Chapter 7 : Setelah dan Sebelum
Naruto memandang langit biru. Entah mengapa ia begitu lelah hari ini, ingin rasanya berbaring di kasur dan terus tidur dalam bungkusan selimut sambil memimpikan sesuatu yang menyenangkan.
Dan berharap tidak akan pernah bangun lagi.
Naruto mendengus kasar memikirkannya.
Setelah meletakkan semua barang belanjaannya di dapur, ia kembali berjalan berkeliling kota. Naruto mampir sejenak ke Ichiraku, kemudian melanjutkan perjalanannya. Tidak banyak yang ia lakukan, hanya berjalan, lalu istirahat sebentar di kedai terdekat, terus berjalan lagi, dan kemudian istirahat kembali.
Singkatnya, Naruto kurang kerjaan sekarang.
Saat berada di jalanan sepi, mendadak tubuhnya mengejang. Rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dan kepalanya seakan bisa meledak saat itu juga.
Naruto sadar, Menma mencoba mengambil alih tubuhnya dengan paksa.
"Janga...la..kukan!"
Namun, pandangannya menggelap di detik itu juga. Naruto merasa ditarik sesuatu dengan sangat kuat, menuju kedalaman kegelapan yang tak diketahui batasannya. Rantai hitam itu mengikatnya dengan erat, seakan tak akan membiarkan dirinya bebas begitu saja.
Samar-samar, ia mendengar suara familiar yang selalu menemaninya itu.
"Tidurlah, temanku."
Kini Menma yang mengambil alih. Ia membersihkan pakaian Naruto seakan pakaian itu kotor, kemudian menghela nafas panjang. "Kau berjalan tak tentu arah hanya untuk melupakan kejadian tadi pagi, 'kan?" gumamnya dengan suara rendah. Matanya menatap tajam ke depan, kemudian kembali berjalan entah ke mana.
"Maaf, tapi aku akan mengambil alih sejenak."
Menma menatap langit yang mulai terlihat perubahan warnanya.
"Sebentar lagi sore tiba."
.
.
.
Menma mengusap wajahnya kasar.
"Sungguh! Aku tak menyangka akan bertemu Kushina! Argh!"
Ia menendang tong sampah, tak peduli dengan isinya yang tumpah dan berhamburan di jalanan. Toh, di sekitarnya sedang sepi saat ini.
"Apalagi ada Kakashi! Cukup sudah dengan semua kesialan ini!"
Menma melampiaskan kekesalannya dengan menendang semua benda yang terlihat di matanya. Entah itu tong sampah, kerikil, tiang lampu, dinding, ataupun kucing jalanan(?) semua ia tendang. Bahkan rumput yang bergoyang pun ia tendang :v
Sekarang tempat tujuan Menma adalah tempat kesukaannya―tak lain adalah jembatan di pinggir danau itu. Dalam perjalanannya, terkadang ia menemui beberapa orang yang berjalan bersama keluarganya, hal itu membuatnya mendengus kesal.
"Aku tidak butuh itu."
Karena menurut Menma, satu-satunya yang ia miliki sekarang hanyalah Naruto.
Naruto adalah kehidupannya.
Naruto adalah temannya.
Naruto adalah keluarganya.
Naruto adalah dirinya.
Langkah Menma berhenti. Ia kembali mengenang masa lalu, sebuah ingatan yang kenyataannya tak ingin ia ingat.
"Karena kau! Kau! Hidupku jadi seperti ini! Kenapa harus aku?! Kenapa tidak orang lain?! Kenapa?! Kenapa?!"
"..."
Menma terdiam memikirkannya. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, kemudian berlalu menuju jembatan. Di sana, ia duduk di tepi sembari memandang pantulan diri di permukaan air.
Itu wajah Naruto, bukan wajahnya.
Menma meraba wajahnya sendiri, hingga tangannya menyentuh rambut kuning milik Naruto.
"Bukankah dulu...rambutmu berwarna hitam?"
Ucapan Sasuke terngiang di otaknya. Ia mengusap pelan rambut kuning itu dengan senyum kecut. Matanya masih memandangi sosoknya dalam wujud Naruto di pantulan permukaan air.
