Chapter 5 : Sosok Sasuke


Kakinya melangkah memasuki kawasan hutan. Sunyi mengiringi setiap detik perjalanannya. Tangannya mengepal kuat, giginya berderit, dan nafasnya memburu.

Ia menahan amarah.

Setelah masuk lebih dalam, serentak kakinya berhenti tepat di depan sebuah pohon yang batangnya cukup besar. Seraya memandang tajam pada pohon di depannya, tangannya terus melancarkan pukulan pada sasaran di hadapannya.

"Bencilah aku."

Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Wajahnya pun menunjukkan raut kebencian.

"Kau adik yang bodoh."

Tendangan melesat memukul batang pohon. Ia terhenti dengan kaki masih melekat pada batang. Nafasnya memburu dengan cepat.

"Ketika kau mendapat mata ini, datang dan bunuh aku."

Wajahnya menggelap. Dengan sekuat tenaga pukulan terakhir ia kerahkan pada batang pohon.

"Hei, apa yang kau lakukan di sini?"

Suara itu membuatnya tersentak. Mendadak tangannya berhenti di tengah udara; belum mencapai pohon. Mata hitam legamnya melirik ke atas, mendapati seseorang duduk di salah satu dahan pohon dengan santai. Ia bisa melihat mata biru jernih bagai air itu menatapnya.

"Hm? Oh, kau Sasuke? Adik dari Itachi-san, bukan?"

Matanya menatapnya tajam. Raut wajahnya menunjukkan tanda tidak suka pada orang yang sepertinya mengenal kakaknya.

"Siapa kau?"

Orang itu terdiam sejenak. Mata hitamnya tidak dapat melihat sosok orang itu karena dedaunan menutupi cahaya bulan. Tapi ia dapat merasakan sosok itu tidak memiliki niat jahat padanya.

Mendadak orang itu melompat turun dan mendarat sempurna di tanah. Saat itulah, ia bisa melihat jelas sosok di balik bayang-bayang dedaunan.

Sosok itu mengingatkannya pada salah satu orang yang ia kenal di Akademi.

"Ah, padahal kita cukup sering bertemu beberapa kali."

Orang itu berjalan mendekat. Sebuah senyuman kehangatan terlukis di wajahnya, membuat dirinya terlihat begitu menawan.

"Namaku Naruto. Aku teman dari kakakmu."
.

.

.

Dengan perlahan kelopak mata itu terbuka, menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu asing diingatannya. Setelah kesadarannya pulih, segera ia bangkit dari kasur dan menatap ke sekitar. Dirinya berada di tempat yang tidak dikenalnya, semacam ruangan tidur dengan desain sederhana.

Pintu ruangan mendadak terbuka membuat terkejut. Namun rasa kejut itu memudar setelah melihat siapa yang membuka pintu.

"Oh, selamat pagi, Sasuke."

Sasuke mendengus mendengarnya. "Pagi," balasnya singkat. Manik hitam itu menatap sekeliling. "Kenapa aku di sini?"

"Kau tidak ingat?"

Sasuke mengernyit, kemudian memutar otak untuk mengulang kejadian kemarin. Beberapa saat setelahnya ia menggeleng.

"Setelah makan malam, kau tertidur. Arashi dan Naruko harus segera pulang, jadi tidak bisa mengantarmu. Dan aku tidak tahu... alamat rumahmu," jelasnya dengan senyum masam.

Sasuke terdiam, menatap kakak dari rivalnya itu. Naruto hanya menyunggingkan senyum kecil, kemudian berbalik pergi. "Sarapan sudah siap. Sebaiknya kau segera makan dan kembali ke rumah."

"Kau mengusirku?"

Naruto tertawa mendengarnya.

"Tidak, tidak. Maksudku, kau harus bersiap untuk Akademi nanti, 'kan?"

Sasuke menghela nafas, kemudian menyusul Naruto yang mendahului.

--Alone--

Sarapan pagi keluarga Namikaze itu berlangsung dengan tenang. Minato sang kepala keluarga sibuk dengan surat kabar dan kopi panasnya, Kushina sang istri mencuci piring sambil bersenandung ria, sementara Naruko dan Arashi memakan sarapan mereka dalam diam.

