Enam: Awake
Petra dan Gunther bermondar mandir di depan ruangan sempit itu, berharap sebuah keajaiban akan terjadi pada sang kawan baik yang tengah berjuang di dalam sana.
Gadis itu menjerit, suaranya sangat melengking, membuat siapa pun yang mendengarnya meringis. Erwin dan Hanji yang berada di sisinya pun bahkan tak dapat melakukan apa-apa selain menggenggam tangannya.
"Tulangmu tergeser cukup parah, nona." Ujar salah seorang perawat yang membawa sebuah pil penenang. "Kumohon tahan sedikit saja,"
"Apa aku dapat kembali berjalan setelah ini?" Ia mengangkat pandangannya pada wanita itu. "S-Sakit!"
"Tentu saja. Butuh setidaknya enam bulan untuk pulih total, kalau bisa jangan terlalu banyak aktivitas." Balasnya. "Sudah selesai. Istirahat lah, nona. Omong-omong, kau kehilangan banyak darah kemarin, jadi mulai sekarang kami akan mengirimkan ramuan untukmu. Semoga anda lekas pulih, nona (Y/N)." Wanita itu pergi.
"Gak tau, deh. Pusing sekali." Keluhnya. "Sekarang bagaimana caranya aku dapat memburu mereka?!"
Erwin mendapati gadis itu termenung di ranjangnya, merasakan sebuah kesedihan yang mendalam di dirinya. "Tenang saja, (Y/N)."
"Eh? Bagaimana aku bisa tenang, aduh." Dia menggerutu.
"Kita sudah menangkap dua titan hidup-hidup kemarin loh. Hebat, kan?" Ujar Hanji, "Untuk sementara kita tidak perlu mengadakan ekspedisi keluar tembok, selama kita punya mereka, kok."
"Ya." Erwin mengangguk. "Lagi pula kedua kawanmu yang posesif itu akan menemanimu untuk beberapa bulan kedepan, kau tak akan sendirian."
"Kawan?" (Y/N) tertawa. "Dua bocah itu sih.."
Pintu membanting, menampakkan Petra yang tengah menangis lebar dengan Gunther di sisinya. Mereka sudah menunggu sejak pagi buta di luar ruangan itu, selagi (Y/N) melakukan pembedahan di kakinya yang cedera.
"Bagaimana?" Petra melempar pelukan pada gadis itu. "Ya ampun kau membuatku khawatir!"
"Harusnya aku menolongmu." Gunther menggeleng dalam penyesalan. "Maafkan aku!"
"Sudah lah." Katanya sambil tertawa lemas. "Aku sudah baik-baik saja, kok."
Hanji menarik Erwin keluar untuk memberi sedikit ruang untuk ketiga anak itu berbincang dan melepas kerinduan. Namun, wajah Erwin murung sejak meninggalkan ruangan itu.
"Kami akan merawatnya, santai lah." Hanji menepuk punggung Erwin, menyadari sikapnya yang menjadi tak wajar sejak enyah dari ruangan itu.
"Bukan seperti itu." Ucapnya membuat kedua alis Hanji mengangkat. "Bagaimana kalau terjadi sesuatu?"
"Tidak akan." Balas Hanji. "Kedua anak itu tidak akan tinggal diam jika terjadi apa-apa padanya."
"Gak tau, deh." Erwin berdecak, merasa resah akan wajah gadis lugu yang selalu muncul di benaknya.
"Ada apa dengan kalimat itu?! Kau terdengar seperti (Y/N)!" Hanji menyembur tawa.
"Berisik, Ibu tiri." Gertak Erwin.
"Erwin, Hanji!" Panggil suara lembut itu, membuat mereka menoleh. Seketika sebuah cahaya nan silau terpancar dari wajah Erwin.
Dengan tongkat yang menjadi alat bantu berjalannya, ia menghampiri mereka dengan wajah yang terkagum-kagum.
"Hati-hati, kakimu itu sedang sakit, (Y/N)." Tegas Hanji.
"Terima kasih banyak!" Ia membungkuk. "Aku berharap enam bulan akan segera berlalu, deh. Aku baru saja melakukan ekspedisi pertama, namun sudah menyusahkan." Keluhnya.
