21. Keluarga

Di akhir pekan, kami memutuskan menonton film bertemakan keluarga, sepanjang adegan hampir semuanya adalah cerita sedih yang membuat banyak orang menangis di dalam bioskop, termasuk gadis itu. Sesekali aku memperhatikan dia, bertanya-tanya apa yang membuatnya sampai berderai air mata seperti ini.

Saat film selesai, kulihat dia menarik napas panjang dan menghapus air mata sembari berkomentar, film yang sangat luar biasa menyentuh katanya, kemudian menatapku sembari tersenyum.

"Kau ternyata kuat menonton film sedih ya, Toji?" tanya dia, menatapku sembari kami melangkah keluar dengan santai dan bergandengan tangan.

Aku sedikit memikirkannya, bukannya aku tidak menyimak dua jam dari isi film, hanya saja aku tak terlalu merasakan emosi apa-apa ketika menontonnya. Aku tak tahu, aku kira hal-hal seperti itu biasa aja, anak yang dibuang, kemudian luntang-lantung di jalan, berjuang untuk hidup dan akhirnya sukses, kemudian ingin bertemu orang tua dan memaafkan kebusukan mereka. Walau sedikit mirip dengan kisahku, aku tak merasa bahwa hak itu menyentuhku. Lebih tepatnya, mungkin aku tak terlalu peduli untuk kisah fiksi seperti ini.

"Kupikir karena aku tak menganggap film itu nyata, jadi aku merasa tak perlu menangis untuk itu."

Dia mengangguk-anggukkan kepala.

"Benar, mungkin karena fiksi, tapi mungkin juga karena aku gampang terbawa suasana, ya."

Aku tersenyum saat melihatnya tertawa kecil.

"Mungkin juga karena aku pikir dia bodoh, memaafkan keluarga yang membuangnya." Aku terkikik kecil, kurasakan dia menggenggam tanganku erat dan mengelus punggung tanganku pula.

Tentu aku menceritakan bagaimana penghuni klanku memperlakukan aku dengan biadab dan tak memperlakukanku seperti keluarga. Kulihat ia dengan alis terangkat, sekarang gadis itu memeluk lenganku dan sepertinya ikut sedih.

"Tak perlu dipikirkan, aku sekarang bahagia bersamamu."

"Tetap saja, Toji."

"Keluarga, ya, aku sudah tak apa-apa sekarang, sudah biasa saja, jadi tenanglah, jangan khawatir." Mengeratkan genggaman tangan, aku tersenyum untuknya.

Kupikir semuanya sudah tak kupedulikan lagi, rasanya biasa saja. Walau aku masih memiliki ayah, kadang aku menganggapnya tak lebih dari orang asing dari klan terpandang. Mungkin lebih baik seumur hidupku aku tak tahu kalau aku mempunyai ayah.

.
.
.

BAB XXI
TAMAT
.
.
.

30DWC DARI NPC HARI KE21.

TUGAS: Akhiri cerita dengan kalimat seumur hidupku aku tak tahu kalau aku mempunyai ayah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top