I. 2 | Words Like Spider Bites
"Ferah, sebaiknya kau mengunyah itu semua di dapur."
Ferah melihat Vardo menatapnya jijik ketika ia melahap semua kue yang Vardo terima dari penggemar dan rekan bisnis mereka. "Kau mirip dengan babi." Vardo mendesah dan masuk ke dalam kamarnya.
"Kau sendiri yang menyuruhku menghabiskan ini semua, sialan." Ferah bergumam pada dirinya sendiri. Ia berdiri menyaksikan piringan besar yang telah kotor dengan kue-kue manis. Matanya bergeser pada kedua tangannya yang tersisa krim. Lalu mengumpat ketika ia memikirkan ulang ucapan Vardo padanya. Kau mirip dengan babi. "Sialan, aku juga tahu tubuhku besar. Tapi aku tidak berjalan menggunakan empat kaki seperti babi." Ferah mencuci tangannya dan mulai membersihkan kekacauan yang ia buat di kediaman Vardo.
Ferah adalah manajer Vardo yang telah bekerja untuk wanita itu selama lima tahun. Namun baru dua tahun ini pekerjaannya menjadi lebih banyak sebab jadwal Vardo terus bertambah. Ia tidak memiliki waktu untuknya sendiri sehingga tidur pada malam hari adalah satu-satunya yang ia punya.
Ketika ia melihat waktu longgarㅡbarang sedikit, ia akan pergi ke toko kue dan roti. Menikmati semuanya di taman sendirian bersama dengan teh lemonnya yang dingin. Lalu kembali ke tempat Vardo dan menerima hinaan dari wanita itu lagi. Padahal ia yakin, ia telah menata riasannya, membersihkan bajunya memastikan tidak ada sisa krim di wajah juga pakaiannya, tapi Vardo selalu mengetahuinya.
Ferah tidak pernah dekat melebihi rekan kerja dengan Vardo. Ia tidak mau mencoba, sementara Vardo secara nyata membuat batasan. Waktu mengikis itu secara perlahan dan ia sampai pada tahap ketika Vardo menghinanya, selama tidak ada serangan fisik, ia tidak apa-apa. Bagi Ferahㅡwanita berusia 35 tahun ituㅡserangan fisik akan sulit ditutupi dengan koleksi pakaiannya yang terbuka.
Ia telah terbiasa disamakan dengan binatang berkulit merah muda itu sejak kecil. Tubuhnya besar melebihi yang seharusnya. Kulitnya yang putih kemerahan, dan cara makannya yang berisik membuat semua orang jijik padanya. Saudara dan orangtuanya juga muak dan memukuli dirinya yang terus menghabiskan isi kulkas tanpa henti.
Ia pernah bekerja di pabrik pembuatan roti, kemudian dikeluarkan sebab gerakannya yang lambat. Tidak banyak lapangan kerja yang mau menerimanya. Hidupnya seperti skenario paling buruk yang ditulis oleh penulis gilaㅡsetidaknya begitu sebelum ia bertemu Teron Muva.
Teron muncul di kisah hidup buruknya. Memberi ia pekerjaan untuk membersihkan ruang teater bersama staf lainnya pada malam tinggi, dan ia menyukai pekerjaannya. Semua staf yang bekerja pada malam hari hanya sekumpulan orang tua yang malas mengurusi penampilan satu sama lain. Tidak ada yang berteriak kepadanya agar ia mempercepat pergerakannya. Tidak ada yang memukul, melemparinya dengan kerikil, atau terkikik mengolok dari jauh kepadanya. Tidak ada lagi.
Tentu saja alasan lain dari itu, ia menyukai Teron Muva. Pria dengan rambut pirang yang menemukannya di sarang tikus dan memberikan ia kehidupan yang lebih baik. Ia jarang melihat Teron, namun berkatnya, ia mulai membenahi diri. Menggunting rambut hitamnya yang ikal menjadi pendek, menggunakan bedak, dan pewarna bibir. Memakai maskara pada matanya yang kecil, dan menggunakan wewangian berharap setidaknya Teron akan melihatnya yang bekerja pada malam tinggiㅡwalau pada akhirnya itu tidak pernah terjadi.
"Ferah, kapan kau akan berkunjung ke rumah sakit lagi?" Vardo bergabung bersamanya di dapurㅡmengambil air dingin di kulkas lalu melihatnya. Dan dengan cepat raut wajah wanita itu berubah murka. "Cuci mulutmu, sialan. Masih ada sisa krim di sana."
