Chapter 8 : Harapan dan Keputusasaan


Harapan.

Naruto tertawa mendengar satu kata penuh makna itu. Orang-orang sering berharap sesuatu, entah itu untuk orang lain atau dirinya sendiri. Semua orang pasti pernah memiliki harapan, termasuk Naruto maupun Menma sekalipun.

Naruto pernah berharap agar dirinya hidup bahagia.

Naruto pernah berharap agar dirinya memiliki banyak teman.

Naruto pernah berharap agar dirinya selalu dikenang di desa.

Naruto pernah berharap agar dirinya tidak pernah sendirian.

Naruto berharap agar semua harapannya itu akan menjadi kenyataan.

Tapi, harapannya tidak menjadi kenyataan.

Naruto putus asa memiliki hidup bahagia. Bahkan ia sendiri tidak tahu arti dari bahagia itu.

Naruto putus asa memiliki banyak teman. Bahkan ia tidak pernah memiliki teman sejak kecil.

Naruto putus asa untuk dikenang di desa. Bahkan dirinya terasingkan di desa.

Naruto putus asa agar dirinya tidak pernah sendirian. Bahkan sampai sekarang pun ia masih sendirian.

Naruto putus asa agar harapannya menjadi kenyataan. Karena Naruto tahu, kenyataan itu pahit.

Menyedihkan.

Naruto memasuki sebuah gang kecil. Ia terus berjalan lurus, hingga menemukan suatu rumah sederhana yang dibangun di antara kedua bangunan itu. Tanpa permisi, ia memasukinya dan menemukan seseorang sedang duduk santai membaca koran di sana.

"Oh, kau. Ada apa?" tanya suara pria besar sambil menghembuskan asap dari cerutunya.

Naruto tersenyum lembut.

"Tolong aku."

--Alone--

Anak kecil itu berlari tak tentu arah. Ia hanya berharap untuk segera bebas dari pengejaran orang-orang di belakangnya.

"Tangkap dia!"

Suara penuh kemarahan itu membuatnya terkejut. Ia tak ingin menoleh ke belakang, karena ia tahu hal yang buruk ada di belakangnya.

"Monster!"

"Dasar monster!"

"Mati sana!"

"Pergi kau!"

Berbagai hinaan dilemparkan padanya, tapi anak itu tidak peduli. Keselamatannya adalah yang paling penting. Nyawanya yang paling utama.

Jraasshh!!

Sebuah kunai menggores kakinya, membuatnya terjatuh. Luka itu cukup dalam, hingga ia merintih kesakitan karenanya.

Orang-orang yang mengejarnya pun berhasil menyusulnya, kemudian mengelilinginya serta menatapnya bagaikan dirinya adalah makhluk menjijikkan.

"Mati!"

"Mati!"

"Mati!"

"Mati!"

"Mati!"

...matimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimatimati...

...kau hanya sendirian di dunia ini!!!

Anak itu menangis. Ia tidak meraung, hanya terdiam menangis dengan tangan memeluk kepalanya seakan melindungi diri. Orang-orang menghajarnya, tak sungkan-sungkan menggunakan batu.

Tidak ada yang mau menolongnya. Tidak ada yang datang hanya sekedar memberi uluran tangan. Tidak ada yang menghampirinya untuk menanyakan keadaannya.

Tidak ada.

Tidak ada.

Tidak ada.

Anak itu sadar, ia hanya sendirian di dunia ini.

"Aku...aku..."

Tubuhnya menggigil. Lemparan batu membuat tubuhnya mati rasa, namun bukan berarti ia ingin diperlakukan layaknya hewan.

"Aku...aku tahu...aku tidak sendirian di dunia ini."

Mendadak pandangannya menggelap. Ia merasa ditarik oleh sesuatu yang kuat, namun terasa nyaman disaat bersamaan.

"Tidurlah, temanku."

--Alone--

Nara Shikamaru.

Siapa yang tidak mengenalnya? Anak dari Nara Shikaku yang terkenal itu? Jika kau tidak mengenalnya, maka kau bukan penggemar anime Natuto :v

Bercanda, author bercanda.

Shikamaru menatap Akimichi Choji yang seperti biasa memakan kripik kentangnya. Di sampingnya, terdapat Uzumaki Arashi yang menguap sejak tadi pagi.

