Dua Puluh Tujuh: Inside The Wall

WARNING 16+

Di dalam dinding Sina, Armin, Eren, dan Mikasa telah menjalankan misinya. Meski gagal ditarik masuk ke bawah tanah, mereka berhasil memojokkan Annie walau- Ia akhirnya mengkristalkan dirinya. Sesuatu yang belum pernah terjadi. Entah anak itu masih hidup atau tidak.

"Hanji." (Y/N) mengguncang tubuh wanita yang tengah melamunkan entah apa. "Hentikan lamunanmu, dan lihat ke atas."

Pemandangan yang mengerikan, membuka misteri baru. Ada Titan di dalam dinding. Hanji terbelalak, syok dengan hal yang barusan disaksikannya, kini masalahnya malah bertambah lagi.

"Menurutmu, mereka ada didalam dinding karena suatu kejadian? Atau memang dinding ini terbuat dari.. Mereka?" Ujar (Y/N), kemudian ia pergi menghampiri Mikasa yang tengah menyelidiki lubang itu dari dekat.

"Jangan biarkan sinar matahari menyentuh mereka." Sebuah kebetulan (Y/N) dan Pastor Nick mengatakan hal yang sama, di tempat yang berbeda.

"K-Kau harus menahan sinar matahari agar tidak menembusnya. Memasukan apa pun di celah itu, dengan sesuatu.. Apa pun.. Kau harus cepat." Pastor Nick gemetar, mencengkeram Hanji dengan erat.

"Apa Titan ini masih hidup?" Mikasa terbelalak.

"Menurutmu?" (Y/N) menyeringai. "Ayo kita turun, Mikasa."

"Baik."

Mikasa mengikuti perintahnya dan segera turun dari dinding yang berbahaya itu, sedangkan (Y/N) pergi ke Pusat untuk melapor.

***

"Bagaimana?"

"Untuk sementara kita amankan Annie dahulu." Ujar Erwin, rautnya serius. "Penjagaan akan diperketat, aku akan bicarakan ini dengan pihak Militer Pusat pasca rapat nanti."

"Lalu soal dindingnya— Bagaimana kalau aku bilang sesuatu di dalam Dinding itu masih hidup?"

"Ya. Aku juga merasa demikian. Itulah mengapa Pastor bersikeras untuk segera menutup Dinding." Erwin menghela nafas, menarik pergelangan tangan gadis itu. "Sayang, ikutlah rapat denganku,"

"Apakah perlu?"

"Penting." Erwin menatap lurus dengan tegas. "Iya. Ini penting."

"Baiklah, kalau penting, aku akan bergabung." (Y/N) mengecup kening Erwin.

"Harus. Karena aku belum melihatmu sejak pagi, jadi aku sangat merindukanmu."

"Tunggu. Jadi ini bukan rapatku, huh?" (Y/N) melompat ke punggung pria itu, gemas.

"Habisnya kau sibuk bekerja, aku juga butuh kasih sayang." Pria itu memanja.

"Erwin, kau lebih sering meninggalkanku karena pekerjaan. Sekarang tahu kan rasanya?"

"Jadi kau sangat merindukanku ya saat aku sibuk bekerja?"

"Memangnya kenapa? Kau mau semakin menyibukkan diri?"

"Tentu saja, biar kau merindukanku."

"Jahat."

"Sayangku, aku hanya bercanda. Maaf aku sangat sibuk sampai membuatmu rindu seperti itu."

"Sebenarnya aku paham, sih. Aku hanya bergurau.. Tapi kalau bisa jangan sengaja sok sibuk, bodoh."

"Memang apa yang akan kau lakukan kalau aku melakukannya?"

"Aku keluar, nih?"

"J-Jangan, kau harus ikut rapat."

"Kenapa? Aku tuh sedang marah padamu."

"Hey, nenek, jangan galak galak pada kekasihmu."

"Kenapa? Memangnya kau ingin meninggalkanku?"

"Apa? M-Mana mungkin! Sayang, jangan bicara yang aneh-aneh!"

"Aku bercanda, ya ampun."

"Jangan bercanda seperti itu. Aku serius. Aku takkan meninggalkanmu."

"Sekarang kau marah?"

"Tidak, tuh."

"Bohong."

"Iya aku marah. Sekarang cium aku supaya aku tidak marah lagi."

"Kau saja yang cium aku."

"Dengan senang hati. Sekarang turun lah, kau berat."

"Kalau digendong olehmu, aku merasa sangat tinggi. Kalau digendong Levi rasanya aku lebih boncel darinya."

"Kalau begitu tak usah turun. Aku akan menggendongmu selamanya." Gerutunya.

"Katanya aku berat?"

"Biarkan saja, aku tetap mencintai sayangku meskipun kau berat. Aku tak sudi kau diangkat-angkat oleh pria lain."

"Gombal, huh? Kau pikir aku sudah tidak marah?"