"Kulakukan setelah membereskan ini semua," jawabnya pada Vardo. Kemudian kembali pada pekerjaannya sementara mulutnya berbicara, "Besok aku akan ke rumah sakit. Kau akan menemaniku lagi?"
"Tidak. Ada hal yang harus kulakukan." Vardo mendekatinya dan menyisir anak rambut Ferah yang mengganggu ke arah belakang telinga. "Hari ini istirahatlah di tempatku. Aku akan pulang pagi-pagi sekali dan memanggilkanmu taksi untuk ke rumah sakit."
Ferah melihat Vardo yang tidak melihatnya, mendesis sinis kemudian. "Sial, kalau sikapmu begini, aku jadi kesal sendiri."
"Harusnya aku tidak mendengar itu dari orang yang telah lama bekerja denganku. Seperti anak baru saja." Ferah membiarkan wanita itu mengambil piring yang telah ia cuci untuk dikeringkan.
"Kau tahu sendiri alasanku bekerja denganmu bukan karena uang atau popularitasmu. Aku tidak berniat untuk mengenalmu lebih dekat."
"Aku tahu. Aku sangat ingat bagaimana caramu mengatakan alasan kalau aku harus menggunakan jasamu." Vardo tersenyum samar.
Keindahan. Ferah menyukai keindahan berkilau yang nyataㅡyang bisa ia nikmati berulang kali dan tak pernah bosan untuk dilihat. Tapi bukan perhiasan, bukan lampu-lampu mengkilap, atau gaun indah dari merek kelas satu. Bukan itu.
Ia menyukai Teron dengan segala keindahan yang dimiliki pria itu. Susunan rambut yang klimis sempurna, setelan kemeja dilapisi rompi, celana formal yang menunjukkan kaki jenjangnya, cara bicara sopan yang terdidik, serta bagaimana langkah kokohnya bergerak. Suaranya ramah dengan tawa menyenangkan. Tidak pernah Ferah menemukan keindahan seperti itu di sarang tikus.
Matanya mulai terpana saat menemukan orang-orang yang sama seperti Teron berkumpul dalam gedung teater. Langkah anggun, sikap elegan, gerakan kecil yang terkesan menarik perhatian, hingga cara bicara mereka yang berbisik tanpa harus menunjukkan seluruh deretan giginya. Ferah menyukai hal yang seperti itu.
Tentu saja secara bersamaan ia sadar itu semua hanya bisa ia temukan pada orang-orang berkuasa. Kedudukan di atas rata-rata. Yang melihat merekaㅡdi bawahㅡmeronta.
Orang-orang dengan berbagai wewangian mahal. Orang-orang kelas satu pada kursi terbaik di gedung itu. Yang pasti, Ferah tidak akan bisa ada di sana. Jadi ia menyimpulkan kumpulan orang dengan mulut tajam, spontan tak berotak, dan menyakitkan seperti gigitan laba-laba memang ada di sarang tikus. Sama seperti saudaranya, seperti orangtuanya, seperti mereka yang dulu menyakitinya.
Ia tak lama bertahan pada pemikirannya. Sebab ketika melihat Vardo ada di dalam lingkaran berkilau itu, gagasan sarang tikus, dan hal-hal lain yang penuh etika sosial kelas atas runtuh seketika.
Vardo dengan mulut iblisnya ada di sana. Dan semua orang terpana dengannya. Ia sangat yakin Vardo mirip dengan kelasnya. Tapi ia tidak mengerti, bagaimana bisa?
Ferah menjadi sangat heran. Melihat bagaimana setiap gerakan yang dihasilkan Vardo begitu indah dalam porsinya sendiri. Angkuh ditunjukkan secara nyata, raut wajah murka dibiarkan terbaca oleh semua orang alih-alih menyamarkannya. Apa karena ia cantik sementara dirinya tidak? Apa karena kemampuannya? Ferah yakin bukan dua itu alasannya, sebab banyak orang dengan perawakan dan kemampuan di atas rata-rata Vardo dalam lingkaran itu. Jadi apa? Lama ia mencari jawaban, dan menemukannya ketika Teron dan Vardo berada dalam satu bingkai pandangannya.
Keindahan yang kontras itu luar biasa. Ferah melihat perbedaan besar warna yang ada di antara mereka. Kalau Teron adalah pria penuh etika, dengan perbuatan dan bicara tanpa cela, maka Vardo tidak mencoba untuk menunjukkan hal seperti itu kepada semua orang, persetan dengan kotak-kotak etika menghargai perasaan orang lain. Ferah menyimpulkan itu dan sampailah ia pada hasrat baru. Ia menginginkan dirinya ada di dalam sana. Ia penasaran bagaimana keindahan versi dirinya sendiri. Ia juga harus membuat Teron melihatnya sesering mungkin dari dekat.