Menma merasa aneh dengan tangannya yang mengusap rambut kuning Naruto. Ketika melihat apa yang terjadi, ia menghela nafas lemah.
"Ah, sudah mulai luntur, ya?"
--Alone--
Naruko menatap ibunya dengan penuh tanda tanya. Tidak biasanya Kushina pergi keluar rumah cukup lama. Ah, mungkin sangat lama. Buktinya adalah wanita Uzumaki itu pulang tepat saat matahari terbenam.
Ditambah bersama dengan Kakashi, ini sedikit mencurigakan. Tapi, Naruko tidak berani menanyakan apa yang terjadi. Kini, dirinya hanya duduk tenang di kursi sambil menunggu makan malam. Manik birunya menatap Arashi yang terlihat akrab dengan mantan Anbu itu. Sementara Kushina terlihat sibuk dengan masakannya.
Naruko tentu bisa memasak. Sebelumnya ia ingin membantu sang ibu, namun beliau sendiri menolaknya dengan lembut.
Entah mengapa, suasana di rumah terasa asing. Naruko merasa tidak nyaman karenanya.
Kakashi tentu menyadari itu semua, namun ia memilih untuk memalingkan muka karena tahu dirinya tidak akan membantu memperbaiki suasana. Lagipula, Kushina sendiri yang memintanya untuk tutup mulut.
Mau tidak mau Kakashi harus mematuhinya, walau ia berhadapan dengan Minato sekalipun. Kakashi sendiri tahu, Yondaime tidak akan bertindak apapun ketika mengetahui hal ini.
Namikaze Minato tidak akan bergerak dari kursinya.
Arashi yang tidak mengetahui apapun hanya terus melanjutkan pembicaraannya dengan Kakashi yang hanya dibalas dengan isyarat kepala; mengangguk dan menggeleng. Entah apa yang mereka bicarakan, kita kesampingkan saja itu.
Kushina sendiri masih mengurus masakannya. Walau tubuhnya bergerak, namun pikirannya kosong. Matanya menerawang pada kejadian sore tadi.
Saat di mana ia bertemu Naruto. Ah, Kushina meralatnya. Itu bukan Naruto, tetapi 'sesuatu' yang bersemayam di tubuh Naruto. Kushina menyebutnya 'yami'.
Kegelapan.
Kushina tidak tahu mengapa 'sesuatu' itu berada di tubuh Naruto. Kushina tidak tahu mengapa 'sesuatu' itu hidup dalam Naruto. Kushina tidak tahu mengapa 'sesuatu' itu adalah bagian dari Naruto.
Kushina tidak tahu. Dan ia berharap untuk tidak mengetahuinya.
Karena ia mengerti, 'sesuatu' itu adalah hal yang buruk.
Paling buruk.
Entah apa yang akan terjadi jika Kushina mengetahui 'sesuatu' itu, ia memilih untuk melupakannya.
Lupakan.
Lupakan itu.
Lupakan saja.
Tes...tes...
Air mata Kushina mengalir. Tentu ia tidak bisa melupakannya.
Ia tidak bisa melupakan anaknya begitu saja.
Naruto pasti sendirian.
Naruto pasti kesepian.
Narito pasti butuh teman.
Naruto pasti kesakitan.
Naruto pasti kesulitan.
Naruto pasti....
Naruto pasti...
...pasti...
...pasti...
Kushina terdiam cukup lama.
"Siapa yang sebenarnya salah di sini?"
Kushina tersenyum kecut.
"Tidak ada."
--Alone--
"Sendiri, huh?!"
Sasuke menatap langit berbintang. Ia sendirian saat ini, duduk di sebuah dahan pohon yang rindang . Tentu dia berada di hutan, tepatnya Hutan Kematian.
Tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Naruto.
Di pohon ini.
"Namaku Naruto. Aku teman dari kakakmu."
Mata onyx itu terpejam. Bayangan siluet berambut pirang jabrik muncul dalam benaknya.
"Dan Sasuke, ini temanku, Naruto."
