I. 4 | Signs, Omens, and Superstitions

Dengan kakinya, Vardo menyingkirkan makanan yang akan dimakan oleh pria itu. "Jangan makan itu, sialan. Apa kau tidak melihat itu sudah kotor?"

Vardo mengambil makanan kotor itu dengan jijik dan membuangnya di tempat sampah. Ia mendengarkan suara murka pria itu padanya. "Aku tidak makan selama dua hari. Dan kau membuang satu-satunya makanan yang aku punya!"

"Dua hari?" Vardo melihatnya dengan mata menyipit. Ia sangat ingat kalau kemarin ia mengatakan kepada Ferah untuk memberikan priaㅡyang terobsesi pada film fiksi ilmiahㅡitu uang makan. "Apa tidak ada yang memberimu uang kemarin?"

"Ada. Wanita bertubuh besar. Tapi uangku diambil oleh orang-orang berengsek."

Vardo diam sebentar. Persaingan tikus got rupanya. Pinggiran Tbilisi adalah sarang besar orang-orang yang mencari makan di jalanan utama pada malam hari. Biasanya mereka tersembunyi di sela-sela bangunan hotel tua, atau gang-gang kecil. Sangat wajar jika mereka saling merebut makanan atau uang satu sama lain sebab ada hukum tidak tertulis di sana. Yang lemah akan diinjak. Yang kuat akan memimpin.

Vardo menerka kalau pria itu sepertinya keluar dari sana dan memutuskan untuk tidur di mana saja selama tidak ada orang-orang berengsekㅡsesuai yang pria itu katakan.

"Mau pesan itu?" Vardo menunjuk kedai makanan tepat di seberangnya. Dan pria itu meliriknya. "Kau yang bayar?"

"Ya."

"Kau tidak akan menipuku?"

"Apa wajahku terlihat seperti sedang menipumu?"

"Kau menggunakan masker, dan topi."

Vardo kehilangan kata-katanya sebentar.

"Kenapa kau berpikir kalau aku demikian?"

"Sebab aku pernah dikerjai oleh pemuda lain. Mereka mengatakan sama persis denganmuㅡjuga cara berpakaiannya. Dan ketika aku telah memesannya, mereka kabur tanpa membayar. Laluㅡ"

Vardo tidak ingin mendengarkan kelajutan cerita yang ia telah ketahui bagaimana akhirnya. Dihajar, tentu saja pria itu pasti dihajar oleh penjual makanan. "Kita pesan bersama. Aku juga belum makan malam," kata Vardo.

"Gigo Zurab." Vardo melirik saat pria itu mengenalkan dirinya. Ketika mereka telah mendapatkan makanan dan minuman, mereka memutuskan untuk duduk di tangga-tangga gelap dimana hanya lampu remang-remang yang meneranginya. "Panggil Gigo saja."

"Vardo Zarein."

"Aku tahu wajahmu. Kau ada di mana-mana. Aku juga tahu kau menoton film fiksi itu," kata Gigo padanya. "Kau pikir aku orang gila yang menanyai hal itu tiba-tiba?"

Vardo mendengus tapi ia menyeringai. "Aku tidak akan meminta maaf soal itu."

"Aku melihat poster baru di depan gedung utama Opera. Tentura, kau menggunakan nama planet itu pada pertunjukanmu kali ini."

"Ya. Awalnya aku tidak menemukan ide untuk membuat judul. Tapi ketika kau datang dan mengatakan soal tentura, kupikir itu ide yang bagus."

"Kalau begitu, makanan ini adalah terima kasihmu padaku?"

"Aku kasihan melihatmu mengais sampah." Vardo melihat Gigo yang begitu lahap memasukan roti isi daging babi itu ke dalam mulutnya. "Aku masih tidak percaya kau dulunya adalah seorang jurnalis," kata Vardo ketika pria itu telah menelan makanannya dan mengingat sedikit cerita bahwa pria itu pernah menjadi jurnalis.

"Masa lalu." Gigo meminum air yang dibeli oleh Vardo dan bersendawa sebentar. "Aku kehilangan anak dan istriku pada kecelakaan pesawat. Narkoba adalah jalan satu-satunya yang membuatku bahagiaㅡdulu. Sampai akhirnya aku ditemukan polisi, dan ibukuㅡorangtuaku satu-satunya murka. Ia mengatakan kalau aku bukan anaknya lagi. Ketika keluar dari penjara, aku kehilangan segalanya. Termasuk pekerjaan, dan rumah. Berakhirlah aku di jalanan."

"Aku sering melihat wajahmu di toko televisi. Tidak ada yang antusias pada film fiksi itu, tapi ketika aku melihatmu bercerita kalau kau juga pernah menontonnya, aku begitu penasaran jawaban dungu apa yang akan kau keluarkan jika aku bertanya 'berapa nomor planetmu di tentura'?"

Vardo tertawa. "Jawaban dungu." Ia mengulang kalimat itu dan kembali tertawa. "Aku tidak mengerti kenapa semua orang berkata demikian."

"Sebab jawabanmu terlalu spontan, terlalu realistis. Biasanya untuk sekelas bintang, jawaban indah memotivasi sudah menjadi template. Tapi kau justru menjawab seadanya seolah tidak ada orang yang mengajarimu berbicara bagaimana menjawab yang benar ketika di hadapan wartawan. Dunguㅡharusnya judul berita menulis Zarein si Dungu."

Vardo kali ini tertawa dengan satu tangan memegang perutnya. Ia mengangguk kemudian. "Sialan, seharusnya kau melamar pekerjaan lagi dan kembali menjadi jurnalis. Aku ingin melihat bagaimana caramu menulis tentangku."

