Dua Puluh Empat: Back to Each Other
Mau post dua chap mumpung sunday hehe ;) Enjoy, dear. Have a nice weekend y'all maap garing yaa! xoxo ◉‿◉
***
(Y/N) terduduk syok di atas kereta kudanya. Sejak mereka meninggalkan hutan, tubuhnya gemetar semakin kencang seakan ia menolak untuk pergi dari sana.
Tatapannya kosong, tak bergeming. Bahkan saat Levi sesekali menyapa ke keretanya, ia tak menyempatkan diri untuk melirik sedikit pun. Bola matanya lurus, kosong, dingin, dan ketakutan.
Rasa sakit di mata kirinya pun terasa sepele saat ia membandingkan dengan rasa dukanya yang sangat mendalam, ia pun sampai lupa apa tujuan awalnya.
"Hentikan." Kedua tangan Erwin terasa kasar dikulitnya, namun menenangkan. Pria itu mengembalikan (Y/N) ke realita, ke sebuah dunia tempatnya berpijak saat ini. "Biarkan aku memeriksa lukamu dulu, (Y/N)." Lirikannya hangat, namun tak cukup hangat untuk melelehkan tatapan dingin gadis itu.
(Y/N) merasakan pipinya basah, meski tak sadar sejak kapan ia menangis. Air matanya mengucur deras seakan ia belum pernah melakukannya. Isakannya nyaring dan menyedihkan menusuk siapa pun yang berkuda di antara keretanya, seperti menyuarakan kesakitan yang menyiksa.
"(Y/N), jangan seperti ini." Erwin berjuang menahan tangisannya, mengusap pipi gadis itu dengan lembut. "Sadarlah, ini kenyataannya."
"Apa kau tak punya hati? Baiknya kau pergi sjaa." Gadis itu akhirnya berucap. "Enyahlah, Erwin. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapa pun."
Erwin menarik anak itu, namun (Y/N) menepisnya. Ia tak menyahut, hanya mengangguk dengan sabar, kedua matanya terpaku pada kayu yang dipijaknya.
(Y/N) merengkuh jasad Petra dan Gunther di sisinya yang terbalut kain dengan sepercik noda darah. Memeluk mereka sekuat tenaga, seolah-olah hal itu bisa membuat mereka hidup kembali, atau untuk mengungkapkan rasa terima kasih karena telah menjadi temannya saat tak seorang pun mau berkawan dengannya.
"Aku mengerti,"
"Kau tak mengerti apa pun, Erwin."
Erwin menghambur maju, menahan tubuh gadis itu dengan sangat erat. Meski jubahnya akan berlumuran darah, maka ia tak peduli, perasaannya campur aduk, ia hanya ingin memeluk gadis itu saat ini. Erwin tak lagi mampu untuk bersikap sok tegar saat mendapati perempuan yang dicintainya tengah terisak dihadapannya.
"Seharusnya mereka tak boleh mati mendahuluiku." (Y/N) frustasi
"Tak ada seorang pun yang pantas mati seperti ini. Namun mereka memilihnya, mereka sudah menerima kematiannya akan seperti ini, (Y/N). Mereka ingin kau hidup, itu sebabnya mereka melarangmu bertarung dan mengorbankan dirinya." Erwin mengusap punggung gadis itu, merasakan tubuhnya yang bergetar kencang.
"Apa yang harus kukatakan pada orang tua mereka, Erwin?"
Erwin tersenyum. "Bahwa anak-anak mereka tidak mati sia-sia." Kalimat yang sudah ribuan kali ia ucapkan kepada ribuan orang tua dari para prajuritnya.
"Mereka menyia-nyiakan nyawanya untukku. Sedangkan aku hanya fokus pada aturan dan cara kerjaku. Kalau saja aku membuang jauh-jauh pikiran itu.." (Y/N) tak melanjutkan perkataannya.