"Tak masalah, (Y/N). Kau sudah bekerja dengan baik." Balas Hanji sambil merangkulnya, "Daripada itu, kau seharusnya mengucapkan terimakasih pada Levi, loh."
"Levi?" Gadis itu terheran. Ia terdiam selama beberapa saat, otaknya berjuang keras untuk mengingat kejadian-kejadian yang terjadi sampai akhirnya sebuah hal menampar ingatannya. Ia ingat. "Ah?!" Dia menjerit, wajahnya memerah.
"Ya ampun, apa perlu sampai begitu, ya?" Erwin menyeringai.
"A-Aku ingat!" Ucapnya. "Erwin, dimana Levi?!"
"Dia berada di Markas, sibuk mengawasi Titan tangkapan. Tapi dia akan kemari nanti sore." Balas Erwin. "Kalau begitu, Hanji, kau bisa pergi."
"Hah? Kau mengusirku?" Wanita itu geram. "Kau juga, dong!"
"Aku akan menemaninya sebentar." Pria itu memelotot, seolah matanya hendak mengatakan sesuatu supaya rekannya yang bawel itu mengangkat kaki dari hadapan mereka. "Kalau (Y/N) tak keberatan,"
"Tentu!" (Y/N) menyetujui ucapannya.
"Aduh ya ampun." Balas Hanji, menghela napas. "Yasudah. Kau pikir kau itu anak muda, huh? Sampai jumpa, (Y/N)!" Dia tertawa dan pergi.
"Dasar,"
Kini yang tersisa hanya sebuah keheningan di antara mereka. Erwin membeku di tempatnya berdiri, matanya tak sanggup untuk menyapa wajah mungil yang berada di hadapannya sekarang.
"Erwin," Gadis itu memecah keheningan, menarik lengan jaketnya, membuat Erwin menoleh.
"Ya?" Ia tersenyum.
"Kemarin itu.. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak menyangka, sampai-sampai syok." Ia menggeleng. "Titan Zirah, aku tak menyangka akan benar-benar bertemu dengannya secepat itu. Selama ini aku hanya mengetahuinya dari buku."
"Memang, selama ini umat manusia hanya bergantung pada benda yang menghalangi tanah kelahirannya dari dunia luas yang terbentang di luar sana. Titan itu datang untuk memperingati kiga." Balas Erwin. "Seperti perkataanmu kemarin, bahwa kejadian itu adalah sebuah peringatan."
"Yah, lagi pula, aku pun sudah cukup muak melihat dinding itu, sih." Ia memutar bola matanya. "Aku pikir aku tidak akan terbangun lagi sejak saat itu."
"(Y/N), sebenarnya.." Erwin melemparkan pandangannya kebawah. "Kami sempat kehilanganmu beberapa saat."
"Apa?" Tanyanya terheran. "Apa maksudnya?"
"Jantungmu sempat berhenti berdetak selama lima menit, (Y/N). Tim medis sudah berusaha keras untuk mengembalikanmu, namun tubuhmu yang sudah sangat lemah kala itu, tak merespon." Dia menoleh padanya, muram. "Saat itu pun aku pikir sudah tidak ada peluang, mengingat betapa banyak darahmu yang terbuang. Namun keajaiban, entah bagaimana terjadi. Kau berhasil terbatuk dan kembali bernapas saat Petra berusaha memompa dadamu."
(Y/N) terkesiap, langkahnya nyaris goyah. "Ya ampun. Ternyata yang seperti itu ada, ya?"
"Itulah saat aku pun mulai berpikir, keajaiban itu bisa saja terjadi." Erwin tersenyum, menepuk pundak gadis itu. "Aku senang kau tak menyerah, (Y/N)."
"Aku juga senang, kok." Lirihnya. Kemudian tiba-tiba wajah Levi terlintas di pikirannya, membuat jantungnya berdegup sangat kecang hingga ia merasa seperti benda itu akan lepas dari tubuhnya. "Jadi Levi menyelamatkanku, ya?" Wajahnya memerah.
"Benar," Erwin mengangguk. "Kau tahu betapa mencekamnya situasi saat itu? Levi sangat frustasi, Oluo yang tak salah apa-apa pun menjadi sasaran amukannya."
