Stoddard belum sempat menikmati liburan bersama pamannya di sungai Amazon. Ia tiba di Leticiaㅡibu kota Amazonas kemarin malam dan tidak bisa tidur ketika melihat sesuatu di laptop yang tidak membuatnya nyaman. Kamera-kamera kecil yang ia sambungkan ke komputer di kamarnya itu ia hubungkan lagi di laptopnya sehingga ia bisa melihat segala kegiatan Jayㅡ termasuk bercinta dengan Vardo. Sialan, ia mengumpat ketika pagi berikutnya melihat keduanya melakukan hal yang sama. Dua kali, mereka melakukannya Stoddie, dua kali. Dua kali adalah kata-kata yang terus Stoddard ulang dan ia terlalu marah hingga saat itu juga ia memutuskan untuk kembali ke Peru selagi ia belum bersiap diri untuk pergi sungai terbesar kedua setelah sungai Nil tersebut.
Tapi Peru mengalami badai besar memaksanya harus menunggu penerbangan yang aman dan tiba di Lima dua hari kemudian. Hal pertama yang ia lakukan adalah, ia melihat seluruh rumahnya yang kosong. Tidak ada Archil juga di sana. Namun seluruh perhatiannya saat ini pada kamera-kamera kecil yang ia letakkan di tempat tersembunyi. Ia marah dan cemburu dengan hal yang ia lihat melalui laptop, Stoddard berpikir untuk membuang kamera-kameranya tapi hal berikutnya ia menahan napas ketika benda-benda itu tidak ada di sana.
Dengan cepat ia memikirkan nama Vardo. Wanita itu mungkin menyadari kameranya dan berpikir ia adalah pelakunya. Maka segera Stoddard pergi menuju lantai duaㅡmelihat komputer di kamarnya.
Stoddard membuka kamarnya memastikan Vardo sama sekali tidak merusak kunci dan menggantinya dengan yang baru. Ia membuang napas lega karena kamarnya masih dalam keadaan yang sama terakhir kali ia meninggalkannya.
Stoddard melihat komputernya dan segera menghapus semua data Jay yang ia miliki, video, foto, dan rekaman suara pria itu di telepon. Ia tidak akan melihat siapa orang yang mengambil kameranya melalui rekaman terakhir. Tidak ada waktu baginya untuk itu, jadi ia menghapusnya. Segala hal termasuk pria itu Stoddard hapus. Tapi ia hampir terjatuh dari kursinya saat Vardo bersiul di depan pintu kamarnya yang terbuka.
"Kapan kau tiba, Stoddie?" Vardo bertanya dengan nada tenang seperti biasa. Mata birunya melihat data yang sedang dihapus Stoddard dan ia sangat tahu apa itu. Bukti-bukti ada di sana, tapi ia tidak akan mendebat soal itu.
"Aku yang seharusnya bertanya begitu. Ini rumahku." Stoddard mencoba untuk mendominasi dengan kata-katanya.
Tapi Vardo tidak terganggu sama sekali. "Sekaligus kantor." Wanita itu menambahkan. "Dan bukankah kau tengah berlibur, Stoddie?"
Stoddard tidak lagi melihatnya dan menghapus data lain yang ada di laptopnya sekarang. "Ini kali pertama aku melihat kamarmu terbuka," kata Vardo kemudian yang tidak direspon oleh pria itu. Tapi ia terus berbicara. "Kamarmu terlihat sangat normal, Stoddie. Mengapa kau selalu menguncinya? Apa kau menggemari sesuatu yang membuatmu enggan menunjukkannya kepada orang lain?"
Kembali tidak ada jawabanㅡsetidaknya sampai Vardo melangkah masuk ke kamarnya. Stoddard melihatnya dan berkata, "Aku tidak mengizinkanmu masuk. Singkirkan kakimu dari sana."