Siluet rambut kuning itu berubah menjadi rambut hitam. Walau terlihat samar, Sasuke sangat yakin dirinya benar.
Kenyataannya rambut Naruto berwarna hitam.
Ingatannya dengan Itachi terbesit sejenak. Saat di mana sang kakak memperkenalkan orang yang bernama Naruto berambut hitam itu. Keduanya mirip, pengecualian dengan warna rambutnya.
"Ah, kalau tidak salah yang berwarna hitam itu sedikit lebih panjang."
Sasuke tidak yakin tentang itu, namun ia hanya mengangkat bahu tidak peduli.
Beberapa saat setelah itu, ia melompat turun, memutuskan untuk pulang ke rumah. Namun, dalam perjalanannya ia melihat sesuatu yang terkubur cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Merasa penasaran, Sasuke berjalan mendekatinya.
Kedua alis matanya terangkat setelah melihat apa yang terkubur dalam tanah itu. Setengah bagiannya mencuat dari tanah, menunjukkan sesuatu yang terbungkus perban kotor karena tanah. Di lihat dari segi manapun, itu adalah pedang.
Pedang yang cukup menarik.
Sasuke ingin menyentuhnya, mencabutnya dari tanah, kemudian mengayunkannya di udara bagai samurai sejati. Namun, belum sempat ia menyentuh tangannya seakan tersengat sesuatu. Reflek Sasuke melangkah mundur karenanya.
"A-apa?"
Belum selesai sang Uchiha terkejut, mendadak tengkuk lehernya dipukul sehingga ia kehilangan kesadaran.
.
.
.
"Selamat tidur~"
--Alone--
Menma berjalan berkeliling melewati setiap pohon. Gelapnya malam tak menghalangi penglihatannya. Toh, ia sudah menghafal betul setiap letak pohon yang berada di Hutan Kematian. Itu bukan masalah besar bagi seorang Menma.
Kini, ia berhenti di sebuah pohon yang dulunya tempat penyimpanan katana-nya. Mungkin kata 'penguburan' lebih tepat dibanding 'penyimpanan', Menma tak memikirkannya lebih jauh. Ia menggali tanah di bawah akar itu, hingga menampakkan gagang pedang yang familiar di matanya.
"Haruskah aku menggunakannya nanti?" gumamnya pada diri sendiri. Sangat jelas ia bertanya pada Naruto yang berada di alam bawah sadarnya.
Naruto sendiri mendengus kasar. "Terserah."
"Hei, hei, jangan marah. Aku tak sengaja membuatmu tertidur tadi."
Naruto memutar bola matanya, bosan mendengar alasan yang sama. "Kau perlu melatihnya lagi."
Menma tertawa kecil mendengarnya. "Dan kau juga perlu banyak latihan lagi."
Menma kembali menggali lebih dalam hingga pedang panjang itu menampakkan setengah bagiannya. Bilahnya yang terlihat dari balik perban memantulkan cahaya bulan, namun itu menambah kesan fantastis untuk senjata tajam itu.
Belum sempat Menma mencabutnya, instingnya merasakan kehadiran seseorang. Hanya satu orang, dan mulai datang mendekat. Dengan cepat Menma melompat dan bersembunyi di atas pohon, di balik bayang-bayang dedaunan.
Alisnya terangkat melihat Uchiha yang ia kenal itu.
"Sasuke? Sedang apa dia larut malam di sini?" ujarnya hampir berbisik. Melihat Sasuke yang ingin mengambil katana, Menma segera beraksi untuk menghentikannya. Tepat setelah Sasuke melompat mundur, Menma memukul tengkuk lehernya dan membuat sang Uchiha kehilangan kesadaran.
"Hm? Tadi dia melompat mundur?"
"Bodoh. Kau lupa dengan pedang itu?"
Menma memiringkan kepalanya, tampak berpikir tentang kata-kata Naruto. Beberapa saat kemudian ia tertawa setelah mengingatnya.
"Oh, benar juga! Kenapa aku bisa lupa, ya?"
"Jangan tanya padaku."
