Dua Puluh Enam: My Angel

Aku menyukai (Y/N). Bahkan aku sangat menyukainya. Namun aku, adalah Bertholdt Hoover. Seseorang yang akan sangat kalian benci. Aku lah sang tokoh Antagonisnya.

Bab ini hanya mengisahkan lika-liku percintaanku yang rumit, sampai akhir hayatku pun mungkin takkan terbalas. Karena aku- Jatuh cinta dengan tokoh Protagonis, lawanku sendiri.

Saat pertama kali aku melihatnya adalah ketika terjadi penyerangan di Distrik Shiganshina, lima tahun yang lalu. Penyerangan yang disebabkan olehku, dan kawanku Reiner. Hari itu dia nampak.. Bersinar. Dia seperti malaikat. Membayangkannya saja mungkin aku akan menangis.

Gadis itu mempertaruhkan nyawanya supaya aku bisa selamat. Dia menyuruhku lari, sedangkan ia menghadang segala hal yang mengejar dari belakangku.

Aku terlalu sibuk kabur sampai lupa diri. Sampailah akhirnya Reiner meneriaki namaku berkali-kali, lalu saat menoleh aku malah mendapati (Y/N) yang terkapar, terlempar dari ketinggian akibat serangan Titan.

Jika kupikir, mungkin aku bisa menyelamatkannya. Namun seorang Prajurit bernama Levi Ackerman justru datang dan merampasnya dari kami. Setiap mengingat hal itu aku selalu merasa kesal, namun juga merasa tidak tahu diri di waktu yang sama.

Di pengungsian, dua jam pasca kejadian itu, kami berpapasan dengan beberapa prajurit Pasukan Penjaga yang menandu gadis itu dari gerbang Distrik Trost. Sekujur tubuhnya basah kuyup karena keringat. Tubuhnya kejang-kejang tak terkendali.

"Ya ampun, lihat Prajurit itu." Bisik-bisik seorang penduduk setempat. "Yang seperti itu, mau ditolong pun hanya mengulur waktu saja. Pada akhirnya dia akan kehabisan darah dan mati pelan-pelan."

Saat itu yang merasa paling berdosa adalah aku. Bukan Reiner, Bukan Annie. Hanya Aku. Tapi semua ini harus tetap dilakukan, demi kepentingan. Kuakui, saat ini aku lebih berpikir kalau aku menyesal telah memilih jalan panjang berlika-liku ini. Pada akhirnya tetap saja buntu, kan?

Lalu aku tak menyangka sebuah keajaiban terjadi. Satu tahun kemudian, tepatnya di hari pertama penyambutan calon Cadet, aku melihatnya lagi. Bahkan setelah satu tahun lamanya, dia tak berubah. Mungil, boncel, dan sesekali wajahnya suram.

Aku sangat bahagia. Sejak hari itu aku tak bisa berhenti membicarakannya setiap malam bersama kawan-kawan Cadetku. Apa lagi Connie dan Jean juga menyetujui, dia perempuan yang sangat cantik. Namun Jean berkata ia tak lebih cantik dari Mikasa. Omong kosong macam apa itu?

"Pusss~" Akhirnya setelah sekian lama aku mendengar suaranya lagi. Entah aku hanya halusinasi atau tidak, yang jelas aku segera keluar dari Asrama untuk menyusul suara itu.

Disitulah dia. Sedang berlutut, menyelamatkan seekor anak kucing liar yang tersangkut di pekarangan Asrama kami. Persis dengan apa yang kukatakan, dia seperti malaikat.

"(Y/N)," Panggilku, jantungku mau meledak. Saat ia menoleh, sialan, cantik sekali. "Sudah kuduga itu kau, syukurlah."

Matanya membulat saat menemui wajahku, seakan dirinya baru saja melihat hantu. "Bertholdt! K-Kau sudah besar sekali, padahal baru setahun." Mendengar nada bicaranya saja aku merasa akan menikahinya.

Ya, sebenarnya tidak juga- Pikiran itu pudar saat sainganku muncul. Erwin Smith. Komandan Pasukan Pengintai. Ancaman sesungguhnya. Si sialan itu memelototiku, mengancam, bahkan dengan satu lirikan saja aku paham ia sedang mengusirku.

Aku tahu mengenai rumor di antara mereka, hanya saja aku tak bisa mempercayainya. Aku tak melihat bukti apa pun kalau mereka memiliki suatu hubungan yang lebih dari sebatas Rekan Kerja.