Kushina menyadari ada keanehan yang terjadi pada suaminya. Sejak kemarin―tepat setelah berbicara pribadi dengan Sarutobi Hiruzen―Minato terlihat terbebani, seakan pria yang menjabat sebagai Yondaime itu memikirkan sesuatu yang rumit. Kushina sudah membujuk Minato untuk berbagi kisah, namun kepala Namikaze itu menolaknya dengan halus.

Selain Minato, Kushina juga merasakan kedua anaknya mengalami hal serupa. Memangnya, apa yang dipikirkan anak-anak berumur 9 tahun seperti mereka?

Oh, benar, karena Arashi kehilangan ingatannya ia dianggap seusia dengan Naruko. Tanggal lahirnya pun disesuaikan dengan ditemukannya anak berambut merah itu di perbatasan.

Kushina menghela nafas, keanehan ini membuatnya tidak nyaman. Perasannya mengatakan sesuatu, seakan ada yang janggal.

Kushina tersentak. Tak lama, air mata mengalir di pipinya.

Ia menangis dalam diam.

--Alone--

Sasuke memejamkan matanya, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Tubuhnya bersandar pada dinding atap dan kakinya menjuntai ke bawah.

Ia bolos kelas Akademi.

Tentu ini bukan pertama kalinya ia bolos, bahkan Sasuke tidak peduli lagi jika ia ditegur oleh Umino Iruka.

Ia tidak peduli lagi.

Pikirannya melayang pada kejadian lalu. Saat di mana Itachi membantai klan membuat raut wajahnya buruk seketika. Namun perlahan berubah ketika ingatannya mengenai pertemuan pertama dengan Namikaze Naruko.

Gadis kuning itu bersifat ekstrovert dibandingkan dirinya yang cenderung introvert. Naruko bagai matahari, sementara dirinya bagaikan bulan.

Perbandingan yang sesuai bukan?

Pertemuannya dengan Naruko karena sang Yondaime yang memperkenalkannya secara langsung. Ayah dari Naruko itu yang mengurus segala keperluannya sejak klan Uchiha telah tiada di Konohagakure.

Ah, tidak sepenuhnya tiada karena Sasuke masih hidup. Dan pastinya Uchiha Itachi masih hidup di luar sana.

Kepingan ingatan lain memasuki pikirannya. Itu mengenai pertemuan pertamanya dengan Naruto.

"Orang itu..."

Sasuke tidak tahu harus berpendapat apa mengenai kakak dari rivalnya itu. Jika digambarkan Naruto seperti cahaya, namun bisa menjadi kegelapan disaat bersamaan.

Naruto bagai siang dan malam di waktu yang sama.

Sayangnya, Sasuke tidak tahu mengapa penggambaran seperti itu muncul di benaknya. Yah, Sasuke tidak perlu peduli tentang itu.

Tujuannya sekarang adalah membalas dendam pada Uchiha Itachi.

"Itachi-san tidak pernah menginginkan hal ini."

Kalimat itu mendadak muncul begitu saja. Sasuke mengepalkan tangannya.

"Dia tidak mungkin akan membunuh klan yang merupakan darahnya sendiri."

"Diam."

Darah mengalir dari bibirnya. Tanpa sadar, Sasuke menggigit bibirnya sendiri.

"Itachi-san pasti punya alasan melakukan itu."

Kalimat itu membuatnya terdiam. Pandangannya menerawang ke langit biru. Mendadak sekelabat ingatan lain memasuki pikirannya.

Ingatan tentang sosok kakaknya dengan air mata.

Matanya berubah menjadi sendu.

"Benarkah itu...Nii-san?"

--Alone--

Minato berjalan memasuki ruang kerjanya. Di sana telah hadir sosok Hiruzen dan mantan murid didiknya, Hatake Kakashi. Tidak seperti Sandaime, Kakashi membungkuk hormat pada pemimpin tertinggi.

"Sensei..."

"Kakashi, terima kasih sudah meluangkan waktu."

Pria dengan masker itu hanya terdiam mendengarnya. Sebelah matanya menatap sosok yang menjadi guru terdahulunya itu kini duduk di kursi Hokage.

"Kakashi, aku langsung ke intinya. Aku akan mengeluarkanmu dari Anbu."