"Sayangnya, aku memiliki catatan kriminal." Gigo tersenyum masam mengingat ia yang dulu begitu candu pada narkoba. "Tapi besok aku akan mencoba melamar di pabrik. Atau mengurus tanah pemakaman. Setidaknya yang kupikirkan saat ini adalah tempat untuk bernaung. Sarang tikus itu hampir membuatku gila."

"Tentu saja. Hanya orang yang benar-benar gila sanggup tinggal di sana." Vardo melirik jam pada ponselnya lalu memberikan sisa makanannya untuk Gigo kemudian berdiri. "Kau akan pergi sekarang?"tanya Gigo.

"Mana bisa aku berlama-lama dengan orang sepertimu." Vardo jelas menghinanya, tapi hal yang dilakukan wanita itu selanjutnya membuat Gigo terperangah. "Senang bisa berbicara denganmu, Gigo Zurab," kata Vardo selagi meletakkan syal miliknya pada leher pria itu yang tidak ditutupi apapun.

Ketika Vardo meninggalkannya, Gigo berdiri dan berteriak, "Kuharap kita bisa bertemu dengan benar. Dengan keadaan hidupku sudah lebih baik."

"Tbilisi menarik karena sejarah yang panjang, pemandangan yang kontras dengan sejarah, dan semua bekas luka yang terlihat atau tidak. Karena potensi untuk pertumbuhan dan perubahan, orang-orang ...." Jay Yevgeny berhenti mendengarkan suara pada televisi yang terdengar hingga di dalam ruangannya. Matanya bergeser menemukan Vardo kembali dua minggu kemudian dengan raut wajah yang sama.

Ia terlihat berbicara dengan Gurah kemudian dua orang itu mendekati dirinya. "Apa kau akan menjual boneka ini?" tanya Gurah kepada Vardo.

"Tidak ada orang yang akan sanggup merawatnya, Gurah," balas Vardo. "Ia terbuat dari keramik, sangat rentan pecah. Aku akan menyimpannya di gudangku ketika pertunjukan sudah selesai."

Pertunjukan. Jay telah mengetahui kalau ia akan digunakan sebagai pertunjukan wanita itu lusa nanti. Gurah terus mengulang perkataan itu kepada semua pekerjanya dan selalu memuji bagaimana dirinya diciptakan. Jay telah melihat setidaknya puluhan pasang mata yang begitu takjub melihat dirinya, dan ia akan mempersiapkan dirinya untuk menerima lebih dari ratusan mata tertuju padanya nanti.

Tapi daripada sedih karena ia akan mati di ceritanya sendiri, ia justru kecewa pada Vardo yang tidak melihatnya sama seperti yang lain. Mata wanita itu dari kali pertama sampai kepada saat ini selalu terlihat sedang memikirkan hal lain. "Atau aku akan mengembalikanmu ke Peru." Ia mendengarkan ucapan samar wanita itu di depannya. Membuat alisnya berkedut spontan karena ia tahu wanita itu sedang berbicara padanya.

Vardo yang melihat pergerakan itu memundurkan kepala. Kemudian dengan perlahan mendekatan wajahnya lagi kepada Jay. "Apa kau meletakkan sesuatu pada alisnya, Gurah?"

Gurah menoleh ketika ia sedang mengambil sepatu gunung untuk Jay. "Tidak. Alisnya memang dari awal sudah sempurna. Ada apa?"

"Oh, hanya saja aku ...." Vardo menaikkan satu alisnya lalu menyeringai. Menyadari sepertinya ia sudah terlalu lelah untuk segala persiapan pertunjukannya. "Lupakan," katanya pada Gurah.

"Berikan tanganmu." Vardo mendongak ketika Gurah memberikan ia sarung khusus berbahan kulit untuk ruas-ruas jarinya dipertunjukan nanti. "Ini akan mengurangi rasa sakit pada jarimu. Kalau bagus, aku berniat untuk memproduksinya dalam jumlah banyak."

"Kau menjadikanku pasarmu?"

"Kita bertemu karena itu, betul? Aku melihat peluang, maka akan kugunakan." Wanita itu kemudian berdecak dengan memutar kedua bola mata pada kalimat Gurah.

Pada malam puncak natal ortodoks, orang-orang berkumpul untuk memotong dahan-dahan pohon oak dan dibakar di dalam api unggun di depan gereja atau rumah dengan kepercayaan turun temurun mereka yang telah adaㅡapi yang dipercaya menghangatkan semua orang dengan cinta dan harmonis. Selagi Jay melihat semuanya dari jendela, Gurah dan seluruh pekerjanya begitu sibuk. Seolah natal ini tak lebih penting dari acara Vardo.

Tugas terakhir mereka malam ini harus membawa Jay bersama boneka lain dan pakaiannya ke gedung teater dengan aman. Gurah beberapa kali menegur anak buahnya ketika hampir menjatuhkan barang-barang penting. Saat mereka semua sudah siap, Ferah masuk ke dalam toko terengah-engah. Membuat semua orang bertanya-tanya.

Gurah melihatnya dengan alis mengerut. Kemudian menghampiri wanita itu.

"Seharusnya kau ada di teater sekarang. Bersama Zarein."

Ferah mencoba menenangkan diri walau wajahnya masih begitu merah akibat panik. "Zarein ...." Dan kata-kata wanita itu berikutnya membuat semua orang terdiam.

"Aku menemukan potongan tangan Zarein. Tapi tidak dengan tubuhnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top