"Marah-marah terus, sih, aku menyayangimu, tahu."

"Aku menyayangimu juga, tapi aku tetap marah." Ia menjambak rambut pirangnya, geram.

"Sayang, jangan menarik rambutku,"

"Rasakan. Pokoknya setelah pekerjaan selesai, kau harus memijat dari ujung kepala sampai ujung kakiku."

"Harusnya kau, tuh. Aku kan sudah menggendongmu."

"Kalau kau, dapat yang lain saja."

"Baik, Ratuku."

"Tapi jangan di waktu tidur."

"Tentu saja. Sepanjang hari."

"Nyari mati kau, huh? Kau ingin membunuhku?"

"Laki-laki selalu salah. Aku akan melakukannya kalau kita sedang luang saja, ya."

"Sudah aturannya seperti itu. Kau harus selalu mengalah padaku."

"Terserah Ratuku saja, lah. Memang sejak kapan aku tak mengalah padamu?"

"Ya. Terserah aku. Aku akan mengalah padamu lain kali. Anggap saja balas budi. Tapi sekali saja."

"Jadi, kau ikut rapat?"

"Aku pikir-pikir dulu."

"Harus ikut."

"Baik, Komandan."

"Panggil aku Sayang."

"Sayang."

"Ya?"

"Kau yang menyuruhku, dasar licik!"

"Diam. Aku merindukanmu."

"Tanganmu sembarangan sekali, kalau ada yang melihat malu, tahu."

"Bagus, dong. Biar mereka tahu, kamu punyaku."

"Terserah Erwinku saja, aku juga merindukanmu."

Setelah menunggu beberapa saat, mereka dipanggil untuk menghadiri rapat. Di ruangan itu juga ada Armin, Jean, dan Levi yang mewakilkan Divisi Pasukan Pengintai.

Di tempat milik Polisi Militer di Distrik Stohess, rapat untuk memperbincangkan kejadian itu dilaksanakan. Pemanggilan Pasukan Pengintai ke dalam Ibu Kota telah ditunda. Tetapi kebenaran dari keputusan Pasukan Pengintai yang bertindak atas kehendak sendiri masih dipermasalahkan.

"Erwin, aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan tentang rencana yang kau jalankan hari ini. Kalau kau tahu dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapai, kenapa kau tidak meminta bantuan kepada Polisi Militer?" Tanya salah seorang pria di meja yang melingkar itu.

"Kepala Distrik, kami tak meminta bantuan mereka karena kita tak mengetahui dimana sekutu Raksasa Wanita itu berada." Jelasnya. "Untuk meyakinkan misi ini sangat penting. Hanya mereka yang sudah jelas tidak terlibat diizinkan mengikuti misi ini."

"Aku akui Annie Leonhardt adalah Titan yang bersembunyi di antara para penduduk. Tapi tetap saja, bagaimana dengan kerusakan yang ditimbulkan di Distrik ini dalam prosesnya?"

"Kalau tidak mau rugi, mati saja sana." Bisik (Y/N) geram di sisi Levi.

"Dasar, diamlah, nanti kau bisa-bisa ditahan kalau menentangnya."Levi mencubit lengan gadis itu.

"Dalam rencananya, kami tak pernah berniat merusak fasilitas sekitar. Namun sayangnya rencana kami tidak berjalan dengan lancar. Itu karena kurangnya kemampuan kami, mohon maaf, pak Kepala Distrik.." Tatapan mata Erwin seketika tajam, menusuk wajah sang Petinggi. "Tapi di sisi lain, jika kami membiarkannya kabur dan dinding dihancurkan oleh sekutunya, hasil kerusakan yang didapat akan semakin besar. Hal itu juga merupakan alasan kenapa kami bergerak atas keputusan sendiri."

"Tapi apakah ada bukti kalau aksi kalian merupakan pembelaan terhadap umat manusia?" Perkataan itu membuat hati setiap prajurit di dalam ruangan itu murka. Namun karena posisinya, mereka sedikit tahu diri. "Kau masih tidak bisa mendapatkan Informasi mengenai Annie Leonhart, kan?"

"Pak, bagi kami, mengetahui salah satu dari mereka adalah sesuatu yang cukup berharga." (Y/N) menyambar.

"Benar. Karena itu bisa meyakinkan kalau ada orang yang seperti itu di antara kita." Erwin melanjutkan perkataan anak itu. "Izinkan kami untuk mencari dan menyudutkan mereka. Mereka semua yang bersembunyi di dinding ini, adalah musuh kita."

"Komandan Erwin!" Salah satu Prajurit menjerit, menerobos pintu ruangan itu. "Dinding Rose telah ditembus."