Pernyataan itu jelas membuat sang empu terkejut. "Keluar? Tapi, mengapa?!" serunya dengan suara naik satu oktaf tidak peduli ia sedang berhadapan dengan siapa. Minato memberikan secarik kertas pada Kakashi. "Aku ingin kau menyelidiki ini."

Kakashi menerima kertas itu dan membacanya sebentar. Manik hitamnya terbelalak. "Sensei, ini..."

Minato melirik pada Hiruzen yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. "Seperti yang Anda inginkan, Ujian Chuunin akan segera dilaksanakan. Dan Konohagakure akan menjadi tuan rumahnya. Saya sudah mengirim utusan untuk ke setiap desa yang ada, termasuk empat desa itu," jelas Minato panjang kali lebar sambil mengerjakan beberapa dokumen yang tersisa.

Hiruzen terbatuk sebentar. "Lalu, keinginan keduaku. Bagaimana?"

Tangan Minato terhenti. Mata terpejam, tangannya menggenggam erat pena.

"Tentu saja, dia akan ikut serta."

--Alone--

Sosok itu melompat dari dahan ke dahan lainnya dengan cepat. Setelah beberapa saat ia berhenti. Pandangannya tertuju pada salah satu dahan tak jauh dari posisinya.

"Ada apa?"

Sosok lain menyerupai tumbuhan venus muncul. Wujud setengah warna di dalamnya hanya menatap manik merah dengan tiga tomoe hitam itu dengan seringai.

"Konoha akan melaksanakan Ujian Chuunin tak lama lagi."

Yang diajak bicara hanya menganggukkan kepalanya. Si warna putih memiringkan kepalanya―yang berujung si warna hitam juga ikut memiringkan kepala―dengan wajah bingung. "Apa kau punya rencana untuk tugas ini?" tanyanya.

Warna hitam mendengus. "Gunakan otak bodohmu itu."

Sementara sosok di hadapan keduanya hanya berdiri memikirkan sesuatu.

'Ujian Chuunin, ya?'

--Alone--

Naruko menghela nafas gusar. Sahabat sekaligus rivalnya itu absen kelas, dan banyak teman perempuan yang menanyakan keberadaannya. Pada Naruko tentunya.

Padahal Naruko belum bertemu dengan Uchiha itu sejak tadi pagi.

Uzumaki―Namikaze―Arashi mengerti betul apa yang sedang dipikirkan oleh saudari angkatnya itu. Dirinya juga bertanya-tanya di mana sosok anak laki-laki dengan rambut 'pantat ayam'. Terakhir kali keduanya melihat di kediaman Naruto setelah makan malam. Kemudian, mereka berdua pulang karena tidak ingin membuat Kushina khawatir.

Namun keduanya berakhir dengan ceramah dari wanita berambut merah itu.

Arashi merinding mengingat bagaimana 'ganasnya' istri Yondaime ketika marah.

Sekarang waktu istirahat, Naruko menyempatkan diri untuk mengunjungi Ayahnya di kantor Hokage. Arashi? Dia hanya mengekori di belakang. Ini pertama kalinya ia memasuki kantor di mana para pemimpin desa bekerja. Lain halnya dengan Naruko yang sudah mengetahui setiap seluk beluk gedung yang menjadi tempat Ayahnya bekerja. Naruko mengenal setiap sudut ruangan seperti ia mengenal setiap bagian tubuhnya sendiri.

Tak lama, mereka tiba di salah satu pintu yang ada di koridor. Naruko mengetuknya beberapa kali, kemudian masuk setelah mendapat jawaban dari dalam.

"Oh, Naru, Arashi, ada apa?"

Naruko sangat yakin melihat wajah Minato yang kusam berubah ceria setelah melihat kedatangan mereka. 'Mungkin Otou-san perlu istirahat?' batin Naruko berbicara.

Berbanding terbalik dengan Arashi. Jika Naruko memprihatinkan kondisi Ayahnya, Arashi justru merasa semakin kagum dengan Minato yang sekarang menjadi Ayahnya. Yang diperhatikan Arashi adalah tumpukan dokumen yang menumpuk di sudut ruangan; belum tersentuh sama sekali.

