11
“Kucel amat lo?!”ujar Jessi ketika tiba di ruang kerjanya dan melihat temannya sudah duduk di meja kerja sambil bertopang dagu.
“Hmmmm….”
“Kenapa lo?!”tanya Jessi menatapnya heran sambil menaruh tas dan duduk.
“Ga…”
“Ih, Catz, lo kenapa sih? Jawabnya pendek banget!”
Catz mendesah. “Tidak apa.”
“Lo lagi sakit?!”
Catz menggelengkan kepala.
“Terus kenapa lo?!”
“Mengantuk…”sahut Catz pendek.
“Nonton sampai malam lagi atau pacaran nih?!”
Catz mendelikkan mata pada Jessi.
“Tahu nih si Catz lagi mogok bicara dari datang tadi.”sahut Desi dari balik layar laptopnya. “Service minuman tehnya juga jadi mogok nih!”godanya.
Jessi ikut tertawa. Tapi langsung berhenti ketika melihat Catz hanya diam menatap layar komputernya yang gelap. Catz yang biasanya ceria dan bawel kini hanya diam termenung. Ia melirik Desi yang ikut menatapnya lalu mengedikkan bahu. Jessi menarik napas dan memutuskan untuk membiarkan Catz. Mungkin ia butuh waktu sendiri, batinnya.
Terdengar suara ponsel berbunyi. Jessi melihat ponsel milik Catz menyala dengan suara nada dering. Catz melirik layar dan mengabaikannya. Ia tidak menjawab telepon itu hingga berhenti. Tidak lama ponselnya kembali berdering.
Catz mendelikkan mata ke ponselnya dengan sebal. Ia membuka laci lalu mengambil benda pipih miliknya dan memasukkan ke dalam laci. Nyaris membanting benda tidak bersalah itu.
“Et dah!”sahut Jessi terkejut mendengar suara keras yang berasal dari gesekan ponsel pada bahan kayu laci.
Jessi melihat Catz menutup keras laci. Gadis itu lalu menghidupkan komputer, mengambil dokumen dan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Ia menoleh pada Desi yang ikut memperhatikan Catz dengan heran. Desi membalas tatapan Jessi dan menggelengkan kepala pelan.
Satu per satu tim divisi keuangan mulai datang. Mereka juga melihat dan menyadari sikap Catz yang aneh. Jessi sudah memberi tanda agar tidak menggangu gadis itu. Maka semua orang pun mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
———
Catz mendesah. Ia merasa sangat lelah hari ini. Yang ingin ia lakukan hanya pulang dan berbaring. Badannya pegal. Matanya terasa tidak enak karena kurang tidur dan penat. Kepalanya pun pening. Ia bergegas membereskan barang dan kertas di meja. Pekerjaannya sudah beres hari ini. Dan ia ingin segera pulang.
“Aku duluan ya.”pamit Catz berdiri dan langsung melangkah keluar ruangan.
“Oke, hati-hati ya, Catz!”sahut Desi.
“Sampai besok, Catz!”seru Jessi.
“Bye…”ujar Catz.
“Si Catz kenapa ya hari ini?”tanya Iwan ketika Catz sudah keluar dari ruangannya.
“Tahu tuh. Dari pagi aneh dan hanya diam saja.”sahut Tika.
“Iya. Gue ajak keluar makan siang saja tidak mau.”
“Dia nitip beli sama OB tadi kan.”kata Tika sambil membereskan kertas-kertas di atas mejanya.
“Gue tawarin es doger saja tidak mau loh tadi. Biasanya kan suka makan apa saja.”kata Jessi heran
“Mungkin dia lagi ada masalah, Jess.”
“Jangan-jangan lagi berantem sama pacarnya kali ya.”tebak Jessi.
“Sudah, nanti juga dia pasti kembali ceria lagi. Mungkin memang lagi butuh waktu sendiri.”kata Desi.
“Iya, gue juga mau pulang ah.”Kata Jessi.
———
“Catz!”
Catz berhenti melangkah dan tubuhnya terasa kaku.
“Catz!”
Catz refleks menepis tangan orang yang memegang lengannya. Ia menatap sosok pemilik tangan itu dengan mimik terluka. Melihat manik biru indah yang memandangi dirinya membuat hatinya teriris sekaligus luluh.