"Hari ini kau sangat tempramen." Vardo kembali memundurkan langkahnya. Bersandar di sisi pintu dengan kedua tangan terlipat. "Apa karena kami merepotkan sehingga kau membatalkan liburan bersama pamanmu?"
"Keluar, Zarein."
"Aku ingin melihat-lihat kamarmu."
"Keluar, Zarein. Aku sangat yakin albinomu sama sekali tidak mengurangi fungsi telingamu."
Vardo mengerutkan dahinya dalam beberapa detik hanya untuk terkejut dengan kata-kata Stoddard kepadanya.
"Selain tempramen kau sedikit menyebalkan hari ini."
Ya, hanya kepadamu. Stoddard mendengus. Memperhatikan kemeja tipis yang sama sekali tidak menutup dalaman wanita itu yang berwarna hitam. Ia semakin menggertakan gigi-giginya ketika mengingat jejak-jejak bibir Jay di tubuh itu. Sialan, ia mengumpat untuk kesekian kalinya dan mencoba untuk melihat kembali layar laptop. "Keluarlah. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan orang-orang." Terutama kau.
"Apa kata-kataku sebelumnya menyakitimu?" tanya Vardo dengan nada enteng. Sama sekali tidak merasa bersalah karena telah menyinggungnya. Dan tidur bersama pria yang ia sukai.
"Hanya hari ini aku tidak ingin melihatmu."
Vardo tidak lagi berbicara dan Stoddard berpikir wanita itu kesal lalu meninggalkan ia sendiri. Tapi pada detik berikutnya Vardo berdiri di depannya, membungkuk untuk menyamakan pandangan mereka dan mencium bibirnya dengan liar.
Segera Stoddard mendorong Vardo hingga terjatuh. Keduanya terdiam di tempat masing-masing, sampai Vardo menyeringai. "Kau ingin merasakan bibirnya, 'kan? Pagi tadi aku menciumnyaㅡkami berciuman lebih tepatnya. Aku dengan cepat ke sini, memastikan angan-anganmu yang kau tuliskan pada dinding kotor itu terpenuhi."
Tidak membiarkan wanita itu berdiri, Stoddard menyeretnya keluar dari kamar. Ia memaksanya berdiri lalu menghimpitnya pada dinding. "Sampai mana saja kau mengetahuinya?"
"Setidaknya tidak dengan kamarmu."
"Aku akan mempermudahㅡberitahu aku apa yang kau inginkan dari semua ini."
"Kau keluar dari tim."
Stoddard tidak yakin dengan pendengarannya sendiri. "Apa?"
"Kau keluar dari tim." Vardo mengulang. "Perilakumu tidak sehat untuk berada di sekitar kami. Aku akan mengatakan ini padamuㅡkau tidak normal Stoddie, kau sakit."
"Perasaanku yang menyukainyaㅡmenurutmu aku sakit?"
"Caramu yang salah. Obsesimu itu lebih tepatnya. Kau sakit, Stoddie. Keluarlah dari tim, pergilah untuk mengobati dirimu sendiri."
Kata-kata Vardo menyakitinya, tapi ia tidak menangis jangan terlihat kau akan menangis, Stoddie. Ia menunduk untuk mengatur napasnya yang pendek lalu memberikan dirinya dan wanita itu jarak. Stoddard melangkah mundur dan kembali masuk ke kamarnya dengan pintu terbuka.
"Aku tidak sakit, Zarein."
"Tidak ada orang sakit yang mengakui kalau ia sakit."
"Jelaskan padaku hal mana yang membuatku terlihat demikian?"
Untuk sesaat keduanya hanya saling melihat satu sama lain dan Vardo mendesah dengan gestur melipat kedua tangan.