"Woah! Jadi seperti inikah tugas Hokage?!" seru Arashi semangat. Minato dan Naruko serempak tersenyum masam; tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapinya.

Sementara Arashi berkeliling ruang kerja, Naruko duduk di sofa yang tersedia di ruangan. Minato mengangkat bahu dan lanjut mengerjakan tugasnya.

Arashi mendadak berhenti berkeliling ketika melihat sesuatu.

"Na-Na-Na-Na-Na-Na-Na―"

Tangannya dengan gemetar menunjuk pada satu arah. Naruko tahu dirinya dipanggil, sehingga ia datang mendekati saudara angkatnya. "Arashi-kun, kena―"

Keduanya terdiam mematung melihatnya. Minato yang awalnya fokus pada dokumennya mulai merasa terganggu. "Kalian, ada apa?"

Serempak keduanya menoleh ke belakang dengan gemetar.

"O-O-Otou...san..." / "Mi-Mi-Minato...sama..."

Minato memiringkan kepalanya bingung, kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati kedua anaknya.

"Apa yang kalian li―"

Saat itu juga Minato terdiam mematung. Matanya terbelalak melihatnya. Wajahnya pucat seketika, bahkan mengalahkan pucatnya wajah kedua anaknya.

"Ti-tidak...mungkin..."

Apa yang ketiganya lihat mendadak bergerak membuat mereka waspada. Minato mengambil aba-aba.

"Naru, kau bersiap di kanan. Arashi, kau di kiri. Kita bunuh dia bersama-sama! Siapkan senjata kalian!"

Sosok itu berjalan mendekat, ketiganya pun semakin bersiap dengan perasaan was-was. Namun, sedetik kemudian sosok itu terbang dari tempatnya.

Naruko yang paling histeris melihatnya.

"KYAAAA!! KECOA ITU TERBANG!!!"

Dan tugas Minato pun tertunda lagi. Atau justru bertambah lagi?

--Alone--

Hiruzen memasuki rumahnya. Ah, rumah Naruto juga tentunya. Segera ia disambut oleh anak berambut kuning itu.

"Sanda―"

"Ehem!"

Naruto sweatdrop mendengar sosok Sandaime berdehem sekeras itu. "Hiruzen-jii, selamat datang."

Hiruzen hanya bersungut-sungut. "Aku pulang."

Mata sipit pria tua itu menangkap sosok lain namun tak asing di dalam rumah, sedang duduk di sofa entah melakukan apa. Hiruzen tentu mengenalnya. "Uchiha Sasuke? Bukankah kau ada kelas Akademi?"

Sasuke hanya memalingkan muka; tidak ingin menjawab. Naruto yang tahu apa yang terjadi dengan adik dari Itachi itu hanya tertawa renyah melihat tingkahnya.

"San―Hiruzen-jii, aku sudah siapkan makan siang."

"Ho~ bagus, bagus. Apa menu hari ini?"

Naruto tersenyum secerah matahari, hal ini membuat Hiruzen merasakan firasat buruk.

"Eh, aku sudah makan tadi di luar. Tidak apa-apa, panaskan untuk makan malam saja," tanggap Hiruzen dengan keringat dingin. Apa yang membuat Sarutobi Hiruzen seperti itu?

"Ah, bukan ramen, tenang saja."

Hiruzen pun menghela nafas lega.

Makan siang itu berlangsung dengan tenang, ditambah karena hadirnya sosok Uchiha Sasuke. Bahkan sikap 'keibuan' Naruto muncul mendadak ketika melihat Sasuke tidak memakan tomat yang sudah Naruto masak.

"Sasuke, kau harus makan tomat. Ini bagus untuk tubuhmu."

Sasuke tidak membalas.

"Nah, buka mulutmu. Aa~"

Hiruzen merasa aneh melihat kejadian di depannya, sementara Sasuke merasa ada yang tidak beres pada otak kakak Naruko itu. Menma yang melihatnya dari alam bawah sadar tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

Naruto tidak menyadari semua itu.

Ah, kita lewati saja bagian unfaedah ini. Intinya, karena paksaan Naruto itu Sasuke pun mencintai tanaman bernama tomat :v

Setelah Naruto mencuci piring, Hiruzen menghampiri anak sulung Namikaze itu.