Hanya mereka bertiga saat ini di atap.

"Kau kenapa?" tanya Shikamaru malas. Arashi yang ditanya kembali menguap sebelum menjawab. "Kurang tidur."

"Seharusnya...nyam...kau...nyam...makan...nyam...dulu...nyam..."

Choji pun ditegur Shikamaru karena berbicara sambil makan.

Arashi menggelengkan kepalanya. "Yah, kalau yang kau maksud makan malam, sih, sudah aku lakukan."

Mendadak atap menjadi sunyi. Teguran Shikamaru entah mengapa berhenti, dan Choji pun ikut berhenti memakan kripik kentangnya.

Shikamaru menepuk keningnya dan menghela nafas. "Bukan itu maksudnya."

Dengan wajah tanpa dosa, Arashi memiringkan kepalanya. "Lalu apa?"

"Maksudku, seharusnya sebelum tidur kau makan jajan kripik kentang dulu, baru boleh tidur," jelas Choji panjang kali lebar tanpa mengunyah makanan lagi.

"Salahmu sendiri bicara sambil makan, akhirnya lawan bicara tidak mengerti maksudmu," timpal Shikamaru geleng-geleng kepala.

Arashi hanya tertawa kecil, kemudian teringat sesuatu mengapa ia ingin ikut berkumpul dengan Shikamaru. "Omong-omong, aku ingin tanya sesuatu."

"Tanyakan saja, Shikamaru ahlinya."

Dan Choji pun mendapat benjolan besar di kepalanya karena pukulan keras dari Shikamaru.

"Apa itu?"

Arashi sedikit ragu, namun ia harus memberanikan diri untuk melakukannya. Toh, tidak ada Naruko maupun Sasuke di sekitarnya.

"Apa kalian mengenal orang yang bernama Naruto?"

Shikamaru dan Choji terdiam. Mereka saling menatap beberapa detik sebelum akhirnya menatap Arashi kembali.

"Naruto? Apa maksudmu Naruko?" ujar Shikamaru mewakili. Arashi menggeleng. "Naruto. Bukan salah pengucapan, tapi namanya memang Naruto."

Choji mengangguk mengerti. "Oh, tentu saja kami tahu."

Arashi terlihat gembira mendengarnya. "Benarkah?!"

"Ya, maksudmu kue ikan (naruto) di ramen itu, 'kan?"

Arashi menepuk keningnya. "Bukan itu. Naruto itu nama orang."

"Kalau nama orang, maaf saja, tapi kami tidak tahu siapa yang bernama Naruto ini," jelas Shikamaru tanpa basa-basi. "Memangnya, siapa dia?"

Arashi terdiam, kemudian tersenyum kecil. "Bukan siapa-siapa. Hanya orang asing yang terlupakan."

Shikamaru menghela nafas panjang. "Yah, kalau kami tahu sesuatu tentang orang yang kau cari itu, kami akan langsung memberitahumu."

"Ah, terima kasih."

Tapi, Arashi berkata lain dalam hatinya. Itu bukan orang yang ia cari. Lagipula, ia sudah mengenalnya sejak Naruko mengenalkan sosok Naruto padanya.

Arashi memandang langit biru.

'Aku perlahan mengingatmu, tapi mengapa kau tidak mengingat ku sama sekali?'

--Alone--

Anak itu berlari, mengikuti seseorang yang berlari di depannya. Tangannya yang kecil tergenggam erat oleh sosok di depannya.

"Kita harus cepat!"

Anak itu mengangguk, walau dengan susah payah karena berlari dan nafasnya mulai sesak. Tanpa ia sadari, kakinya tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, membuatnya jatuh terjerembab di tanah.

"Ah! Hei! Kau tidak apa-apa?!"

Anak itu mengangguk, tidak ingin membuat sosok di hadapannya semakin khawatir. Mendadak, ia merasa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata, sosok itu menggendongnya di depan seperti memeluk anak kecil.

"Pegangan!"

Tanpa banyak bicara lagi, anak itu memeluk erat tubuh sosok yang telah menyelamatkannya. Ia hanya bisa memejamkan mata, merasa takut akan dunia luar yang akan menyambutnya.

