memikul tubuh mungilnya. Membuat mereka berdua terlempar ke jalanan batu yang keras.
"Penculik?!" Ia tak melihat orang itu dan berlari dengan sempoyongan, meskipun kesadarannya belum seratus persen kembali.
"Tunggu-"
Dengan keadaan kuyup, gadis itu melempar dirinya ke dalam sebuah bar yang dipenuhi oleh pria-pria bertubuh kekar yang mabuk. Ia tak peduli dan tetap duduk. Meletakkan sekeping koin, lalu sang pelayan memberinya segelas besar bir yang nampak menggiurkan mata (Y/N).
"Kau tak boleh, nanti cepat mati." Perkataan Erwin terngiang dikepalanya, meskipun saat ini ia tak ingin memikirkannya.
"Bersulang untukmu, Erwin." Lirih gadis itu sebelum meneguk habis segelas bir nya. Namun ia tak kunjung merasa puas. Ia hanya ingin merasa pusing dan melupakan segala hal. (Y/N) mengeluarkan lagi satu keping koin yang ia dapat dari saku celananya, dan pelayan memberikannya lagi satu gelas dengan raut wajah khawatir.
Lalu pria berjubah hijau yang tak nampak wajahnya menghentikannya. Selagi (Y/N) meneguk separuh dari gelas bir keduanya, Pria misterius itu secara tiba-tiba merampas gelasnya dari (Y/N), membuat sang bocah geram.
"Sial, upahku yang terbuang sia-sia." Gerutu (Y/N) memukuli tubuh pria yang rasanya ia kenal. Namun karena efek alkohol, ia tak bisa melihat dengan jelas.
Pria itu tak berbicara sepatah kata pun di dalam sana dan langsung merangkulnya keluar dari bar. Ia menenteng tubuh ringannya, kali ini bukan di punggung.
"Siapa, sih?" Gadis itu berjuang keras untuk sadar. "Kenapa kau mencariku sampai kesini? Jangan-jangan kau suka padaku~" Nadanya aneh, membuat orang itu cekikikan.
"Iya." Pria itu akhirnya angkat bicara. (Y/N) melonjak mendengar suara yang familiar itu, namun ia tak mengingatnya.
"Siapa, sih?" (Y/N) menggeliat di tubuh pria itu, membuat mereka berdua terpental ke jalanan untui kedua kalinya. "Sialan, katakan siapa kau?"
"Diam, jangan banyak bicara dan tidur saja." Balasnya dengan datar. Gadis itu meraba wajahnya.
"Kau mirip si boncel Levi, ya?" (Y/N) seketika terlelap. Membuat pria itu menghela nafas lega dan membawa tubuh mungil itu bersamanya.
Karena hujan dan perjalanan sekitar hanya berpemandangan ladang rumput dan sawah, ia terpaksa berjalan kaki. Dengan tabah, ia mendecak ke wajah gadis itu.
"Levi?" Bisiknya. "Levi. Levi?!" (Y/N) menggertak, menarik hidung pria itu.
"Aduh iya, bawel." Ia menyerah dan melepas jubahnya. "Sudah tidur saja, padahal belum tengah hari tapi kau sudah mabuk berat begini. Kalau tidak bisa minum jangan banyak gaya, babi."
"Kau tahu gak..." Gadis itu terisak, tangisannya terdengar sedih. "Aku mau muntah."
Pernyataan itu membuat rasa kasihannya sia-sia. Dia baru ingat kalau dirinya itu tengah menangani seorang bocah yang mabuk berat.
"Lima ratus meter lagi kita akan memasuki kawasan hutan, tahan sedikit." Levi membungkuk, menawarkan punggungnya, membuat (Y/N) otomatis menaikinya.
Meski tubuhnya boncel, Levi kuat menopang tubuh itu sembari berlari kencang. Dan, tibalah mereka di perhutanan kecil yang menghubungkan Kota dengan Markas mereka.
"Tunggu sebentar-" Gadis itu memuntahkan isi perutnya. Bau alkohol menyengat, membuat Levi menggeleng. Satu menit- Tidak. Dua menit. Selama itu (Y/N) muntah tanpa jeda.
"Dasar." Levi menertawai rekannya yang menderita itu.
"Aduh, lapar."
"Rewel."
"Gendong aku, dong."
"Kemari,"
"Tak mau, aku berat."
"Jalan sendiri sana."
"Jahat banget."
"Ya."
"Ya."
"Makan lah sesampai di Kastil. Hanji akan mengamuk kalau ia tahu."
Gadis itu lagi-lagi terlelap dalam dekapan Kapten Ackerman dengan nyenyak. Biarpun tukang tidur, Levi tak menyalahkannya. Levi dapat sedikit mengerti situasinya.
"Kenapa aku tidak bisa marah, sih, sial." Gerutunya kesal. "Padahal kau anak yang menyebalkan."
"Berisik. Aku mau tidur."
"Diterjang hujan saja kau bisa tidur."
"Lagian kalian tak memberiku pekerjaan. Aku lelah jadi pengangguran, dan ingin menyibukkan diri."
"Menyibukkan diri dengan tidur?"
"Benar, nilai A plus untuk Levi Ackerman~"
"Apa bagian dari tidur yang menyibukkanmu? Ada-ada saja."
"Aku bermimpi bertarung dengan Titan Kolosal, loh."
"Seperti apa bentuk Titan Kolosal?"
"Yang jelas tidak boncel."
"Jangan menghina dirimu sendiri, boncel."
"Maksudku kau."
"Kau kan belum pernah melihatnya, kok kau bisa tahu dia Titan Kolosal?"
"Aku membayangkan wujudnya~"
"Kau akan kecewa kalau bertemu dengannya dan tak sesuai yang kau duga. Bodoh."
"Biar saja, namanya juga mimpi."
"Kalau begitu, apa kau pernah memimpikanku?"
"Pernah satu kali~" Gadis itu menguap.
"Apa itu?"
"Aku menjadi seorang tuan putri, lalu aku menaiki sebuah tandu, dan salah satu yang mengangkatnya adalah kau~"
"Lalu siapa pangerannya?"
"Aku tidak ingat, tapi wajahnya tampan."
"Cih dasar perempuan."
"Apa?"
"Tidak."
"Apakah masih jauh? Kenapa kau tidak menggunakan Manuver 3D mu saja?"
"Kau berat sekali, nanti alatku rusak."
"Benarkah? Apa aku terlihat gemuk?"
"Tidak."
"Yasudah."
"Sudah tidur saja."
"Kurasa aku akan muntah lagi."
"Sabarlah, kita akan tiba dalam lima puluh menit."
"Itu terlalu lama. Perutku mual banget."
"Bodoh, siapa suruh kau minum-minum dan mabuk? Dasar bocah."
"Siapa suruh kau tadi mengejutkanku dan membuatku bersembunyi disana?"
"Alasan."
"Cepat turunkan aku, atau aku akan muntah di bajumu!"
"Iya, berisik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top