"Naruto, aku ingin berbicara empat mata denganmu."

Naruto tertegun mendengarnya, ia menatap sorot mata Hiruzen yang serius dengan ucapannya. Manik birunya melirik pada Uchiha terakhir. Sasuke tentu mendengar apa yang dikatakan Sandaime tadi, sehingga ia beranjak ke lantai atas dan masuk ke kamar Naruto.

Sekarang, hanya Sarutobi Hiruzen dan Naruto yang dulunya menyandang marga Namikaze itu di dapur. Ah, jangan lupakan Menma yang tentu saja dapat melihat apa yang dilihat Naruto.

Sepertinya Hiruzen melupakan keberadaan Menma dalam diri Naruto.

"Naruto, aku langsung ke intinya. Kau akan mengikuti Ujian Chuunin nanti."

Ucapan itu bagai petir yang menyambar langsung tubuh Naruto. Bahkan dirinya merasa salah mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang telah mengasuhnya itu.

"Aku...ikut Ujian Chuunin?"

Hiruzen mengangguk. "Aku sudah meminta Yondaime untuk mengikut sertakan dirimu da―"

"Maaf, aku menolaknya."

Hiruzen terlihat tidak terkejut mendengarnya. Ia justru menghela nafas. "Aku sudah menduga kau akan mengatakannya. Tapi, sayangnya namamu sudah terdaftar."

Naruto mengepalkan tangannya. "Kenapa tidak memberitahu aku lebih dulu?!"

"Jika seperti itu, kau akan menolaknya seperti tadi," jawab Hiruzen cepat.

"Aku bahkan tidak punya tim!"

"Kau tidak harus membutuhkan tim. Aku sudah meminta persetujuan Yondaime untuk itu."

Naruto menggigit bibirnya. Namun ia tersentak ketika merasakan sebuah tepukan pada bahunya. Naruto menoleh ke belakang, mendapati sosok Menma sedang menatapnya(?) serius.

"Aku akan mengambil alih," ucapnya seraya berjalan melewati Naruto, meninggalkannya di belakang.

Naruto terkejut mendengarnya, kemudian menatap ke sekitar. Tanpa sadar ia berada di alam bawah sadar. Naruto menatap cahaya di hadapannya, mendapati sosok Hiruzen di sana.

Ah, tentu Naruto tahu itu. Ini adalah apa yang sedang dilihat oleh Menma yang sekarang mengambil alih. Kau bisa menganggapnya seperti menonton dirimu sendiri di televisi. Tapi, tentu saja ini bukan televisi biasa.

Lagipula, saat ini belum mengenal yang namanya televisi bukan?

Di sisi lain, Hiruzen tampak terkejut melihat perubahan mendadak Naruto. Saat itulah ia menyadari sosok di hadapannya bukan lagi anak Namikaze Minato, melainkan kepribadian lain Naruto.

"Menma..."

Yang dipanggil hanya tersenyum. Bukan senyuman lembut yang biasa ditunjukkan Naruto, tetapi senyuman dingin yang bahkan mampu membuat jantung orang yang melihatnya berhenti seketika. Tentu hal itu tidak berlaku bagi pria tua yang dulu menjabat sebagai Sandaime Hokage.

"Aku berbicara dengan Naruto. Kembalikan kesadarannya."

Menma hanya mendengus kecil. "Tenang saja, dia juga bisa melihat dan mendengarnya."

"Kau tidak membuatnya tidur?" tanya Hiruzen penuh dengan rasa penasaran. Menma hanya mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?"

Menma duduk di atas meja makan. Manik biru yang tenang itu mendadak berubah menjadi mematikan. "Jadi, kenapa kau ingin Naruto ikut Ujian Chuunin?"

"Sudah jelas, 'kan? Apa masih harus dijelaskan lagi?"

Menma terkekeh geli mendengarnya. "Ah, ya, lupakan pertanyaan konyol tadi." Menma mengayunkan kedua kakinya yang menjuntai, "tapi, aku menolak itu."

"Bahkan kau juga menolak. Apa alasan kalian?"

Menma berdecak kesal. "Oi, kakek tua. Jangan pura-pura lupa, ah, atau kau pura-pura bodoh?"