Beberapa saat kemudian, anak itu mendengar suara rintihan. Matanya menatap sosok yang memeluknya erat itu. Tubuhnya tertancap kunai yang datang entah darimana. Anak itu hampir berteriak histeris melihatnya.

"Tenanglah! Kita akan aman jika berada di―AARRGHH!!"

Sosok itu terkena sabetan kunai dari seseorang yang sang anak ketahui sebagai musuh. Karena serangan itu, sang sosok melepaskan pelukannya membuat sang anak pun terjatuh.

Masalahnya, mereka berada di atas bukit dengan tebing yang curam.

Samar-samar, anak itu mendengar teriakan yang memanggil namanya. Sang anak menatap sosok itu yang terlihat ingin menyelamatkannya, namun pandangannya dengan sosok itu menghilang ketika dirinya memasuki hutan. Ia jatuh menabrak dahan-dahan pohon yang kokoh, membuat memar dan luka parah di setiap bagian tubuhnya.

Hingga akhirnya ia mendarat di tanah dengan semua luka itu. Kesadarannya telah menghilang sejak ia jatuh menabrak dahan pohon.

Anak itu terus berada di sana selama tiga hari. Anehnya, luka-luka yang ia terima perlahan pulih dan tidak meninggalkan jejak seakan luka itu pernah ada.

Di saat tubuhnya telah pulih sepenuhnya, ia ditemukan sekelompok shinobi yang sedang berpatroli.

Shinobi itu dari Konoha.

--Alone--

Naruko menatap bosan pada buku di hadapannya. Ia tidak suka membaca buku. Yah, itu bukan hobinya. Daripada membaca buku, Naruko lebih suka latihan praktik secara langsung, karena dengan begitu Naruko langsung memahami apa yang ia pelajari.

Karena bosan, Naruko memilih menghabiskan waktu istirahatnya dengan berjalan-jalan di koridor Akademi. Naruko tidak tahu di mana Sasuke, mungkin pemuda Uchiha itu bolos lagi? Yah, itu sudah kebiasaan sang prodigy. Lalu, tentang Arashi. Naruko tidak bisa terus menerus bersama Arashi. Setidaknya, biarlah Arashi mengenal lebih dekat dengan teman laki-lakinya.

Ah, entah mengapa Naruko teringat akan pertemuan dirinya dengan sang kakak, Naruto.

"Oh? Jadi dia adikku itu, ya?!"

Naruko menabrak seseorang karena tidak fokus. Ia menunduk meminta maaf.

"An, maafkan saya."

"Tidak apa, saya juga salah."

Setelah itu, Naruko kembali melanjutkan perjalanan menghabiskan waktu istirahatnya.

"Ah, tunggu sebentar, Naruko-san!"

Naruko berhenti dan menoleh, mendapati orang yang tidak sengaja ia tabrak berlari mendekatinya.

"Ya, ada apa?"

Orang itu memberikan sesuatu, membuat Naruko terkejut.

"Maaf, anda menjatuhkan ini sebelumnya."

Itu sebuah liontin berwarna emas yang pernah Naruko tunjukkan pada Arashi dulu.

"Ah! Terima kasih!" Naruko pun menerimanya tanpa sungkan. Orang itu menunduk sejenak, lalu pergi.

Naruko memeluk erat liontin saku itu. Ia sangat menyayangi benda itu bagaikan barang berharga. Bahkan menurutnya, permata tidak ada tandingannya dengan liontin yang ia peluk itu.

Karena liontin itu adalah pemberian dari Naruto.

--Alone--

"Kakak?"

Gadis kecil itu menatap sang kakek bingung. Kepalanya ia miringkan sehingga terlihat lucu untuk anak seusia dirinya.

"Ya, aku akan mengenalkan mu pada kakakmu," kata sang kakek dan menuntunnya menuju suatu tempat.

"Tapi, aku tidak punya saudara."

"Tidak, kau salah. Kau memilikinya."

Mereka tiba di suatu hutan yang lebat. Gadis itu sedikit takut, namun genggaman hangat dari tangannya mampu menenangkan dirinya.

"Itu dia."

Sang kakek menunjuk suatu tempat. Sang gadis mengikuti arahnya, menemukan sosok seorang anak laki-laki yang sedang berlatih tak jauh dari mereka.

