Dua Puluh Delapan: Hello, Mother

"Huh?" (Y/N) terbelalak. Baru saja tiba di atas Dinding, ia langsung disambut oleh Bertholdt yang tiba-tiba berubah menjadi Titan Kolosal.

Ia tak terkejut. Orang-orang Erwin pun tidak. Bahkan tidak dengan Jean dan Mikasa. Hanya ada satu anak yang histeris melihat pemandangan itu. Connie Springer.

"Menyedihkan sekali." Bisik salah seorang Prajurit.

Mengenaskan, Ymir yang berada di tandu tengah tak sadarkan diri dan salah satu Prajurit yang menjaganya ditelan hidup-hidup oleh bocah Hoover itu.

Saat mata Kolosal Titan menemui (Y/N) yang tengah memelototinya, seketika ia melemah, dia lemah karena ekspresi yang terpancar dari gadis itu, ekpresi yang seolah-olah ingin membunuh. Di bawah mereka, Titan Zirah nyaris dilumpuhkan oleh Titan Eren. Namun Bertholdt menjatuhkan dirinya dan menelan kedua Titan itu. Licik.

"Eren!" Sorak (Y/N) berusaha bermanuver, namun ia merasakan seseorang menariknya dari belakang.

Dia terjatuh ke tempat berpijaknya. Apakah terror ini sudah berakhir? Pikirnya. Namun dia teringat satu sosok lagi. Titan berbulu, pembunuh Mike, penerobos Dinding Rose.

"Kita baru saja mulai." Ucapnya selagi Erwin membantu bocah itu bangkit.

"Ya," Pria itu setuju, lantas mengangkat tubuhnya. Mendekapnya erat. "Kau baik-baik saja?"

"Aku baru sampai disini saat Bert— Kolosal menjatuhkan dirinya." Ia menghela nafas. "Bocah itu.. Apa yang dia pikirkan?"

"Semua orang bisa mengkhianati siapa pun," Perkataan Erwin seakan ia mengutipnya ulang. Deja Vu.

"Jadi, apa rencana kita sekarang?" Tanya Levi.

"Kau akan terus bersama Pastor Nick untuk sementara waktu, Levi. Dan (Y/N), kau akan bergabung dalam misi ini." Jelasnya, berberat hati.

"Baik," Balas kedua anak itu, menuruti sang Komandan.

Hanji yang cedera mengerang, dalam posisi telungkup, ia membentang peta Dinding Maria. Jemarinya berpetualang di atas peta nan luas itu, kemudian berhenti di Hutan. Pepohonan raksasa. Tempat (Y/N) kehilangan segalanya.

"Kemungkinan besar mereka akan berada disini. Karena meskipun mereka mampu berubah menjadi Titan, mereka juga terancam oleh para Titan liar lainnya yang akan mengejar. Setelah pertempuran ini, mereka pasti cukup kelelahan walau tidak seperti Eren. Kita asumsikan tujuan kedua mereka terletak diantara Dinding Maria, ditambah fakta bahwa mereka tidak punya cukup tenaga untuk melarikan diri cukup jauh, sudah seperti itu mereka seharusnya mencari tempat istirahat dimana para Titan tidak dapat menggapai mereka." Jelas Hanji panjang lebar.

"Tunggu apa lagi? Kita hanya punya waktu hingga matahari terbenam. Bersiaplah." Tegas Erwin.

"Maaf aku tak bisa bertarung bersama kalian."

"Serahkan saja padaku, Ibu Tiriku." (Y/N) menyeringai.

"Itu baru Anakku." Ia tertawa lebar sebelum Levi dan yang lain menyeretnya.

***

Erwin, (Y/N), dan legiunnya memisah dari barisan, Hannes memimpin barisan yang berisikan Pasukan 104 dan beberapa Pasukan bantuan, kiriman Komandan Dot Pyxis.

Disitulah Reiner, mendekap Bertholdt dan Eren dengan kedua tangannya. Seakan ia menahan kedua orang itu dengan seluruh nyawanya. Diantara mereka, seluruh Pasukan 104 tengah membujuknya, sedangkan Erwin dan (Y/N) sibuk memancing Titan, berputar arah untuk menghadang Reiner dari depan.

"(Y/N), apa ini akan berhasil?" Tanya salah seorang prajurit.

"Mungkin bisa. Setidaknya untuk mengulur waktu. Kali ini kita percayakan saja pada Mikasa, dia akan melakukan apa pun demi Eren."

"Baik."

"(Y/N)!" Teriak Erwin, jemarinya menunjuk ke arah seekor Titan kelas Abnormal berukuran enam belas meter yang mengejar gadis itu. Pemandangan yang sangat.. Awkward. "Dia yang kau cari selama ini."

"Huh?" Mata (Y/N) terbelalak. "Apa?"

"Dia Titan yang membunuh ayahmu—" Sebelum Erwin sempat melonjak untuk menyerang Titan itu, (Y/N) dengan sigap bermanuver dan menempel pada sang Titan. Suara erangannya sangat keras, namun gadis itu tak menghiraukannya.

Erwin dan para prajuritnya seketika terkesiap, tak menyangka pemandangan yang barusan disaksikannya. Titan itu.. Menjinak.

"Hai, bu." (Y/N) gemetar, hampir jatuh. "Aku tak tahu, asal menduga saja, tapi aku percaya, kau pasti Ibuku."

Titan itu merunduk, bahkan seekor titan liar pun bisa menangis. Ia tak melanjutkan langkahnya, seakan waktu berhenti berputar namun dunia di sekelilingnya terus berjalan.