“Catz, kenapa kamu tidak menjawab teleponku dari kemarin?!”tanya Mark.
Catz melihat pria itu tampak kalut. Ya, jelas saja jika ia cemas. Mark pasti takut ia akan mengatakan mengenai kejadian kemarin pada semua orang. “Seharusnya kamu sudah tahu jawabannya.”
Mark menghela napas dan mengacak kasar rambutnya. “Karena itukah kamu pergi duluan tadi pagi?”
“Menurutmu?!”dengus Catz menatap ke arah lain.
“Ikut aku!”
“Kalau aku tidak mau?!”
“Aku akan tetap menarikmu. Apa kamu mau menjadi pusat perhatian?!”tanya Mark.
Catz menatap Mark. Ia menarik napas. Sebenarnya gadis itu masih belum siap untuk bertemu dengan kekasihnya. Apalagi sejak kejadian malam kemari. Tapi ia tahu tidak mungkin terus menghindar. “Ayo!”sahutnya berjalan lebih dulu.
“Memang kamu tahu di mana aku memarkir mobil?”
Catz berhenti melangkah. “Tentu saja di tempat parkir mobil kan?!”
Mark mengulum senyum kecil. “Tentu saja. Tapi, apa kamu tahu di bagian mana mobilku di parkir? Tempat parkir luas loh!”
Catz mendelikkan mata kesal pada pria itu. “Ya sudah kamu duluan!”
Mark berjalan di samping Catz kemudian mereka berjalan bersama. Hingga ke dua orang itu masuk ke dalam mobil dan jalan, belum ada satupun yang membuka mulut. Jalanan padat dan macet membuat perjalanan itu terasa lama. Apalagi Catz dan Mark masih diam. Catz melirik Mark diam-diam. Ia masih memikirkan kejadian yang kemarin ia lihat.
“Catz?!”seru Mark terkejut.
Catz terdiam. Menatap ke dua orang pria itu sambil masih mencerna apa yang telah ia lihat. Ia paham apa yang dilakukan Mark dan pria itu. Tapi ia masih tidak percaya dan menyangkal dugaan yang terlintas di pikirannya. Tidak mungkin, pekiknya dalam hati.
“Catz!”ucap Mark yang sudah berada di hadapnnya.
Catz membalas tatapannya. Ia masih shock. “Ka…kamu…”
“Aku bisa jelaskan!”ucap Mark memegang lengannya.
Catz menepis tangan Mark dan mundur. Ia menggelengkan kepala. “Apa…apa yang kamu lakukan tadi?!”
“Catz…”gumam Mark kalut.
Catz menatap Mark dan pria itu bergantian. Pria itu ikut mendekatinya. Memberinya tatapan kasihan dan benci. Catz ingat pria itu. Yang pernah bertemu dengannya dan menatapnya dengan benci. “Kalian…..kamu…apa kau gay?!!”desisnya.
Mark terdiam. Ia terlihat menelan ludah dengan sulit. Tampak gugup. Melirik temannya yang berdiri di sampingnya kemudian menatap Catz kembali dengan sorot mata muram dan meminta maaf. “Maafkan aku, Catz….”
Mata Catz terbelalak lebar. Perlahan ia menggelengkan kepala. “Tidak mungkin! Kalau kamu memang gay, kenapa kamu terima perjodohan ini?!!”
“Aku bisa jelaskan.”
Catz menggelengkan kepala dan bergerak mundur. Rasanya ia tidak sanggup mendengar ucapannya. Ia berlari meninggalkan Mark. Mengabaikan pria itu yang memanggilnya. Hatinya terasa sakit dan terluka. Ingin sekali ia menyangkal Mark seorang gay, tapi kejadian yang barusan ia lihat sangat nyata.
“Catz.”panggil Mark menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
Catz gelagapan dan menoleh pada Mark dengan gugup.
“Kita butuh bicara.”
Catz menghela napas. “Baik.”
Mark mengangguk lalu ia kembali menyetir. “Aku akan mencari tempat yang nyaman untuk ini.”
———
“Apartemen?”tanya Catz saat melihat mobil Mark mengarah masuk ke area sebuah apartemen mewah.