Anak laki-laki itu tampak menyadari kehadiran mereka berdua, kemudian melambaikan tangannya.

"Jii-san!"

Sang kakek membalas lambaian tangannya. Anak laki-laki itu berlari mendekat, menyadari ada kehadiran orang lain selain dirinya dan si kakek.

"Hai," sapa sang anak ramah. Gadis itu mengangguk kaku, "h-hai juga."

Sang kakek tersenyum.

"Ini adikmu," ucap si kakek pada sang anak. "Dan ini kakakmu," lanjutnya pada sang gadis.

"Oh? Jadi dia adikku itu, ya?!" ujar si anak semangat. Ia tampak mencari sesuatu di saku celananya. Sang gadis menatapnya penasaran.

"Ah! Ini! Untukmu!" serunya seraya memberikan sebuah liontin berwarna emas dengan bentuk bundar. Sang gadis terkejut, "untukku?!"

"Ya! Hadiah untuk pertemuan pertama kita!"

Sang gadis agak ragu menerimanya, namun melihat senyum tulus dari laki-laki di hadapannya membuatnya yakin untuk menerimanya.

Sang gadis membalas senyumannya.

"Te-terima kasih, Onii-san."

--Alone--

Sarutobi Hiruzen menatap sosok Hokage di depannya. Minato hanya menghela nafas gusar.

"Aku tahu kau khawatir terhadap istrimu. Jadi, pergilah dan nikmati cutimu saat ini." Sandaime menghisap pipanya. "Lagipula, keluargamu lebih penting dari apapun, 'kan?"

Minato tersentak mendengarnya, kemudian tersenyum pahit.

"Itu memang benar. Tapi, tugasku di sini."

Hiruzen memejamkan matanya sejenak.

"Kau tahu, 'kan, Minato? Tentang anak-anakmu itu."

Minato menjadi tegang karenanya. Ia tahu maksud Sandaime. Ia mengerti maksudnya. Ia sangat mengerti, bahkan mungkin hanya dirinya satu-satunya yang mengerti, jika Kushina tidak dihitung.

"Tapi, karena itulah aku tidak bisa menolong satupun dari mereka," balas Minato sedih. Hanya ada Hiruzen di sana, jadi hanga dirinya yang melihat sosok Minato dibalik jubah Hokage yang menutupinya selama ini.

Inilah sosok Minato sebenarnya. Seorang pengecut yang ingin menjadi Hokage untuk melindungi orang yang ia cintai. Konoha adalah salah satunya, Kushina adalah bagian di dalamnya, dan anak-anaknya adalah harta dalam hidupnya.

Hiruzen menghela nafas.

"Seperti kata Jiraiya. Mungkin ramalan ini akan benar-benar terjadi suatu saat nanti."

Minato terdiam. Ia tentu tahu ramalan yang dibicarakan Sandaime.

"Kenyataan bahwa Naruko pembawa Harapan, dan Naruto pembawa Keputusasaan."

•••

Author's Note :

Hehehe, tambah rumit ya? Saya sendiri terbawa suasana untuk menambah misteri😅

Yo, saya berusaha semaksimal mungkin untuk membuat bagian lanjutannya 😆 Walau ini melelahkan~

Saya sadar alur cerita ini lambat, jadi saya sedikit merombak ulang agar Arc pertama ini cepat berakhir. Secepat saya bisa menyelesaikan ujian ini~

Oh, dan saya ingin mengajukan pertanyaan! Ini sedikit mengandung sop iler alias spoiler, tapi tidak apa-apa deh.

Untuk pembentukan team 7 nanti, yang aslinya Sasuke, Sakura, Naruto pastinya di sini berubah menjadi Sasuke, Naruko, dan ...

Nah, yang titik-titik (...) itu mau siapa yang mengisi? Apakah Arashi? Atau Sakura? Atau karakter baru? Saya bisa melakukan improvisasi nantinya~

Tapi, akan memakan waktu jika menggunakan karakter lain seperti Hinata atau misalnya Shikamaru. Ya iyalah, mereka 'kan sudah punya posisi masing-masing 😅

Saya seharusnya up chapter ini hari Kamis malam Jum'at nanti, tapi melihat jadwal yang padat membuat saya akhirnya up hari ini...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top