Menma berjalan mendekati Sasuke, kemudian memindahkannya ke tempat yang aman. Senyum simpul ia ukirkan di wajahnya itu.
"Selamat tidur~"
Sekarang, Menma menatap katana yang panjangnya melebihi ukuran katana pada umumnya.
"Nah, apa yang harus kita lakukan pada pedang itu?"
"Jangan menyebutnya seperti itu. Itu sudah menjadi milik kita, Menma."
"Oh, benar. Maaf."
Menma mencabutnya dengan mudah, kemudian mengayunkannya di udara seakan pedang itu tidak berat sama sekali.
"Haruskah kita membuangnya?"
--Alone--
Minato menghela nafas. Ia merebahkan diri pada sofa empuk di ruang tamu. Pulang larut malam memang pilihan buruk, namun Minato sudah merindukan kasur tidurnya yang sangat nyaman itu.
Beralih menaiki tangga, samar-samar Minato mendengar suara tangisan. Suaranya memang teredam oleh sesuatu, namun bagi Minato suara itu sangat jelas di telinganya.
Minato tahu siapa pemilik suara itu.
Dengan pelan, ia membuka pintu kamar miliknya sekaligus sang istri. Sosok Kushina terlihat jelas di sana, meringkuk di atas kasur dengan rembesan air mata yang terus mengalir dari sudut matanya.
Kushina mimpi buruk.
Minato kembali menutup pintu, kemudian berjalan pelan mendekati sang Uzumaki. Tangannya mengusap lembut surai merahnya, berusaha menenangkan istri tercintanya.
"Maafkan aku, Kushina. Aku tak bisa berbuat apapun. Aku masih seorang pecundang seperti dulu."
Minato memeluk erat tubuh ramping wanita pendampingnya itu.
"Maaf...maafkan aku..."
Minato bisa mendengar Kushina bergumam sendiri dalam tidurnya. Yondaime itu tahu apa yang dimimpikan sang Habanero.
Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memeluk Kushina.
--Alone--
Wanita berambut merah itu memandang sekitarnya. Itu adalah pemandangan desa Konoha. Penduduk yang tinggal di dalamnya terlihat begitu ceria. Hangat rasanya ketika kau melihat kebahagiaan orang lain yang terpancar jelas.
"Okaa-san!"
Kushina terperanjat mendengarnya. Ia menoleh ke samping, di mana sosok anak kecil berdiri di sana menatapnya dengan lugu.
Kushina tak bisa menahan air matanya lagi.
"Ka-kau..."
Belum sempat Kushina memeluknya, sosok anak kecil itu menghilang dari pandangan. Kushina terkejut, kemudian mengedarkan matanya ke semua arah, mendapati dirinya berada di tempat lain.
Ini ruang Hokage.
"Tidakkah ada cara lain untuk melakukannya?!"
Kushina bisa melihat sosok Minato yang tampak menahan amarah. Di hadapannya, kedua tetua desa menatapnya datar.
"Tidak ada, kecuali kau ingin dia berada di tangan Danzo."
Minato merapatkan bibirnya, menahan semua umpatan sumpah serapah yang akan ia lontarkan.
"Pikirkan baik-baik, Yondaime Hokage-sama."
Kemudian pemandangan itu berganti lagi. Kini Kushina berada di dalam rumah dengan Minato yang terlihat murung.
Hanya dirinya dan Minato.
"Maafkan aku, Kushina. Aku tak bisa berbuat apapun. Aku masih seorang pecundang seperti dulu."
Kushina terkejut mendengarnya. Segera ia sadar bahwa ini adalah ingatan masa lalunya. Ketika sadar tentang apa yang terjadi, sosoknya segera berlari keluar rumah menuju suatu tempat.
Di sana, di sebuah kasur putih, terbaring seorang anak kecil. Kulitnya terlihat pucat, rambut hitamnya terlihat tidak terawat, matanya terpejam seakan ia tidur dan tak akan pernah bangun lagi.
Kushina menangis. Ia jatuh terduduk di samping kasur itu.
"Maaf...maafkan aku..."
Kushina terisak, semua ingatan itu memasuki pikirannya.
"Kau pasti sendirian di dunia ini."