“Ya. Kurasa ini tempat yang aman dan nyaman untuk pembicaraan kita. Tidak mungkin kita membahas di tempat umum. Atau di rumahmu.”
Catz paham. Bisa saja ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Tapi, unit apartemen milik siapa di sini?!”
“Punyaku.”sahut Mark mengemudikan mobil menuju tempat parkiran.
Catz menoleh menatapnya dengan kaget. “Kamu punya apartemen?!!”
Mark mengangguk. “Aku membelinya sudah lama. Kadang jika kerja sampai malam, aku memilih pulang kemari karena lebih dekat dari kantorku.”
“Sepertinya banyak yang belum aku ketahui mengenai dirimu.”gumam Catz dengan nada muram.
Mark tahu maksud perkataan Catz. Hatinya terasa tidak enak. “Maaf…”
Mobil berhenti. Mark keluar dari mobil dan berjalan memutar hendak membukakan pintu untuk Catz. Tapi gadis itu sudah keluar lebih dulu.
“Ikut aku.”ucap Mark mengarahkan kaki ke arah lobby dan lift.
Catz merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apa ia siap dengan pengakuan Mark nanti? Apa a bisa menerima penjelasan pria itu? Ia merasa gugup. Mereka berjalan dalam diam melintasi lorong, menunggu lift hingga tiba di lantai tempat unit apartemen milik Mark.
Catz mengerjapkan mata saat Mark menyalakan lampu. Ia memandangi ruangan di hadapannya. Apartemen milik kekasihnya memiliki ruangan yang luas dengan nuansa warna abu dan putih. Terlihat sederhan dan nyaman. Tapi sekilas melihat pun Catz tahu perabotan yang ada di sana cukup mahal.
“Termasuk apartemen yang sederhana untuk seorang arsitek seperti dirimu.”ujar Catz kaget.
Mark meringis. “Aku lebih suka model simpel tapi nyaman.”
Catz mengangguk.
“Duduklah. Aku ambilkan minuman dulu ya.”
Gadis itu kembali mengangguk dan melangkah menuju sofa berwarna cream. Ia duduk di sana. Tepat di hadapannya terlihat jendelan besar memperlihatkan pemandangan kota di malam hari.
“Aku hanya punya air putih.”ucap Mark meringis sambil menaruh dua buah gelas berisi air putih di meja.
“Tidak apa.”
“Apa kamu mau makan dulu? Kamu pasti belum makan malam kan?!”tanya Mark duduk di sisi Catz.
“Hmmm tidak usah. Aku…tidak lapar….”
Mark mengangguk paham. Siapapun pasti akan kehilangan nafsu makan jika tahu jari dirinya. “Minum dulu gih.”ucapnya.
Catz mengangguk. Ia melihat Mark mengambil gelas dan minum. Ia mengikuti jejaknya. Memegang gelas dan minum pelan. Lalu ia menaruhnya lagi. Mereka kembali terdiam. Mark tidak tahu harus memulai dari mana dan hanya memainkan gelasnya.
Catz memalingkan wajah melihat Mark yang masih diam. “Kamu beneran gay?”tanya Catz takut-takut.
“Ya.”
Pengakuan Mark membuat Catz merasa lemas. “Memang kamu sadar kalau kamu gay sejak kapan?”
Mark menatap gelasnya dengan pandangan mata kosong. “Kuliah. Dan pacar pertama aku bernama Alex. Tapi hanya bertahan setahun. Kami putus. Dan Alex sekarang beralih menjadi normal lagi. Lalu aku berhubungan dengan Kevin, pria yang kamu lihat kemarin.”
Catz tampak mengerutkan kening berpikir. Rasanya nama itu tidak asing, batinnya. “Apa Alex yang pernah ketemu waktu kita ke pesta pernikahan temanmu?!”
“Ya.”
Catz merasa napasnya tertahan. Pantas saja waktu itu Mark memandangi pria itu terus. “Sejak itu hanya Alex dan Kevin?!”
“Tidak. Ada banyak pacarku selain mereka berdua.”
Mata Catz membulat kaget dan tidak percaya. Apa?! Ada banyak?! Gue yang normal dan cantik kaya begini saja tidak punya banyak mantan pacar! Bagaimana ini bisa terjadi?!
“Kamu tidak mau balik jadi normal?!”tanya Catz.