Hiruzen tentu tidak menanggapi hal itu. Menma menatap tajam Hiruzen. "Tentu saja karena kami orang asing."

Hiruzen menaikkan alis matanya. "Apa hubungannya dengan Ujian Chuunin?"

Sungguh jika bukan karena statusnya sebagai Sandaime, Menma akan menghajar pria tua itu. "Ada hubungannya, baka! Pikirkan juga perasaan Naruto! Dia dilupakan! Tidak ada yang mengenalnya! Dan Mina―ah, lupakan. Kau sekarang sudah tahu sendiri, 'kan?"

Hiruzen terdiam. Matanya terpejam sejenak. Tentu ia tidak bisa menyalahkan Menma sekarang. Perasaan ketika kau seakan dibuang oleh keluargamu. Hiruzen tahu banyak orang di luar sana yang juga pastinya memiliki nasib yang sama seperti Naruto. Tapi Hiruzen tidak tahu sebanyak apa Naruto memendam perasaan yang ia rasakan sejak usia tiga tahun.

Hanya Naruto dan Menma yang tahu.

Naruto menghela nafas. Ia bisa melihat dan mendengar semuanya dari alam bawah sadar. Saat itulah sebuah pikiran melintas di benaknya.

"Menma."

Menma yang merasa terpanggil menaikkan sebelah alis matanya. Bagi mereka berdua, komunikasi batin adalah hal biasa.

Hiruzen menatap Menma yang menganggukkan kepalanya sendiri entah mengapa, kemudian tak lama senyuman kecil terlukis di wajahnya.

"Kakek tua, Naruto setuju ikut dengan satu syarat. Dan, yah, aku menyukai syarat ini."

Hiruzen mengernyit. "Katakan."

Senyuman tipis itu menjadi sebuah seringai.

"Aku juga ikut andil dalam ujian ini."

Hiruzen sedikit terkejut mendengarnya. Ia mengelus jenggot putihnya, memikirkan syarat yang diajukan. Ia juga teringat atas syarat yang diajukan Minato.

"Anak itu dilarang memakai kekuatan 'itu'. Kau tentu tahu maksudku, 'kan?"

Mata sipitnya memandang sosok Menma di hadapannya. "Asal kau jangan menggunakan 'itu'."

Menma memiringkan kepalanya. "Itu?" gumamnya sembari memikirkan apa yang dimaksud. Kemudian ia menghentikan jarinya setelah mengingatnya. "Oh, maksudmu 'itu'. Yah, bukan masalah. Toh, sebagian besar Naruto yang akan menguasai ujian nanti."

Hiruzen menghela nafas lega. "Baguslah."

Walah begitu, dalam hatinya masih menyimpan keraguan.

--Alone--

Sasuke berbaring di atas kasur. Ini kedua kalinya ia berada di kamar milik Naruto. Entah mengapa ia betah untuk di sana. Mungkin suatu saat nanti ia akan pindah untuk tinggal satu rumah dengan kakak dari rivalnya itu.

Naruto dan Hiruzen tentu tidak keberatan, bukan?

Sasuke bisa memdengar sedikit keributan di lantai bawah, namun ia mengabaikannya, menganggap hal itu bagian dari diskusi.

Tetap saja, Sasuke juga penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Namun ia merasa lelah sekarang untuk menguping pembicaraan.

Lagi-lagi ingatan masa lalu melintas di benaknya. Kebahagiaannya bersama sang kakak, hingga akhirnya semuanya hancur oleh kakaknya itu sendiri. Mengingat itu membuat Sasuke mengepal tangannya erat.

Sedetik kemudian ingatan buruk itu musnah ketika ingatan tentang dirinya bertemu dengan Naruko. Kesehariannya bersama gadis energik itu memang menyita waktu dan mengganggu, tapi ia sadar hari-harinya lebih berwarna sejak saat itu.

Setelah Naruko, sosok Naruto memasuki kehidupannya. Ingatan dirinya bersama anak yang terasingkan itu memang tidak banyak, namun Sasuke sadar ia telah menganggap Naruto seperti kakaknya sendiri.

Naruto menggantikan sosok Itachi.

"Itachi-san pasti punya alasan melakukan itu."