***

Dua puluh jam sudah berlalu sejak Titan menampakkan diri. Armin, Eren, Hanji, Levi, Mikasa, Pastor Nick, dan (Y/N) bungkam di atas kereta kuda yang membawa mereka menuju Distrik Ehrmich.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Armin, murung, hilang arah. "Dinding Rose tiba-tiba tertembus dan aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan."

"Kenapa kita bersama Pendeta pemuja Dinding?" Wajah (Y/N) sinis, tak membalas perkataan Armin.

"Ah itu.. Kami sudah berteman sekarang!" Jawab Hanji, merangkul pria yang gemetaran itu. "Dia tahu mengenai para Titan yang berada di dalam dinding. Tapi sampai sekarang dia tetap menutup mulut tentang misteri menakkubkan itu, meski aku sudah mengancamnya."

"Oi, pak tua." (Y/N) mengangkat pandangan, rahangnya menhencang. "Kenapa kau menutupinya? Apa yang kau sembunyikan, Nick?"

"Dasar Boncel tidak tahu sopan santun." Levi menyikut gadis itu.

"Dia ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Jadi setelah menyaksikannya sendiri, dia akan ragu apakah harus tetap mengikuti peraturan atau melanggarnya."

"Peraturan? Pastor? Hey, apa kau sadar perbuatan dosamu?" (Y/N) mengerang frustasi. "Kau membiarkan banyak orang terbunuh dan terus bungkam. Tidakkah kau sadar? Sial."

"Pelankan suaramu." Tegas Hanji.

"Pastor itu seharusnya jujur, karena kau adalah orang terhormat." Gadis itu memajukan bibirnya.

"Kurasa yang satu ini cukup mempunyai nyali. Ada banyak cara untuk membuka mulut seseorang, loh." Levi menyeringai, menodong pistolnya pada pria itu, telunjuknya sudah siap menekan pelatuk kapan pun ia mau. "Saat ini aku dan (Y/N) mungkin tak berguna dalam pertempuran, namun kami bisa menjaga satu orang pria tua. Jadi lakukanlah hal yang berguna. Omong-omong, aku tak tahu kau mempunyai kegemaran terhadap batu."

Yang dimaksudnya adalah batu Kristal yang digenggam Hanji. Persis seperti Kristal yang mengurung Annie. Transparan, berkilau, dan sedikit memancarkan cahaya dalam kegelapan.

"Aku mendapat potongan ini saat kami mengikat Annie. Menakjubkan tapi.. Saat aku meneliti benda ini dengan pecahan dinding, komposisi partikelnya benar-benar sama persis."

"Jadi mungkin dinding itu terbuat dari Titan.. Kolosal yang berdiri menjajar?" Asumsi (Y/N) cocok dengan Hanji, seketika wanita itu menggila, menggucang Armin.

"Dugaan Armin benar?" Rahang Mikasa seketika jatuh.

"Tunggu- Biarkan aku menyelesaikan!" Ia membungkam anak itu. "Untuk saat ini kita kesulitan menutup Dinding Rose, kan? Karena letak lubangnya jauh dari letak batu besar.. (Y/N), kau tahu apa artinya?"

"Aku paham, deh." (Y/N) mengangguk. "Apakah kekuatan Titan Eren bisa digunakan untuk menutup lubang tersebut? Menggunakan kemampuan Titan yang bisa mengeraskan diri?"

Semua orang memelotot, terkecuali Hanji. Dia sangat setuju dengan perkataan (Y/N). Namun, Eren nampak tak setuju. Dia ketakutan.

"Kurasa hal itu bisa dicoba, bagaimana menurutmu? Kesempatan kita akan semakin cerah." Ujar Armin.

"Mari kita coba saja dulu," Kata Eren, berusaha menerima.

"Bagaimana kalau kita melaksanakan Ekspedisi pada malam hari?" Usulannya cukup mengguncang siapa pun yang ikut di kereta kuda itu. "Kalau grup kecil, peluang untuk sampai ke Dinding Maria akan lebih cepat."

"Anak itu benar, Titan tidak banyak beraktivitas saat malam. Patut dicoba. Iya kan, Levi?"

"Coba saja." Levi menyahut. "Masih ada harapan."

"Kita tidak ada pilihan lain." Hanji menyeringai.

***

"Mereka sudah berangkat?" Tanya Erwin, seraya menggenggam jaket milik wanitanya. Baru dua puluh jam namun hatinya sudah merasa resah, takut, khawatir, rindu, sedih, semua bercampur menjadi satu.

"Sudah, Komandan." Balas Jean, mengangguk. "Tunggu- Komandan, apakah itu milik (Y/N)?"

"Ya." Erwin memerah, hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian fokus pada pembicaraannya. Wajahnya seketika tegas. "(Y/N) sempat bilang sesuatu sebelum pergi. Ini tentang dugaannya terhadap kedua kawanmu, Bertholdt dan Reiner. Jadi, Jean, kuharap kau dapat menjawab pertanyaanku dengan jujur."

"Eh?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top