"Aku menemukan tempatmu di loteng. 'Bagaimana rasanya jika aku di dalam dirinya? Aku ingin mencium tiap bulir keringatnya. Aku ingin mendengar ia meneriakkan namaku. Aku ingin melihat ia mengerang, memerah gairah karenaku. Hanya aku.' Hanya sebagian yang sanggup kubaca," kata Vardo. "Tulisan di dinding itu menceritakan segalanya, cairanmu pada permukaan foto-foto Jay menjelaskan lebih banyak obsesimu, lalu kamera-kamera itu ... dengar, aku tidak bisa membayangkan hal buruk apalagi yang kau lakukan lebih dari ini. Tapi cukup. Hentikan semuanya dan keluar dari tim."
"Benar rupanya, kau yang mengambil kamera-kamera itu."
"Aku tahu tiap posisinya. Tapi bukan berarti aku mengambil barangmu. Seinci pun tak kusentuh milikmu."
"... kenapa kau tak mengambilnya?"
"Karena aku berharap kau bisa memperbaiki apa yang salah," kata Vardo. "Aku masih melihatmu sebagai temanku, tapi sulit untuk tidak menyingkirkan rasa mual ketika mengetahui ini semua."
"Aku menyukai Jay, Zarein. Kau harus melihat dari sisi yang sederhana itu."
Vardo diam sebentar dengan desahan napas panjang. "Sederhananya adalah, kau cukup menyukainya saja tanpa memantaunya, mengganggu privasinya, mengambil gambar dirinya diam-diam, menyemprotkan cairanmu di fotonya, menuliskan hal erotis yang kau bayangkan di dalam kepala pada dinding itu seperti list yang akan kau lakukan di kemudian hari. Manusia tidak lepas dari nafsu, Stoddie. Tapi yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya adalah, hal-hal seperti itu bisa kita kendalikan, kita sangat mengerti konsekuensi yang akan menghampiri jika itu direalisasikan. Apa aku mendapatkan pemahamanmu sekarang?"
"..."
Vardo meneruskan dengan ultimatumnya. "Kalau kau tidak ingin keluar maka aku dan yang lainnya yang akan keluar dari tim. Ya, aku akan mengatakan kepada mereka semua mengenai ini. Ya, aku akan membiarkan mereka melaporkan ini kepada polisi. Dan tidak, aku tidak akan membantumu sama sekali. Putuskanlah mana yang kau pilih."
"Tidak ada yang keluar. Itu keputusanku."
Vardo ingin menyudahi pembicaraan mereka dan meninggalkan rumah ini. Tapi kata-kata Stoddard terdengar menyebalkan di telinga sehingga ia membalas yang sama. "Sudahkah kukatakan kalau kau telah gagal menahan birahimu itu? Daripada manusia, kau sekarang lebih mirip binatang." Dan semestinya ia tidak mengatakan demikian, karena berikutnya Stoddard menghajar rahangnya hingga tubuhnya terjatuh.
"Menyebut diriku binatang, padahal dirimu sendiri persis jalang. Melihatmu dari kamera itu saja sama sekali tidak akan membuat siapapun bergairah, bangsat." Stoddard menarik rambut depan Vardo dan kembali menyeretnya di sepanjang lorong. Ia mengabaikan ronta tidak berguna wanita itu ketika menuruni anak tangga. Kemudian menghantam kepalanya pada dinding kayu sebelum ia melepasnya.
Stoddard memperhatikan Vardo meringkuk kesakitan luar biasa di antara bibirnya yang menjerit. Ia menunduk, lalu mencengkram dagu wanita itu. "Kubiarkan kau berlagak dalam tim ini, tapi kau malah menjadi sombong. Seolah tokoh utama. Kau bukan satu-satunya pemain boneka di dunia ini, sialan. Jika kau kulenyapkan saat ini juga, tim tidak rugi. Dunia tidak peduli."
Di antara kepalanya yang terasa sakit luar biasa, Vardo bisa merasakan darah terkumpul di dalam mulutnya. Hangat dengan rasa besi. Mata Stoddard yang memandangnya penuh amarah jijik membuatnya tertawa. "Apa kubilang ... kau sakit, Stoddie," katanya setengah parau bersama deretan rapi giginya penuh darah.