Maka bersimpuhlah ia kepada Vardo di toilet ketika wanita itu menyelesaikan pertunjukannya. Dibiarkan dan dibuangnya puing-puing harga diri yang ia miliki jatuh kepada lantai yang dingin penuh jejak pengunjung. Bergesekan dengan celana bahan dan telapak tangannya.
Pada permukaan sepatu mahal Vardo yang bisa memberikan ia makan setengah tahun, ia mengutarakan alasannya dengan jujur, juga meyakinkan wanita itu kalau ia bisa diandalkan dalam bekerja. Respon pertama Vardo setelah mendengarnya adalah tepukan kecil di kepalanya.
"Obsesimu agak gila."
"Obsesimu agak gila." Ferah mengulang ucapan Vardo padanya dulu. "Kata pertamamu padaku masih lekat di kepalaku sampai sekarang."
"Mau dilihat dari sudut manapun sudah terbaca. Kau terobsesi pada Teron, pada orang-orang kaya, dan ingin menjadi sama seperti mereka. Keindahan yang kau jelaskan secara panjang lebar waktu itu juga makin memperkuat alasan obsesimu. Tapi, aku mengerti. Melihat hal yang tidak bisa kita miliki dari orang lain memang lebih menarik, lebih membuat iri."
"Dulu aku bertanya-tanya bagaimana orang kejam sepertimu bisa diterima oleh mereka. Butuh waktu lima tahun untuk mengetahuinya."
Vardo terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Alasanku menerimamu bekerja adalah, kau orang gila. Sama sepertiku."
"Benar. Kau orang yang sangat gila mampu berbaur pada kehidupan normal."
"Aku ingin menghajar mulutmu."
"Kau terlalu kurus untuk menghasilkan tamparan yang sakit padaku."
"Berengsek."
Tidak ada tawa di dapur. Hanya dengusan sinis yang dilempar satu sama lain. Ferah kembali melihat Vardo yang diam tak ada ekspresi. Dibiarkannya wanita itu keluar dari dapur, melangkah begitu ringan dan pasti. Bahkan mengambil ponsel saja ia begitu sempurna. Ferah tahu dengan jelas kekurangan fisik yang dimiliki Vardo. Harusnya ia simpati pada albino yang dimiliki wanita itu. Mendukungnya dengan segala ucapan maupun tindakan nyata. Sebagai manajer harusnya begitu. Tapi ia tak bisa.
Mau bagaimana lagi, pertemuan pertama dan kesan Vardo padanya tak dapat diubah. Ia sendiri yang membuat dirinya begitu. Jadi bertingkah sebagaimana manusia mendukung manusia lainnya terkesan berdusta. Dari awal ia bersama Vardo paham kalau mereka tidak ada dalam lingkaran berpura-pura.
"Oh, sudah tiba? Baiklah." Samar-samar Ferah mendengarkan percakapan wanita itu di ponsel. Sekali lagi menikmati segala tindakan kecil yang dibuat sang Tuan Rumah. Surai putih dibiarkan tergerai di atas bahu, bulu mata dengan warna senada yang lurus. Postur tegak serta kesunyian yang selalu mengelilingi membuat wanita itu mendominasi dan menyamarkan segala tindakan picisan buruknya. Vardo adalah bentuk nyata keindahan iblis yang berkilau pada jaring laba-laba penuh racun. Ferah tersenyum samar, sangat mengerti alasan semua orang terpana dengan wanita itu.
"Ada tamu?"
Vardo melihat manajernya di ujung sana. "Staf dari toko pakaian boneka datang mengambil bonekaku," jawab Vardo padanya.
"Hanya ada satu bonekamu di sini." Mata kecil Ferah mencari boneka ukuran dewasa yang berdiri di dalam lemari kaca. Ketika ia menemukannya, dahinya mengerut. "Zarein, ada sesuatu di mulut bonekamu."
Vardo mendengarkan bunyi bel dan sebelum ia membuka pintu, ia melihat Ferah yang bingung melihat Jay Yevgeny di sana. "Oh, aku menciumnya dengan lipstik kesukaanku. Tenang saja, itu bisa dihapus."
Ferah mendengus sinis. Vardo memang orang gila.
ㅡ
A/n: Gimana Vardo di mata pembaca sejauh membaca 2 bab ini? Atau pendapat kalian tentang Ferah?
(・ω・)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top