Dua Puluh Lima: Annie, Bertholdt and Reiner

Sudah beberapa hari ini Erwin dan Hanji bertukar pikiran, menumpas tentang sosok dibalik Raksasa Wanita yang membunuh banyak prajurit Pasukan Pengintai.

Sudah hari keempat sejak Ekspedisi yang penuh duka, namun pikiran semua orang yang terlibat dalam penyelidikan itu seakan buntu. Tak ada pencerahan, atau sebuah masukan masuk akal.

Ditengah-tengah kesengitan itu, Eren, Levi dan (Y/N) menyempatkan menyeduh teh untuk merenggangkan ketegangan di tempat perundingan itu. Menikmati hari-hari yang mulai terasa tenang. Sedangkan Erwin entah kemana, sudah lima belas menit mereka menantinya.

"Lama sekali, sih." Levi mendecak. "Orang bodoh itu membuatku menunggu sangat lama. Seharusnya ia memposisikan diri jadi orang yang menunggunya. Sial."

Eren tersentak. "Kau bawel juga, ya, Kapten Levi." Ia tertawa.

"Dia memang bawel. Kalau sedang seperti ini, lebih baik abaikan saja dia, Eren." (Y/N) melontarkan tatapan angkuh, kakinya berkeliling ruangan.

"Berisik, Boncel." Ia mengedikkan bahu. "Mungkin Erwin sedang buang air, namun tak kunjung keluar."

"Bodoh, nyari mati?" Gerutu (Y/N). "Tarik kata-katamu!"

Melihat sisi berbeda dari dua orang mengerikan itu membuat Eren tertawa geli. Seperti tidak menyangka mereka bisa bergurau layaknya manusia normal.

Seketika saat mata Eren menyapa gadis itu, dia terhening, menggelap, merasa bersalah atas kematian rekan-rekannya. "Kapten, maaf." Perkataan itu membuat (Y/N) menghentikan langkahnya.

"Oi! Untuk apa?"

"Kalau aku tidak memilih pilihan yang salah saat itu.. Hal ini tidak akan terjadi. Tidak akan ada yang terluka." Eren membungkuk di hadapan (Y/N). "Maafkan aku, (Y/N)."

"E-Eren, jangan begitu, dong." Gadis itu merengek. "Levi kan sudah bilang padamu. Tidak ada yang bisa mengetahuinya sebelum dicoba. Tak apa." Suasana seketika hening. Udara di ruangan itu terasa tersedot keluar.

Beruntung, tak lama kemudian Erwin tiba bersama Armin dan Mikasa. Wajah mereka antusias, seperti baru saja mendapatkan harta karun tersembunyi.

"Maaf membuat kalian menunggu lama." Erwin menarik nafas. "Kami menemukan petunjuk."

"Armin? Mikasa?"

"Apa itu?" Tanya Levi.

"Biasanya ini adalah tugas dari Kepolisian di Distrik Stohess. Namun, kali ini kami diperintahkan untuk menangkap Titan Wanita itu." Erwin menyilangkan kedua tangannya, matanya mendarat pada sang kekasih yang tengah sibuk dengan teh panasnya. "Besok lusa kita akan melakukannya, pada hari itu aku dan Eren akan dipanggil ke Ibu Kota Kerajaan."

(Y/N) tersedak dengan perkataannya. "Apa?"

"Oi Boncel. Tehmu tumpah, tuh." Levi menawarkan sebuah sapu tangan dari sakunya.

"Pakai punyaku saja," Erwin duduk di sisi (Y/N), tatapan matanya mengancam. "Makanya hati-hati."

"Lalu, Erwin, pembahasannya." Mikasa memecah obrolan kekanakkan itu.

"Ya. Kita tak bisa mengelak kalau kita harus menyerahkan Eren. Jika tidak, kita akan semakin kesulitan untuk memancing para dalang ini." Jelasnya, kembali fokus pada realita.

"Lalu, apa yang kau pertaruhkan?" Tanya Levi.

"Segalanya." Erwin mengangguk. "Kita akan mempertaruhkan segalanya, karena musuh juga telah melakukannya. Ini satu-satunya kesempatan kita. Jika Eren berhasil memancing para dalang ini ke bawah tanah dalam bentuk manusia, kita tidak perlu dipanggil dan mereka akan lebih fokus menjaga keamanan dinding."