"Lalu apa? Kau akan ikut bertarung dan mati bersama mereka? Dengar, kawan-kawanmu sudah membuat keputusan kalau kau lah yang harus hidup. Jangan merasa seolah-olah semuanya salahmu. Ini sama sekali bukan salahmu."
"Ini sulit. Kalau seperti ini, aku tidak mau."
"Takdir akan selalu terjadi tanpa peduli kau mau menerimanya atau tidak." Bola mata biru Erwin yang jelas menyambut tatapan gadis itu dengan tulus. "Tidurlah, tenangkan pikiranmu. Aku akan menjagamu."
Dia tak membalas, hanya bisa duduk dan berharap bahwa segalanya akan lebih baik sekarang. Juga pertumpahan darah yang terjadi begitu sengit hari ini akan terbayar setimpal.
***
Saat membuka mata di pagi buta, pemandangannya adalah atap kamarnya. Bukannya merasa senang atas keselamatannya, ia justru merasa sulit menerima semua kenyataan, seakan-akan dia telah mengkhianati keempat kawannya karena mendapatkan semua ini. Namun, lamunannya terpecah karena merasakan sesuatu di perutnya. Sesuatu.
Ia bangkit untuk memeriksa, dan mendapati Erwin yang tengah tertidur separuh terduduk, tubuh bagian atasnya merebah di tepi ranjangnya. Lengan kekarnya membalut tubuh mungil (Y/N), membuatnya merasa aman.
Tak satupun kata tergelincir keluar dari mulut itu, ia hanya memandangi wajah Erwin yang tenang saat tertidur. Entah harus merasa senang atau marah, ia menikmatinya.
Beberapa bagian kepalanya dibalut perban, mengingat benturan yang terjadi kemarin cukup keras, wajar saja, bahkan ia masih tak kunjung bisa membuka mata sebelah kirinya.
"Oh? Kau sudah bangun," Erwin bangkit, mengedipkan mata untuk menjernihkan pandangannya.
"Maaf soal kemarin, aku merepotkanmu lagi." Gumamnya canggung. "Aku membangunkanmu, ya?"
"Aku memang sudah bangun, lagi pula aku tak merasa kerepotan, kok." Ia menyisir rambut (Y/N) menggunakan sela-sela jarinya. "Kau pasti kesulitan, ya?"
"Ya. Bagaimanapun, mereka tak seharusnya mati." (Y/N) menghela nafas berat, kemudian memendaratkan tatapannya di wajah pria itu. Sesak.
"Berhentilah berkata seperti itu, setengah dari kita sudah selamat. Mereka mati demi menyelamatkanmu dan Eren. Itu pilihannya sendiri, jangan menyia-nyiakannya." Ucapan Erwin membuat kedua matanya memanas. Sebutir air mata mengalir di pelipis kanannya, menyentuh rambutnya. Keduanya terdiam semenit penuh. Kemudian Erwin meletakkan kepalanya di atas perut (Y/N), nyaris menangis.
"Erwin—"
"Maaf." Erwin mencoba untuk mengatakan semuanya. "Aku tak bisa menjawabnya meski ingin."
"Lupakan saja." (Y/N) terasa sangat nyeri dan memejamkan matanya. Jemarinya bermain di atas kepala Erwin.
"Tidak. Aku tak bisa melupakannya— Bagaimana bisa aku melupakan kesalahanku— Aku... Benar-benar tak bisa menjawabnya sekarang, karena situasinya sedang rumit, (Y/N)." Senyumannya pudar, gelisah. "Kumohon, jangan seperti ini."
Ia memandang wajah malang itu dengan perasaan hampa dan tak bersuara— Dia sudah tahu sejak awal. Tapi dia terlalu egois untuk mengerti.
"Sungguh, maafkan aku." Pria itu menangis, air matanya menembus pakaian tidur (Y/N) dan membasahi kulitnya.
"Tunggu, kau menangis?" (Y/N) mengangkat pandangan Erwin dengan telapak tangannya. "Erwin?!"
