II. 2 | I Was Drowning In The Momentㅡ2011

Vardo Zarein adalah nama yang sangat asing untuk Jay yang sudah cukup lama tinggal di Peru. Bagaimana cara pengucapan namanya? Ia bertanya-tanya ketika melihat nama wanita itu tertulis di daftar hadir pada layar komputer dan baru saja melewati dirinya ketika selesai berbicara dengan staf yang ada di perpustakaan sastra. "Aku ingin mengembalikan materi ini," kata Jay pada staf tersebut.

"Ah, padahal aku masih ingat kau dengan kacamatamu itu masih mahasiswa baru. Sekarang sudah akan pergi saja dari kampus ini. Sama seperti Zarein."

Jay tersenyum. Bukan karena kata-kata staf itu padanya, melainkan bagaimana cara pengucapan nama Zarein terdengar unik di telinganya. "Tapi aku baru pertama kali melihatnya."

"Ia memang jarang hadir. Kau tahu beberapa mahasiswa di sini kebanyakan juga bekerja." Jay mengangguk.

"Aku jarang melihatmu di sekitaran kampus sekarang. Apa kau sudah menemukan tempat kerjamu?" tanya staf itu lagi.

"Ya." Jay tersenyum sekilas. "Tapi jam kerjanya longgar, jadi upahnya menyesuaikan. Yah, setidaknya ada pemasukan sedikit."

Staf itu tertawa lalu memperbaiki tata letak kacamatanya yang sedikit turun. "Zarein kemari mengembalikan materi sama sepertimu. Ia juga bercerita kalau tempatnya bekerja membutuhkan seorang desainer boneka. Aku ingin merekomendasikanmu, tapi tidak enak rasanya jika kau tidak tahu lebih dulu soal ini."

Jay melihat raut wajah staf itu sedikit gugup, dan menunggunya menyelesaikan kata-katanya. "Kadang aku bingung kenapa kau meminjam buku sastra, atau dongeng di departemen ini. Lalu aku menyadari kalau kau suka mencari inspirasi dari buku-buku itu. Ya, aku tahu kau sering menggambar, dan tidak jarang aku melihatmu tertidur bersama dengan lembaran sketsa di sudut meja. Maksudku, gambaranmu luar biasa. Anatomi yang kau buat, atau pemandangan desa yang terlihat nyata hanya dengan coretan pensil. Aku bertanya-tanya kenapa kau mengambil multimedia ketika kemampuanmu ada di seni."

Jay menggosok bawah hidungnya sedikit malu pada kata-kata pujian yang tersirat itu. "Aku tidak berpikir untuk menjadikan hobiku sebagai pekerjaan. Tapi terima kasih sudah bersikap untuk tidak tahu dengan apa yang kulakukan selama di sini. Aku mungkin tidak akan ke sini jika kau mengatakannya dari awal. Sebab, aku kurang percaya diri dengan kemampuanku."

Jay tidak berbohong. Ia mengakui kalau dirinya hanya bisa menggambar dengan sketsa pensil. Ia tidak memiliki waktu dan dana yang banyak untuk serius mengasah kemampuannya. Orangtuanya hanya pekerja biasa di bagian percetakan surat kabar, dan kedua adiknya yang masih bersekolah jelas lebih membutuhkan banyak biaya. Jadi ia berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa di salah satu universtas ternama di Lima dengan nilai-nilai yang harus selalu bertahan di posisi yang sudah ditentukan. Menggambar hanya ia gunakan sebagai pelariannya semata agar dirinya tetap waras.

"Zarein adalah pemain boneka kayu untuk teater kecil. Aku pernah datang ke pertunjukannya ketika halloween. Kupikir permainannya terfokus pada anak-anak, ternyata itu bisa dinikmati untuk segala usia. Besok ada festival budaya di taman kotaㅡparque de la familia. Zarein akan bermain bersama timnya di sana secara cuma-cuma. Kalau kau mau, aku akan menemanimu dan kalian bisa membicarakan mengenai kerjasama lebih jauh. Bagaimana?"

Ketika kerutan dahi Jay mengerut, staf itu menambahkan hal penting yang membuat dirinya tidak bisa menolak. "Tenang saja, Zarein itu seorang pekerja. Ia tahu bagaimana cara mengapresiasi pekerjaanmu. Tidak ada yang gratis di dunia ini, betul?"

Jay mengangguk. "Lagi pula besok adalah akhir pekan."

"Vardo Zarein."

Ah, begitu cara mengucapnya. Jay harus mengingat bagaimana cara wanita itu mengucapkan namanya sendiri. "Jay Yevgeny." Kedua alisnya sedikit terangkat ketika merasakan tangan wanita itu begitu kecil dan pipih ketika keduanya bersalaman. "Jay saja."

Vardo mengangguk. "Ester mengatakan kalau ia tidak bisa datang, anaknya tiba-tiba sakit. Apa kau menerima pesan itu darinya?"

"Ya. Ketika aku melihat pertujukan pembukamu, pesannya tiba." Jay sedikit kesal pada pesan staf itu. Ia tidak menyukai orang-orang yang membatalkan janji seenaknya. Tapi mengingat ini adalah kendala diluar kendali, ia harus mengerti keadaan staf itu yang  juga merupakan seorang Ibu. "Musim hujan memang rawan untuk anak-anak."

Kembali Vardo mengangguk. "Aku ke sini untuk menanyakan perihal tempatmu yang membutuhkan desain boneka. Kemampuanku tidak bisa dibilang bagus, tapi mungkin kau bisa menilainya dari sini." Jay mengeluarkan sketch book-nya dari tas punggung yang ia bawa kepada Vardo. Ketika wanita itu menerimanya dengan sedikit tertawa ia bertanya, "Kenapa?"