"Wah." (Y/N) tersenyum manis pada Eren, matanya sinis. "Bagaimana, Yeager?"

"Tapi, tentang Raksasa Wanita.."

"Armin, kuserahkan padamu. Ini adalah rencananya." Ujarnya.

"Re-Rencana Armin?"

"Ya. Menurutku, sosok manusia Raksasa Wanita memiliki hubungan yang cukup dekat denganku." Ujar bocah bertubuh mungil itu.

"Apa?"

"Kemungkinan dia adalah salah satu rekan kita dalam pelatihan angkatan ke seratus empat. Dan dia juga yang membunuh kedua Titan tangkapan Hanji. Sawney dan Bean." Armin menjelaskan dengan semangat membara. "Lalu, Titan itu adalah,"

"Menarik,"

"Annie Leonhardt." Armin mengarah tepat ke sasaran. Bingo. Perkataannya seperti anak panah yang menusuk otak Eren, membuatnya tak bisa bergerak sama sekali.

"Apa kalian punya bukti yang akurat untuk membuktikannya?" Tanya Levi.

Ketiga bocah itu bertukar pandang. "Wajahnya mirip," Tambah Mikasa.

"Jadi tak ada bukti akurat, ya?" Levi tertawa. "Kalau begitu, patut dicoba."

"Tunggu!" Eren bangkit. "Tapi— Bagaimana kalau pelakunya bukan Annie?"

"Dia akan dibebaskan dari tuduhan. Beres, kan? Tidak rumit." (Y/N) mengedikkan bahu.

"Kenapa kalian mencurigai Annie?" Bocah Yeager itu gemetar.

"Eren, apa pikiran itu sama sekali tak terpintas di kepalamu? Padahal kau sudah pernah bertanding satu lawan satu dengannya." Mata Mikasa mengkilat, sinis.

"Saat penyelidikan pasca serangan lalu, Annie menggunakan 3D Manuver milik Marco supaya tidak dicurigai." Armin terhuyung, lemas. "Aku sering memeriksa alat milik Marco, jadi aku cukup hafal goresan-goresannya."

"Berarti bocah itu terlibat dalam kematian rekan kalian, ya?" (Y/N) memincingkan mata. Seketika Bertholdt dan Reiner muncul di pikirannya. Entah bagaimana, mungkin karena dua anak itu kawan akrabnya.

"Kemungkinan, iya." Ia mengangguk.

"Ah, membosankan. Aku pergi dulu, ya~" (Y/N) bangkit dari bangkunya. "Rasanya aku ingin bermain."

"Oi, seperti anak kecil saja." Levi menggertak. "Kembali ke tempat dudukmu, Boncel."

Begitu keluar dan pintu membanting, pas sekali Bertholdt dan Reiner berlalu di depan ruangan itu. Namun— Bagaimana kalau ini bukan

"Wah. Kebetulan sekali, nih?"

"Hai," Bertholdt merunduk, memerah. "Ya,"

"Kau sudah makan, (Y/N)?"

"Mau makan siang bersamaku, tidak?" (Y/N) merangkul kedua anak yang tak terpisahkan itu. "Aku sudah makan, tapi ingin makan lagi."

"Kalau memaksa, kami tak keberatan." Bertholdt tersenyum, membuat Erwin seketika paham. BermainAda sesuatu yang ia rencanakan.

'Ketika seseorang berubah menjadi Titan, saat kembali ke wujud manusia, mereka akan selalu meninggalkan bekas. Terutama di bagian tepian mata.'

(Y/N) teringat akan hasil penelitian yang diungkap Hanji beberapa saat yang lalu.

"Jadi.." (Y/N) mengangguk, menarik bangku. "Aku lupa, deh, kalian tinggal dimana?"

"Kami tinggal di sebuah pegunungan." Ungkap Reiner.

"Pegunungan yang mana, tuh? Omong-omong, dahulu saat kecil aku juga suka piknik ke gunung bersama Papaku." Senyumannya melebar. "Jangan-jangan kita pernah bertemu, ya?"

"Sebuah pegunungan dengan pohon-pohon yang sangat lebat."

"Maksudku, gunung yang mana, bodoh? Apakah ada gunung yang tandus disini?"

"D-Di Utara dinding Maria!"

"Sepertinya aku belum pernah kesana, deh. Soalnya sangat jauh dari tempatku tinggal." (Y/N) merengek.

"Kita bisa kesana kapan-kapan." Reiner tertawa.