“Semua orang tahunya aku normal. Kalau tidak, mama papaku bisa shock.”
“Kenapa kamu tidak mau coba berubah?”tanya Catz. Dan jadikan gue istrimu yang pertama yang mungkin bisa membuat lo berubah jadi normal, batinnya meringis.
“Aku lihat cewek saja tidak tertarik.”gumam Mark.
Catz memandang Mark dengan tercengang. Begitu mudah ucapan itu keluar dari mulut Mark. Dan hatinya terasa sakit mendengarnya. Apa?! Apa itu artinya dia pun tidak tertarik padaku sekarang?!
“Coba kamu nonton film itu.”
“Sudah. Tetap tidak ada efek apapun.”kata Mark datar.
Catz cengo. Gawat, jeritnya dalam hati. Jadi selama ini gue pacaran sama gay?! Gue pacaran sama pria yang tidak tertarik dengan wanita?!! Hatinya terasa sakit. Terluka. Rasanya ia ingin menangis… kenapa nasibnya begitu sial?!
“Lalu….bagaimana dengan kita?”tanya Catz lirih. Hatinya terasa perih. Dadanya sesak. Di saat ia sudah mau membuka hati, malah terjadi hal seperti ini.
Mark mengangkat wajahnya dan menatap Catz. Memandangi gadis itu dengan manik biru indahnya. Membuat hati sang gadis kembali sakit. Mata biru indah yang sudah membuatnya terpesona dan jatuh cinta. Dan mata biru itu pula yang menyakiti hatinya. Memberinya kenyataan pahit.
“Kita tetap berhubungan.”
Catz membelalakkan mata. Menatapnya dengan tidak percaya. “Apa?! Tapi kamu kan….”
“Aku mohon, jangan beri tahu siapapun mengenai identitasku ini.”pinta Mark memohon.
“Apa kamu masih berhubungan dengan Kevin?”
“Masih.”
Catz melongo. “Ini tidak benar! Bagaimana bisa kau tetap ingin melanjutkan perjodohan ini sementara kamu masih pacaran dengan Kevin?!!”serunya.
Mark menarik napas. Ia mengusap kasar wajahnya. Ia tahu harus memilih salah satu. Dan apapun keputusannya akan melukai salah satu pihak.
“Lebih baik kita jangan bertemu dulu sampai kamu sudah mengambil keputusan, Mark.”
———
“Rub, gue nginap di rumahmu ya!”
Ruby melongo. Gadis itu sampai menjauhkan ponsel dan mengorek kuping karena tidak percaya. “Apa tadi lo bilang?”tanyanya.
Catz mendesah. “Gue mau inap di rumah lo.”
Ruby menangkap nada suara Catz yang muram dan sedih. “Oh boleh saja, tapi kan ini bukan weekend….”ujarnya yang lalu terhenti karena Catz memutus hubungan telepon tanpa menunggunya selesai bicara. “Ih kok dimatikan sih?! Gue kan belum selesai bicara!”
Ruby mendengus. Ditaruhnya ponsel di atas meja samping tempat tidur. Lalu ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah menunggu kedatangan Catz. Ia merasa heran. Apa yang terjadi dengan Catz? Cat memang suka menginap tapi gadis itu jarang menginap saat hari biasa. Selalu di hari weekend. Dan nada suaranya yang aneh membuatnya berpikir pasti telah terjadi sesuatu.
“Loh kok turun lagi?!”tanya mamanya yang heran karena baru saja tadi Ruby pamit ke lantai atas ingin rehat di kamar.
Ruby mendaratkan bokong pada sofa. “Iya ma. Katanya Catz mau inap di sini.”
“Memang kalian besok tidak kerja?”
“Kerja dunk, ma. Mana bisa cuti…”
“Tumben…biasanya kan kalian inap pas weekend.”
“Iya. Aku juga heran, ma.”
“Yah tidak apa. Asal nanti malam jangan bergadang dan besok terlambat saja.”
“Siap, ma!”
Ruby ikut menonton televisi bersama mamanya sambil menunggu Catz datang. Tidak lama kemudian ia mendengar suara kendaraan berhenti di depan.
“Sepertinya itu Catz.”kata Ruby sambil beranjak bangun dari duduknya. “Aku lihat ke depan dulu ya, ma.”