Setidaknya selama empat tahun aku mempercayai pikiranku. Karena di tahun kelima, aku dan Reiner masuk ke Pasukan Pengintai, dan semua pertanyaan itu terjawab.

Mereka lebih dari yang biasa kulihat. Seakan Markas itu rumah mereka berdua, dan kami semua disini hanya pelayannya. Memuakkan.

***

"Bertholdt?" Suatu tengah malam (Y/N) menghampiriku yang tengah duduk menyendiri di ruang utama karena gangguan tidur. "Kenapa masih bangun jam segini?"

"Aku- Sedikit kesusahan tidur." Balasku, malu-malu. Berbalut piyama, kecantikannya kini bertambah sepuluh kali lipat.

"Kenapa? Ada yang sedang kau pikirkan?" Ia tertawa sesaat, kemudian matanya menyapaku dengan serius.

"Tidak."

"Aku ingin menyeduh teh, kau juga minum, ya?" Tanyanya, menarik lengan kemejaku.

"Eh? Y-Ya. Terima kasih."

"Buatkan aku, Boncel." Suara Kopral Levi yang dingin bergema di ruangan yang luas itu, membuat kami tersentak.

Tatapan mata itu- Seperti aku sedang melihatnya. Ternyata selama ini banyak hal yang terjadi sampai aku tak mengetahui apa pun tentangnya. Bahkan pria sedingin itu bisa jatuh untuk wanita naif sepertinya. Tak heran, sih.

"Buat saja sendiri, Levi!" (Y/N) menolak, memukul dahi pria itu.

"Pilih kasih," Levi melempar tatapan dinginnya padaku. Tatapan yang mengancam lagi. Kali ini aku tak mau kalah.

"Maaf. Kenapa anda melihatku seperti itu, Kapten?" Tanyaku, berusaha tak goyah.

"Kau mengganggu." Ia duduk di sisiku, menyilangkan kedua tangannya. "Nah, Bertholdt, karena kau juga sudah tahu, aku akan menyampaikan sesuatu,"

"Ya?" Aku tersentak.

"Tahu diri." Bisik Levi di telingaku seraya menyeringai.

Aku tahu. Di antara seorang Komandan dan seorang Prajurit Terkuat, aku bukan apa-apa.

Tapi- Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku juga ingin bersamanya. Hanya dia yang menerimaku dengan layak sebagai manusia disaat semua orang memperlakukanku sebagai seorang Kolosal.

Sekarang dia mencurigai kami, dan yang paling mengganggu pikiranku adalah, "Apakah (Y/N) akan membenciku?"

"Ya. Sekarang, kau harus menyelinap diam-diam, dan menariknya kemari." Geram Reiner, dia hilang kendali.

"Apa kasus Marco perlu terjadi lagi pada orang lain?" Tanyaku, khawatir. "Reiner, kurasa kita tidak harus-"

"Ya. Lakukanlah, Bertholdt." Dia memotong pembicaraanku.

"Tidak. Aku tidak bisa. Aku tak ingin membunuhnya, Reiner." Aku mengelak, gemetar.

"Kalau begitu aku saja yang akan membunuhnya." Ia mengambil sebuah pisau dari laci mejanya. Dia bersungguh-sungguh.

"Jangan!" Bentakku sambil mengguncang tubuh Reiner.

"Bunuh dia, Bertholdt." Mata Reiner memanas.

"Jangan menentangku, Reiner." Kali ini aku tak bisa menurutinya. Aku juga perlu mengancamnya karena sudah keterlaluan.

"Kau harus melupakannya, atau aku yang akan membuatmu melupakannya. Bunuh. Dia bukan teman."

"jangan mengaturku, Reiner. Kuperingatkan, jangan sentuh dia."Aku menarik kerah anak itu, nyaris memukulnya.

"Pikirkan apa yang akan terjadi saat ia benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau kau Titan Kolosal?"

Aku mati kutu, tak bisa berkata-kata sedikit pun. Tapi tetap saja meski ucapannya benar, aku tetap tak mau membunuhnya. Dia sangat berjasa, dan aku tak ingin dia mati menyedihkan seperti ini.

Dia berhak mendapatkan akhir yang bahagia. Sedangkan aku wajib mati demi mewujudkan kebahagiaan itu.

Aku tidak tahan.

Rasanya ada dinding yang sangat tinggi, bahkan sosok Titanku pun tak mampu menggapai puncaknya. Aku benci melakukannya, aku benci harus meninggalkan kesan buruk di hidupnya. Pada akhirnya dia akan bersikeras untuk membunuhku atas dosa-dosa ini. Dia akan membenciku.

Sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top