"Janji, nih?" Gadis itu mengacungkan ibu jarinya.

"Tidak bisa janji." Bertholdt menepuk kepala gadis itu, lantas wajahnya semakin memerah. "Rasanya kau tidak berubah sama sekali, deh."

"Tentu saja, aku ini usianya saja yang tua, wajahku awet muda! Soalnya aku tidak galak seperti Reiner." (Y/N) mengoloknya, membuat Reiner memutar bola matanya.

"Yah, tidak salah juga, sih." Bertholdt merangkul kawannya. "Kita hanya bergurau, kok, Reiner."

"Sudah, bicara saja terus. Aku hanya ingin makan." Sahut Reiner seraya menyomot sepotong roti.

"Makanlah yang banyak, biar kau bisa membunuh Titan dengan semangat~" (Y/N) menepuk kepala Reiner. "Omong-omong apa yang memotivasi kalian masuk Divisi Pasukan Militer?"

"Kau." Balas mereka berdua sambil melempar tawa, membuat (Y/N) tersedak. "Bercanda. Kita ingin membunuh Titan. Kalau kau sendiri bagaimana?"

"Aku?" (Y/N) menyeringai.

"Ya. Tujuanmu masuk Divisi ini apa?" Reiner menatapnya tajam.

"Tentu saja karena aku ingin melihat Titan Kolosal dan Titan Zirah, dong!" Ia tertawa. Kedua orang itu bertukar pandangan sinis. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?"

"Kenapa kau ingin bertemu dengan mereka?" Tanya Bertholdt.

"Aku kan sudah bilang, aku ingin membunuh para Titan. Jadi mereka juga termasuk, dong?" Tatapannya menusuk dengan tajam, menampilkan kengerian di kedua bola mata hijau itu.

"Begitu? Ambisimu bisa juga, (Y/N). Kau ingin membunuhnya?" Reiner tersenyum hangat. "Semangatlah, (Y/N). Orang sepertimu mungkin bisa melakukannya."

"Ya. Akan kuusahakan." (Y/N) membalas senyumannya. "Jadi— Apakah kalian akan membantuku?"

"Ya.. Tentu." Reiner mengangguk. "Ya kan, Bertholdt?"

"Ah? Y-Ya."

"Omong-omong, apa kau akan tetap membunuh mereka meski dalam rupa manusia?"

"Iya, kenapa?" Gadis itu menyengir. "Omong-omong Titan Zirah yang hampir melenyapkanku lima tahun lalu, lumayan mirip denganmu, loh." Ucapan itu membuat keduanya tersentak. Bertholdt seketika bungkam, tak dapat bicara sepatah kata pun.

"Maksudmu? Mana mungkin, jangan konyol." Gerutu Reiner.

"Apa, sih? Hanya bercanda." (Y/N) bangkit. "Kalau begitu aku ingin jalan-jalan dulu, ya!"

"S-Sampai jumpa!" Bertholdt melambai.

"Oh! Sebelum aku pergi, masih ada yang ingin kutanyakan—" Ia berbalik.

"Apa itu?" Sahut Reiner.

"Apakah kalian akrab dengan Annie Leonhardt?"

"Kami teman.." Seketika Reiner menghentikan perkataannya. "Hanya teman biasa, sih. Kenapa kau bertanya?"

"Anak itu sedang dicurigai. Hati-hatilah." (Y/N) mengangkat kaki dari tempat itu.

Saat itu juga mereka tersadar. Gadis itu baru saja menyelidiki mereka. "Hati-hatilah" itu sindiran. Ia baru saja mengancam. Ia lah yang bermain dalam bayang-bayang Erwin Smith.

***

"Apa kasus Marco perlu terjadi lagi pada orang lain?" Bertholdt khawatir. "Reiner, kurasa kita tidak harus—"

"Ya. Lakukanlah, Bertholdt."

"Tidak. Aku tidak bisa. Aku tak ingin membunuhnya, Reiner."

"Kalau begitu aku saja yang akan membunuhnya."

"Jangan!" Ia mengguncang tubuh Reiner, rautnya murka.

"Bunuh dia, Bertholdt."

"Jangan menentangku, Reiner."

"Kau harus melupakannya, atau aku yang akan membuatmu melupakannya. Bunuh. Dia bukan teman, Bertholdt."

"jangan mengaturku, Reiner. Kuperingatkan, jangan sentuh dia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top