"Ada-ada saja, sih." Lirihnya sambil tertawa. Kemudian saat matanya mendarat ke wajah itu, (Y/N) terkejut saat memandangnya. Ia baru tersadar betapa lelahnya pria itu selama ini, kedua matanya yang indah nampak sayu, kantung matanya nampak jelas. Bahkan pipinya saja tirus, seperti tak ada gumpalan lemak disana.
"Kenapa? Ada sesuatu yang aneh di wajahku, ya?" Erwin tersentak mundur.
"Bu-Bukan begitu! Maaf aku malah membuatmu tak nyaman!" Serunya, memerah. "Tapi wajahmu itu, Erwin, kau harus menjaga kesehatanmu. Itu hal yang sangat penting, loh!"
"Tak masalah." Dia tertawa. "Tapi apa maksudmu? Aku selalu menjaga kesehatanku—"
"Kau bekerja terlalu keras hingga lupa memperhatikan tubuhmu, tahu." Lirihnya, memotong ucapan Erwin. "Sudah jelas, kok. Lihat betapa tirusnya wajahmu."
"Kau bahkan mengucapkan itu." Erwin mendesah. "Memangnya ada apa?" kau mengkhawatirkanku?" Guraunya.
(Y/N) melangkah maju dan memainkan jemarinya di bawah mata Erwin yang menghitam. "Tentu saja aku khawatir! Jangan terlalu keras pada dirimu dong, Erwin. Semangatmu itu memang patut dihargai, namun kau juga perlu memikirkan diri. Setidaknya kau itu harus makan minimal tiga kali sehari!"
Erwin tersentak kaget, wajahnya memerah. "A-Apa?" Dia tergugup. "Aku tahu, aku tahu.. Tapi—Tanganmu.."
"Ah. Maaf, aku selalu bertingkah tidak sopan. Aku akan menahannya!" Gadis itu dengan cepat menarik tangannya. "Pokoknya, kau itu benar-benar harus istirahat."
"Bukan begitu, aku tak keberatan, kok." Dia menggeleng. "Kau ini, tubuhmu juga mungil, tuh."
"Hey!" (Y/N) tertawa. "Lihat saja aku akan tumbuh tinggi dan membalapmu nanti."
"Memangnya bisa?"
"Bisa, dong." Balasnya. "Aku tinggal minum susu sapi yang banyak."
"Kau pikir semudah itu? Bagaimana kalau boncel selamanya?" Erwin tertawa samar.
Perkataan Erwin membuat (Y/N) menyembur tawa. "Perkataanmu— Tak kusangka pria serius sepertimu juga bisa bercanda seperti ini!" Ia cekikikan.
"Ah, kau.." Erwin menepuk kepala gadis itu dengan lembut. "Aku ini manusia juga, tahu."
"Iya, iya!" Gadis itu mengangguk sambil melempar tawa. "Senangnya bisa melihatmu seperti ini, Erwin."
Wajahnya semakin memerah. "K-Kalau begitu aku harus pergi mengurus hal lainnya. Tak apa kan, jika kutinggal?"
"I-Iya!"
"Istirahatlah, (Y/N). Ayo, akan kuantar sampai kamarmu." Jawab Erwin, menuntun gadis yang berjalan sempoyongan itu ke ruangan tempat ia dirawat. "Aku akan kembali jika urusanku sudah selesai."
"Baik, sampai jumpa." Dia tersenyum. "Erwin.. Terimakasih sudah menemaniku bicara, aku merasa mendingan."
"Tak masalah. Senang bisa berbicara denganmu." Ia mengangguk. "Dah,"
(Y/N) memberi lambaian, dan dalam sekejap terhuyung masuk ke ruangan itu. Melempar tubuhnya ke ranjang.
Seketika jantungnya tak dapat berhenti berdebar, wajah Levi yang muncul tiba-tiba di kepalanya kembali membuatnya resah. Entah kenapa kejadian saat itu justru membuatnya senang. Bukan senang karena ia terluka— Melainkan seorang Levi Ackerman lah yang menolong disaat dirinya terluka.
"Terimakasih banyak, Levi." Bisik gadis itu sebelum pandangannya menggelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top