Pria itu membiarkan Vardo meludahi wajahnya. "Bunuh saja aku sekarang. Lenyapkan tubuhku ... bakar. Jangan tinggalkan jejak. Lebih baik begitu ... lebih baik daripada aku harus bekerja di sini setiap hari ... menghirup udara bercampur mani milikmu."
Stoddard berdiri, tubuh Vardo masih merintih di bawah sana. Satu kakinya mampu membuat wanita itu memuntahkan darah dari mulutnya yang menjijikan. Sekali, dua kali, berkali-kali Stoddard menginjak bagian yang sama. Jeritan tertahan wanita itu bagai binatang ternak. Memuakkan. "Seperti ini juga caramu meneriakkan namanya?" Lalu dengan satu hantaman kaki pada rahang, wanita itu tidak bergerak.
Kemudian ia memikirkan hal lain.
Di antara napas tipis, tubuh yang sudah membisu menarik Stoddard untuk melihat sesuatuㅡsesuatu yang ditinggalkan oleh Jay di sana. Ia membuka kasar kemeja yang dipakai Vardo dan melepas paksa pakaian yang menutup dadanya.
Stoddard memperhatikan bekas-bekas itu. Kulit pucatnya berhamburan memar bagai kelopak mawar. Pinggang tercetak jari-jari panjang khas pria. Tajuk dada menunjukkan lebih banyak warna ranum tak lupa bekas gigitan tipis. Ia ingat bagaimana Jay memberikan tiap jejak ini. Lembut, tidak terburu, setiap inci disentuh penuh perasaan, kehati-hatian. Tangan-tangan gemetar menahan adrenalin ingin menguasai penuh keagresifan. Stoddard mengingat wajah pria itu menghamba, memuja tubuh sialan ini seolah wanita terakhir di muka bumi. Kedua kaki terbuka, tubuh Jay ada di sana. Stoddard menutup mata, tidak sanggup mengingat lebih dari itu.
Ada pemantik di sakunya.
Ia menyalakan satu rokok, dihisap dua kali. Lalu memilih di antara kelopak mawar itu mana yang menurutnya paling disukai Jay. Matanya jatuh pada sudut di dekat pusar.
Stoddard menyentuh dengan jarinya lebih dulu, permukaan mulus ini membuatnya mengernyit. "Mengapa wanita menginginkan kulit seperti porselen? Bukankah itu menjadikannya lebih mirip patung daripada daging hidup? Ada apa dengan konsep pemikiran kalian?" Stoddard bertanya pada Vardo yang telah kehilangan kesadarannya. Lalu rokok itu ditekan hingga mengerucut. Darah kental mengalir dari permukaan kulit melepuh. Ia memasukan satu jarinya di sana, melesak kasar sehingga darah lebih banyak keluar. "Seharusnya aku yang merasakan semua jejak-jejak manis ini, seharusnyaㅡ"
"Seharusnya aku menyadari kejanggalanmu dari awal!" Stoddard tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena pada saat itu Archil menghantamnya dengan kamera-kamera kecil miliknya. Domna menyusul di belakang berteriak ketika menemukan Vardo begitu mengerikan di sana. Ia menangis panik, tangannya bergetar hebat selagi menutup tubuh wanita itu, lupa kalau Archil telah menyeret Stoddard ke halaman belakang, menghajar pria itu hampir mati.
Jay datang setengah jam kemudian. Tapi mobil polisi dan ambulans lebih dulu memenuhi halaman rumah.
*
A/n: sulit mencari visual Vardo yang pas (mengingat kondisi dia yang agak spesial) sampai akhirnya aku nemu yang hampir mirip (mungkin 70%) dengan penggambaran yang ada di kepala.
Silakan diskip kalau kalian nggak mau dirusak imajinasinya oleh penulis XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top