"Aku berpikir kau akan mengirimnya lewat surel." Vardo mengambil kursinya untuk duduk di depan Jay, dan membuka halaman demi halaman. Wanita itu tidak menyadari kalau dirinya telah membuat Jay meniliti setiap pahatan garis wajahnya. Rambut putihnya dikuncir satu ke belakang, membiarkan anak-anak rambutnya secara ringan terbang mengikuti arah angin. Jay mulai memikirkan cat yang cocok untuk warna mata biru wanita itu. Sepertinya ia akan mulai menggambar dengan cat warna secara perdana nanti malam. Ia harus meminjam cat warna milik adiknya ketika mereka tidur.

Taman kota itu sangat luas dengan pinggiran pohon rindang berwarna hijau keemasan. Rumput-rumput hijaunya juga begitu menyegarkan mata ketika matahari sore menyinari. Banyaknya makanan, juga permainan yang dibuka di sana tidak membuat mata beberapa orang harus mengabaikan Vardo yang mencolok.

Di dalam jaket kulitnya, Vardo menggunakan kemeja hitam bersama celana jins dengan warna senada. Tapi orang-orang tahu kalau wanita itu sedikit berbeda. Sehingga beberapa mulai mengomentari.

"... kau akan melihat monyet putih arah jam tiga."

"... ia mencoba menutupi kulitnya yang mirip sabun itu dari matahari."

"... selain musuh matahari, mata mereka aneh. Kau tahu, bola mata mereka bergerak tidak terkendali dan itu sangat aneh. Penglihatan mereka juga buruk."

Itu sangat terdengar jelas di telinga Jay, mata hitamnya bergerak melihat Vardo yang tidak terganggu. Sepertinya Jay menerka kalau wanita itu sudah terlalu sering mendengarnya sehingga terlihat tidak terusik sama sekali. Kembali dirinya memperhatikan cara duduk wanita itu yang mirip Emma Sparreㅡsebuah lukisan wanita dari Swedia yang ia baca di perpustakaan sastra. "Alat tempurmu pensil, ya?"

"Ya." Jay tersenyum pada kata-kata kiasan wanita itu. "Aku tidak mengirim lewat surel, sebab aku tidak tahu ke mana harus mengirim, dan rasanya ini tidak terlalu bagus untuk dikirim lewat surel. Semua sketsa ini lebih baik dilihat langsung."

"Lagi pula yang dibutuhkan Stoddardㅡbosku, kemampuan anatomi untuk desain bonekanya." Vardo memperhatikan sketsa anotomi monokrom itu dengan usapan dagu. "Kau bisa menggambar secara digital?"

Jay menggeleng sedikit ragu. "Aku tidak pernah mencoba. Ada satu komputer di rumahku, tapi itu digunakan bersama dengan keluarga."

Itu membuat Vardo melihatnya sehingga mata mereka bertemu. "Kau anak multimedia, betul?"

Bahunya sedikit menegang ketika menemukan mata biru Vardo secara samar memantulkan dirinya di sana. "Y-ya. Aku hanya memiliki satu laptop dan itu kugunakan untuk kuliah. Jika kupaksakan untuk menggambar, sepertinya akan berat dan rusak. Laptopku keluaran lama," jawab Jay sedikit gugup.

Vardo menutup sketch book milik pria itu dan mengembalikannya. "Kita akan membahas urusan kerjasama ini setelah aku selesai dengan pertunjukan. Apa kau keberatan?"

Jay melihat jam tangannya yang menunjukkan empat sore. "Aku harus pulang jam sepuluh."

"Aku selesai jam delapan."

"Baiklah."

Vardo berdiri ketika rekannya memanggil dirinya untuk segera tampil. "Aku harus pergi sekarang." Tapi sebelum ia meninggalkan pria itu, ia mengeluarkan buku dari saku jaketnya lalu memberikan itu kepada Jay.

"Tulis peralatan apa yang kau butuhkan untuk menggambar di sana sekarang. Aku akan mencari bahannya untukmu."

"Untuk apa kau mencarinya?"

"Mengasah skillmu. Memangnya apa lagi?" Vardo mendengus. Ketika Jay selesai menulisnya ia merobek kertas itu dan memberikan buku saku miliknya untuk Jay. "Aku melihat potensimu akan bagus jika didukung oleh peralatan yang cukup. Tidak usah pikirkan biaya. Hitung-hitung ini bayaran kau telah meluangkan waktu untuk datang ke sini, dan menunjukkan karya-karya bagus itu kepadaku. Kau pasti sangat sulit memperlihatkannya kepada orang lain. Ester mengatakan kau pemalu dengan karyamu."

"Ah, sialan." Vardo tertawa pada kata-kata samar Jay yang dapat ia dengar. "Ya, Ester memang sialan," kata Vardo.

Ketika wanita itu telah pergi, Jay mengambil duduknya di kursi panjang yang terbuat dari kayu untuk penonton. Teater sederhana itu tirainya masih tertutup, tapi lampu-lampunya menyala, pertanda pertunjukan segera dimulai dan beberapa orang mulai duduk di kursi yang masih tersedia.

Jay melihat buku saku berwarna biru tua yang diberikan Vardo padanya. Sampul bukunya keras dan bertekstur. Ia mengambil stiker putih dan spidol hitam, kemudian menulis sesuatu di sana. Tangan kanannya terasa masih sakit karena akhir-akhir ini pekerjaannya cukup berat membuat jari-jarinya sedikit cidera. Dari Vardo, ia mendengus ketika melihat itu adalah tulisan yang paling buruk yang pernah ia tulis.

Lalu ia teringat tulisan buruknya pada kertas yang diambil oeh Vardo. Sekarang ia pasti sedang tertawa di belakang panggung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top