"Biarkan aku begini, sebentar lagi." Nada manjanya meluluhkan (Y/N) seketika. "Jangan menghindar lagi. Kumohon. Kai boleh marah, tapi kembalilah. Aku tak bisa kehilanganmu, (Y/N)."
"A-Apa, sih?" Gadis itu memerah.
"Bahkan sejak malam itu kau enggan melihatku." Nafasnya gemetar. "Maaf aku mengecewakanmu."
"Maaf juga kalau aku tidak bisa mengerti perasaanmu, Erwin." (Y/N) terisak, melepas semua kesedihannya di atas kepala pria itu.
"Tidak, tidak. Ini bukan salahmu. Biarkan aku saja yang salah, oke?" Erwin bangkit, duduk seperti posisi semula. "Jadi, aku dimaafkan?"
"Bawel, kemarilah." Ia bergeser, memberikan sedikit celah supaya Erwin bisa berbaring bersamanya. "Kau pasti lelah setelah bertarung seharian, kemudian kau bukannya istirahat, malah merawatku." (Y/N) tersenyum samar.
"Tak apa, aku senang bisa merawat sayangku." Erwin memerah. Perasaanya jauh lebih baik dibanding sebelumnya saat melihat senyuman gadis itu kembali.
"J-Jangan gombal. Tidurlah, matahari belum terbit, Erwin."
"Iya. Aku menyayangimu."
"Jangan mengajakku berdebat."
"Baiklah, sayangku pasti lelah."
"Tidak juga."
"Kalau gitu, mau melepas lelah tidak?"
"Kau ini," (Y/N) terbatuk. "Besok saja, tubuhku masih lemas."
"Aku bercanda, kok." Erwin tersenyum. "Rasanya sudah lama sekali kita tidak seperti ini."
"Ya. Aku juga sedikit rindu saat-saat seperti ini."
"Sedikit? Tidak banyak sepertiku, dong?"
"B-Bukan begitu, Erwin!"
"Jadi, apakah banyak?"
"Lumayan."
"Seberapa banyak?"
"Selebar dunia ini."
"Sayangku, setelah terbentur jadi semakin lebay, ya."
"Aku bercanda."
"Berarti kau tak merindukanku?"
"R-Rindu! Jangan mempermainkanku, Erwin."
"Banyak?"
"Banyak."
"Kalau begitu, boleh aku menciummu?"
"Aku masih marah padamu."
"Yasudah."
"Kau menyerah? Laki-laki seperti apa kau ini, Erwin?"
"Terserah. Aku akan menciummu kalau kau sudah tidur saja."
"Ya, terserah."
"Kalau melakukan yang lain, boleh tidak?"
"Tidak sopan, kau akan dianggap maniak karena melecehkan seorang wanita yang sedang tidur."
"Jadi aku harus menunggumu bangun?"
"Tentu saja. Jangan menikmatinya sepihak."
"Oke, Kapten."
"Kapten? Terdengar konyol untukku."
"Kau kaptenku malam ini, (Y/N)."
"Berisik, lebay."
"Aku cium, ya?"
"Tidurlah. Jangan bawel."
"(Y/N), cium aku, sekali saja."
"Aku ngantuk."
"Ya. Tak apa. Aku yang akan menciummu. Tidurlah."
"Selamat malam, Erwin."
Mereka merebah tanpa kata, melampiaskan rasa lelahnya masing-masing. Sampai beberapa menit berlalu, (Y/N) kembali menutup matanya, dan Erwin tak berkedip saat melihat wajah tidurnya, sedikitpun.
"Cantiknya, dasar manusia kecil keras kepala." Gumam pria itu seraya bangkit, pandangannya tak bisa lepas. "Tahu tidak, aku sangat merindukanmu? Dasar tukang marah-marah."
"Selamat malam, Nyonya Smith." Erwin membatin, tertawa samar, berusaha tak membangunkannya. "Sial. Aku ngelantur apa, sih?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top