--Alone--
Sosok dalam kegelapan malam itu hanya diam menatap langit malam. Api unggun di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatiannya.
"Zetsu."
Yang dipanggil muncul dari dalam tanah, menampakkan wujudnya yang menyerupai venus. "Ada apa?"
Yang ditanya terdiam sejenak. "Bagaimana perasaanmu ketika kau diasingkan hanya karena kau berbeda?"
Sang venus memiringkan kepalanya. "Aku tidak mengerti apa maksudmu, Itachi."
Pemilik mata sharingan itu menghela nafas panjang. "Lupakan saja."
Ia kembali menatap langit berbintang.
"Kau tahu, kau tidak sendirian di dunia ini, 'kan?"
--Alone--
"Aku tahu, aku tidak sendirian, huh?"
Menma mendengus kasar ketika mengatakannya.
"Menurutku, itu kalimat terbodoh yang pernah aku dengar."
Matanya yang tersembunyi di balik perban itu menatap cahaya di hadapannya. Itu adalah apa yang dilihat oleh Naruto. Benar, sekarang si Namikaze sulung itu yang mengambil alih.
Dan seperti biasanya, Naruto terus mengatakan kalimat yang sama seperti mantera, membuat kesan aneh di telinga Menma.
"Memangnya apa pedulimu?" Naruto berujar sambil menatap langit malam. Ia berbaring di atas jembatan, sementara kakinya berayun di bawahnya. "Karena kau menghancurkan bukit, aku berakhir di sini."
"Tapi, kau tetap bisa melihat bintang, 'kan?"
Naruto mengabaikannya. Pikirannya melayang pada kejadian yang sudah lama terjadi. Kembali mengenang itu semua membuat dirinya menghela nafas panjang.
"Menma," panggil Naruto sedikit serak, membuat sang empu nama mengangkat sebelah alis matanya. "Apa?"
"Kira-kira, apa yang dilakukan Itachi-san sekarang?"
Menma mendengus kasar.
"Siapa yang tahu?"
--Alone--
Naruko menatap sosok di hadapannya yang terpenjara dalam kurungan raksasa. Makhluk besar dengan bulu oranye itu menatapnya tajam dengan manik merahnya.
"Apa yang kau inginkan, bocah?"
Sang ekor sembilan membuka mulutnya, menampilkan sederet gigi putih yang tajam. Naruko diam berdiri di sana, sudah terbiasa akan keberadaan Bijuu terkuat itu.
"Aku sendiri tidak tahu mengapa bisa ada di sini."
Kyuubi mendengus kasar mendengarnya. Ia tak bisa membagi kebenciannya pada sang wadah karena Naruko sendiri tidak memiliki kebencian di hatinya.
Dia hidup dengan penuh kasih sayang.
Naruko memandangnya. "Jadi, apa keputusanmu?"
Kyuubi mengernyit mendengarnya. "Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura lupa. Ayo kita berteman, itu yang kukatakan seminggu yang lalu."
"Bodoh. Aku sudah mengatakannya berkali-kali, lebih baik aku mati daripada berteman dengan manusia sepertimu."
Naruko menghela nafas, memang sulit berbicara dengan ekor sembilan. Tapi, biar bagaimanapun ia tidak akan menyerah untuk membuat Kyuubi menjadi temannya.
Itu yang dikatakan Naruto.
"Kau masih berhubungan dengan orang itu?"
Naruko menatapnya tajam, jelas tahu siapa yang dimaksud Kyuubi. "Jangan memanggilnya 'orang itu'. Dia adalah kakakku!"
Kyuubi memejamkan mata sejenak. "Begitukah? Itu menurutmu, tapi tidak untukku."
"Apa pedulimu? Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, 'kan?"
Kurungan itu menggelap, seakan kegelapan menelan sosok Kyuubi sehingga hanya menyisakan matanya yang berwarna merah darah itu. Pupil vertikal miliknya memandang sang Namikaze bungsu.
"Kau tidak tahu apapun."
Naruko tentu tidak suka dengan apa yang dikatakan sang Bijuu. "Apa maksudmu?!"