"(Y/N), apa yang kau pikirkan?" Erwin menyusul gadis itu. "Yang lainnya, tetap pancing para Titan ini menuju Zirah! Komando barisan akan kulepas, menyerbulah secara berhamburan!"

"Baik, Komandan!" Prajurit itu menurut dan pergi berhamburan.

(Y/N) tak bergeming, berdiri di atas telapak tangan Titan sang Ibu, masih tak percaya tujuannya akan tercapai secepat ini. Bahkan wajah Titannya pun masih mirip seperti sosok manusianya.

"Kau tidak bertambah tua, bu. Padahal sudah enam belas tahun kita tak bertemu." Ia mengusap wajah raksasa itu, nyaris menangis, namun ia berjuang keras.

"(Y/N).." Erwin menghela nafas.

"Dia Ibuku. Yang membunuh Papa.. Adalah Ibu." Ucap (Y/N), mengeluarkan pedangnya. "Bukan begitu?"

Erwin merunduk. "Ibumu? Dia.. Titan? Jadi kematian Will.."

"Ceritanya panjang."

"Kalau kau tak ingin membunuhnya, sebaiknya kita turun. Di atas sini terlalu berbahaya, (Y/N)."

"Tidak. Aku akan tetap membunuhnya." Lirihnya. "Turunlah, Erwin. Bantu mereka."

"Aku takkan meninggalkanmu sendiri disini."

"Tak apa, aku akan baik-baik saja."

"Aku tetap disini sampai kau pergi. Jangan usir aku."

"Kau ini.. Kalau begitu, aku akan menyelesaikannya dengan cepat." Ia mengangguk.

"Ya."

"Ibu, aku akan membunuhmu, loh, apakah Ibu tak takut?" Sahut (Y/N).

Titan itu hanya memandanginya. Entah dikatakan apa, tapi dia nampak sedih.

Anak itu akhirnya terisak. Ia benci mengatakannya tapi, "Apakah Ibu sudah menyayangiku?"

... Sebuah kecanggungan yang mematikan.

"Maafkan Ibu."

"A-Apa?" Erwin tersentak. "Dia bisa bicara?" Titan liar biasanya tak memiliki akal. Namun entah bagaimana wanita ini melakukannya.

"Kenapa kau membunuh Papa? Kenapa kau lebih percaya orang lain?" Pedangnya sudah terkeker, siap menyerang kapan pun ia mau.

"Maafkan Ibu."

"Kenapa kau membenciku?"

"Maafkan Ibu."

"Apa kau ingin aku mati?"

"Maafkan Ibu."

"Apa kau ingin mati? Aku akan melepaskan penderitaanmu sekarang. Katakan sesuatu!"

"Kumohon. Lakukanlah." Akhirnya ia mengucap sebuah kalimat yang berbeda.

Gadis itu melemah, pijakannya nyaris goyah. Padahal sejak awal ia menginginkannya, namun saat ini, ia tak ingin melepaskan genggamannya.

"(Y/N), tolong." Nadanya begitu lembut, tak seperti terakhir kali.

"Jawab pertanyaanku, bu. Apakah Ibu mencintaiku?"

"Tidak."

(Y/N) melompat ke tengkuk leher Titan sang Ibu. Memeluknya beberapa kali seraya menjerit, terisak, meragu. Walaupun Ibunya sudah jelas tidak mencintainya, dia tetap mencintai sang Ibu tanpa terkecuali. Tekadnya runtuh, seolah dunianya pun ikut runtuh bersamanya.

"Dengarlah, (Y/N), kau sudah sekuat pria itu— Papamu— Bahkan lebih kuat darinya. Meski aku tak mencintaimu, kuakui bahwa aku bangga padamu."

"Sial. Jangan membuat hal ini semakin sulit untukku." Ia menyembur tangis. Kemudian mengayunkan pedangnya. Satu irisan, maka semua tujuannya tercapai. Wanita itu akhirnya.. Mati di tangan putrinya.

"Hutangmu sudah lunas."

"(Y/N)—"

"Aku baik-baik saja, Erwin."

"Tidak. Tapi kau akan baik-baik saja." Erwin menangkap gadis itu, sedangkan sang Ibu terkapar, Ia telah menebus dosanya.

"Kita berhasil!" Jerit Jean pada mereka. "Komandan, Eren sudah aman!"

(Y/N) tak berekspresi di atas kudanya, wajahnya pucat, gemetar. Dia berusaha menahan amukannya dalam-dalam, hingga nyaris memeledak. "H-Huh.." Ia menghela nafas, air matanya tumpah.

"Semuanya mundur! Kita sudah selesai!" Erwin menembak Signal-Flarenya, berwarna biru, pertanda untuk mundur. Kemudian disusul dengan asap warna kuning. Menandakan Misi telah berhasil dilaksanakan.

"Hidup akan semakin rumit mulai saat ini, Erwin." (Y/N) mengangkat pandangannya.

"Serumit apapun itu, ada aku. Kau tak akan sendirian. Kau akan baik-baik saja."

"Sesuatu yang lebih besar sudah menunggu."

"Benar. Ini baru awalan saja," Erwin menarik tubuh gadis itu, gemetar. "Aku akan berjuang keras. Untuk Umat Manusia, juga untukmu."

"Aku..."

"Bertahanlah, sayang."

"Ya."

"Kau sudah menunjukkan kekuatanmu hari ini. Kau sudah berjuang keras. Tak apa."

"Terima kasih."

"Ayo kita pulang,"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top