“Ya!”
Gadis berpiyama itu segera melangkah menuju pintu depan dan membukanya. Benar saja, ia melihat Catz sedang mengembalikan helm pada ojek online. Lalu gadis yang masih memakai baju kerja itu membalikkan badan dan melihat Ruby.
Ruby menyipitkan mata. Heran melihat wajah Catz tampak kucel. Sepertinya ia belum pulang ke rumah, tebaknya. “Hoi…ayo masuk!”
Catz mengangguk. Tangannya membuka pintu pagar dan melangkah mendekat setelah menutup pagar kembali. “Hai.”gumamnya
“Lemes amat?! Yuk masuk!”ajak Ruby.
“Halo, tante, selamat malam.”sapa Catz kepada mama Ruby saat sudah masuk ke dalam rumah.
“Halo, Catz! Tumben nih.”
“Iya, tante. Maaf ya saya datang malam-malam.”
“Tidak apa.”
“Saya ke atas dulu ya, ma!”kata Ruby. Mamanya mengangguk. “Yuk!”
Catz mengikuti temannya menaiki tangga dan langsung masuk ke kamar tidur Ruby. Ia duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya tampak lelah.
“Kayanya lo tidak pulang ke rumah dulu ya?”tanya Ruby ikut duduk.
“Tidak.”
“Memang lo ke mana dulu? Lembur?”tanya Ruby bingung.
“Gue lapar.”ketus Catz.
Mata Ruby membulat. “Memang lo belum makan malam?!”
Catz menggelengkan kepala.
“Tumben?! Terus lo mau makan apa?”
“Buatkan mie goreng buat gue. Pakai telur, sayur dan bakso yang banyak!”
Ruby mendengus. “Lo ya….sudah minta inap, datang-datang minta makan dan banyak banget permintaannya pula. Tumben banget teman gue yang tukang makan belum makan.”
“Sudah ah cepat masak sana! Gue lapar nih!”
“Iya, nyonya!”sahut Ruby sambil bangun berdiri. “Lo mandi dulu saja sana!”
“Hmm…”sahut Catz.
Catz menghela napas setelah Ruby keluar. Ia meraih ponsel dan membaca pesan yang masuk. Ada pesan dari mamanya yang membalas setelah ia mengatakan akan menginap di rumah Ruby. Ia tidak siap untuk pulang ke rumah. Tahu keluarganya pasti akan menanyakan mengenai Mark. Apalagi tadi pagi ia berangkat sendiri. Dan ternyata Mark datang menjemputnya.
Tidak ada pesan dari Mark, bisiknya. Iyalah, apa yang gue harapkan? Dia tidak suka gue, dia lebih peduli sama kekasih sesama jenisnya, batinnya.
Catz melemparkan ponsel ke ranjang. Memilih untuk membersihkan diri. Ia membuka lemari pakaian Ruby. Mengambil sebuah piyama berwarna pink dan masuk ke kamar mandi.
“Nih sudah jadi.”kata Ruby masuk ke dalam kamar dengan dua buah piring di ke dua tangannya.
“Catz menggantung handuk. “Lo juga belum makan?!”tanyanya. Aroma lezat indomie goreng tercium dan membuat perutnya keroncongan.
“Sudah sih. Tapi siapa yang bisa menolak indomie goreng?!”sahut Ruby menyeringai. “Masa lo doank yang makan?”
Catz mendengus. Ia duduk di sofa kecil dekat jendela. Mengambil piring miliknya dan mulai makan. Ruby pun melakukan hal yang sama.
“Hmmm yang namanya indomie tuh memang enak ya!”ujar Ruby sambil memasukkan sesendok mie ke dalam mulutnya.
“Bakso juga enak.”sahut Catz.
“Ya itu juga…”gumam Ruby terkekeh.
“Lo tidak lembur hari ini?!”
“Tyidhak…”
Catz terkekeh lalu kembali lanjut makan hingga habis. Ia baru sadar betapa lapar dirinya. Setelah mencium aroma sedap masakan Ruby, ia baru merasakan lapar. Dan dalam waktu cepat, makanannya sudah habis.
“Ah gue kekenyangan nih!”ucar Ruby tertawa sambil memegang perutnya.