Perlahan, sosok Kyuubi menghilang seutuhnya dalam kegelapan.
"Kau tidak tahu kenyataan yang sebenarnya."
Suaranya menggema ke setiap ruang. Bahkan mampu membuat air yang menggenang di lantai bergetar karenanya.
"Apa yang tidak aku ketahui?!"
Hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya suara hela nafas yang besar terdengar.
"Kau tidak tahu...siapa sebenarnya orang itu."
--Alone--
Manik merah itu terbuka, memandng sekelilingnya. Merasa familiar dengan tempatnya berdiri sekarang, namun ia tidak bisa mengingatnya.
"Di mana...ini?"
Arashi berjalan pelan mengelilingi ruangan itu. Ia tidak ingat sejak kapan berada di sana, mungkin ini hanya mimpi, menurutnya. Tempat itu seperti ruangan penelitian, terlihat dari berbagai peralatan untuk meneliti yang biasa dilakukan para peneliti ahli.
Dari semua barang yang ada, yang paling menarik perhatian Arashi adalah apa yang ada di tengah ruangan. Itu sebuah tabung cairan berukuran besar yang sudah pecah. Hancur lebih tepatnya.
Tabung itu cukup untuk memuat satu orang manusia di dalamnya. Tapi, karena sudah hancur tabung itu tak bisa digunakan lagi.
Arashi menyentuh kaca tabung yang masih tersisa di sana, mengusapnya dengan pelan seakan takut hancur hanya dengan satu jari. Arashi memandangi tabung itu, ekspresi wajahnya sulit diartikan.
Pandangannya menatap lekat-lekat apa yang ada dalam tabung itu. Sekelabat ingatan memasuki pikirannya, membuat kepalanya berdenyut sakit.
"Tidak mungkin..."
Arashi menatap tak percaya pada tabung di hadapannya.
"Ini... tempat aku dilahirkan."
Suara derit pintu terdengar memenuhi ruangan. Arashi berbalik menatap satu-satunya pintu yang ada di sana. Matanya melebar tatkala melihat sosok yang berdiri di ambang pintu itu.
Sosok dengan rambut merah panjang, bahkan hampir menyentuh lantai. Dan juga, sosok itu tak memakai pakaian. Hanya bermodalkan rambut panjang yang sanggup menutupi seluruh bagian tubuhnya.
Bukan itu yang membuat Arashi terkejut, tapi ingatan tentang siapa sebenarnya sosok itu.
"Itu...Arashi."
--Alone--
Sandaime menatap bungkusan yang bahkan tak tersentuh sejak tadi pagi. Ia tahu Naruto tadi berbelanja di pasar, kemudian bertemu Kushina secara tidak disengaja, dan berakhir berkeliling desa untuk melupakan peristiwa itu sejenak.
Tidak sulit untuk dirinya mengetahui hal itu.
Ia duduk di sofa, menghisap pipanya yang masih berasap. Matanya menerawang ke langit ruangan, memikirkan sesuatu.
Kulitnya yang keriput semakin keriput ketika memikirkannya.
"Setelah itu, apa yang akan terjadi?"
Ia bergumam sendiri, menghela nafas panjang.
"Dan sebelum itu terjadi, apa yang akan dilakukan?"
Tangannya bergerak untuk membuang isi dari pipanya.
"Ketika dilakukan, setelah itu terjadi dan kemudian sebelum itu terjadi, mungkin akan membuatmu bingung."
Hiruzen kembali menghisap pipanya. Matanya terpejam, menikmati kesunyian yang ada.
"Karena kau bingung, maka kau tidak akan tahu."
Senyum kecut terlukis di wajah keriputnya.
"Ketidaktahuan itu tidak buruk juga. Justru mungkin akan menyelamatkanmu dari bencana."
Hiruzen melepas topi Hokage-nya, meletakkannya di atas meja.
"Dan seharusnya aku memiliki ketidaktahuan itu. Seharusnya...aku tidak mengetahuinya."
"Seharusnya, tidak ada yang mengetahuinya."
"Sebaiknya tidak ada yang tahu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top