“Yah lo pasti sudah makan terus ikut makan lagi.”
Ruby terkekeh. “Tergoda gue mencium aroma mie tadi…”
Catz menaruh piring lalu minum dari gelas yang sudah disiapkan oleh temannya.
“Kenapa lo mendadak mau inap di sini?”tanya Ruby.
Pertanyaan Ruby membuat Catz kembali teringat alasannya tidak berani pulang ke rumah dan memutuskan untuk menginap di rumah sahabatnya. Rasa perih terasa di hatinya. Air mata yang sudah ia tahan sejak pertemuannya dengan Mark tadi kini runtuh. Tanpa sadar ia terisak.
“Eh kok lo malah menangis?!”seru Ruby kaget melihat Caz menitikkan air mata setelah menghabiskan makanannya. “Apa mie bikinan gue tidak enak?!”
“Bukan itu….”isak Catz.
“Yah terus kenapa?! Lo aneh sekali sih? Seharian tidak balas pesan gue. Tahu-tahu datang minta inap, minta makan terus menangis begini?!!”ucap Ruby shock.
“Mie gorengnya enak…terima kasih ya…”
Ruby kembali melongo. “Catz, lo kenapa sih? Jujur lo aneh dari tadi tahu ga?! Ada apa? Coba cerita sama gue!”
Catz meraih sehelai tisu dan membuang ingus. Kemudian ia melempar ke dalam tempat sampah. “Hati gue sakit….”
“Iya, sakit karena apa?! Apa jangan-jangan lo lagi berantem sama Mark ya?!”tebak Ruby. Catz menatapnya. “Ayo cepat cerita!”
“Ish sabar sih…”desis Catz kembali membuang ingus. Ia menarik napas dan mulai menceritakan semua. Apa yang ia lihat kemarin. Serta pengakuan Mark tadi.
Ruby mendengarkan. Mulutnya melongo lebar. “Lo serius?!”bisiknya shock.
Catz mengangguk. “Kenapa sih gue harus ketemu dia?! Kenapa gue harus jatuh cinta sama dia?! Kenapa pas jatuh cinta gue malah ketemu pria kaya dia?! Apes nasib gue!”pekiknya kesal.
“Sabar…sabar….”gumam Ruby memeluk dan mengusap bahu Catz. “Siapa tahu lo bisa bantu dia berubah kan?!”
“Tapi gue tidak yakin! Lihat cewek berpakaian lengkap saja dia tidak nafsu, Ruby! Apalagi kalau full naked, yang ada dia Cuma lewat saja kali!”
Ruby tergelak. Tapi langsung berhenti karena sorot mata Catz yang tajam. “Sabar, Catz.”
“Kayanya gue mesti siapkan hati gue kalau dia memilih untuk mengakhiri perjodohan ini.”
“Jangan putus asa dulu dunk. Siapa tahu dia mau berubah. Apalagi dia kan tidak mau keluarganya tahu perihal dia yang gay.”
“Gue tidak tahu. Pokoknya gue merasa sangat sial! Dulu selingkuh, sekarang gay! Beneran deh, gue merasa sial banget!
“Hei, jangan berkata begitu. Lo belum tahu apa keputusan dia. Gue sih yakin dia akan lanjut sama lo. Dan siapa tahu lo bisa membantunya berubah jadi normal lagi.”
“Ah mana mungkin?!”sahut Catz percaya. “Kata siapa bisa berubah?!”
“Kata novel bacaan gue.”sahut Ruby polos.
Catz mendelikkan mata. “Lo kebanyakan baca deh.”
“Kalau ternyata gue benar bagaimana?! Yok taruhan sama gue!”
“Ayo, siapa takut.”tantang Catz.
“Oke, siapa yang menang, traktir makan bakso sebulan!”usul Ruby.
“Siap!”sahut Catz. “Dasar penggemar bakso! Hadiah taruhan pun tidak jauh dari bakso!”gelaknya.
Ruby ikut tertawa. Topik mereka pun beralih ke hal lain. Catz merasa bersyukur keputusannya untuk menginap tidak salah. Setidaknya ia bisa bertukar pikiran dengan sahabatnya. Ruby bisa menghibur dan sejenak Catz bisa melupakan masalahnya.
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top