Manik hitam itu menatap langit-langit kamar.

"Kalau itu benar, apa aku harus mencari tahu alasannya?"

--Alone--

"Sasuke."

Yang dipanggil tersentak. Ia menatap sekeliling, menyadari dirinya berada di tempat yang berbeda. Matanya beralih pada sosok yang kini menarik lengannya menuju suatu tempat.

Manik hitamnya terbelalak melihatnya.

"Nii...san..."

Yang dipanggil hanya memiringkan kepalanya, "kau kenapa, Sasuke? Seperti melihat hantu."

Kata terakhir membuat Sasuke bungkam. Ia mengusap matanya dengan tangan tersisa, memastikan apa yang ia lihat adalah kenyataan.

"Nii-san?"

Langkah sang kakak terhenti. Ia mensejajarkan tingginya dengan sang adik yang jauh lebih rendah darinya.

"Sasuke, kau sakit?"

Tangannya terulur untuk menyentuh kening sang adik; memastikan suhu tubuhnya. Sasuke terperanjat merasakan sentuhan lain di kepalanya.

Perasaan ini... sudah lama ia rindukan.

"Hm? Kau tidak panas. Apa mungkin karena cuacanya?"

Manik hitam Sasuke memperhatikan setiap gerak-gerik sosok Uchiha Itachi di hadapannya. Rasanya ada yang aneh. Sasuke sangat yakin ia membenci kakaknya itu dari lubuk hatinya yang terdalam. Tapi, ketika sosok kakaknya tepat ada di hadapannya ini...mengapa perasaan itu berubah?

Tidak, rasa benci itu tidak berubah. Sasuke menyadari itu. Ia membenci kakaknya, namun di sisi lain ia juga merindukan kakaknya.

Ia menyayangi Uchiha Itachi.

"Seharusnya kita bertemu di sini."

Sasuke mendongak, menatap sosok kakaknya yang jauh lebih tinggi darinya.

"Bertemu siapa?"

Itachi terlihat terkejut. "Eh? Kau lupa? Aku 'kan sudah bilang di rumah."

Sasuke memiringkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat masa lalunya ini, namun nihil.

"Ah, ya, kau akan mengetahuinya nanti. Lagipula, ini pertama kalinya kau bertemu dengannya."

Keduanya duduk di kursi yang disediakan di luar kedai makanan ringan. Sembari menunggu, mereka memesan cemilan yang menemani waktu luang.

Cukup lama, akhirnya Itachi berdiri sambil menghela nafas panjang. Sasuke menatapnya heran. "Ada apa, Nii-san?"

Itachi memandang lurus ke depan, entah melihat apa. "Dia pasti bangun kesiangan lagi."

Tepat setelah Itachi mengatakannya, terlihat seseorang berlari dengan cepat dari kejauhan menuju kedai tempat di mana Uchiha bersaudara menunggu. Itachi kembali menghela nafas melihatnya.

Setelah orang itu tiba di kedai, Itachi segera memesan minuman untuk orang yang telah ditunggu selama ini.

"Kau bangun kesiangan, 'kan?"

Orang itu hanya menggaruk kepalanya dengan wajah tanpa dosa. "Maaf, aku tadi bertemu nenek-nenek di jalan membawa banyak barang berat. Sebagai orang baik, aku harus menolongnya."

Sasuke sweatdrop mendengar alasannya. Itu mengingatkannya pada sosok Naruko dan Hatake Kakashi yang juga selalu memiliki alasan serupa.

Orang itu dipersilahan duduk dan Itachi membuka obrolan dengannya. Sasuke hanya duduk diam termangu menatap orang yang terlihat sangat akrab dengan kakaknya. Sasuke tidak pernah melihat Itachi seperti ini sebelumnya, lebih terbuka pada orang lain selain Uchiha Shisui yang sudah meninggal.

Siapa orang itu? Terlihat tidak asing diingatan Sasuke. Rambut hitam, mata biru bagai air, dan goresan pipi yang terlihat seperti kumis. Ah, itu mengingatkannya pada Naruto dan Naruko yang memiliki goresan pipi serupa.

"Oh, benar juga. Ini adikku, Sasuke." Itachi mulai memperkenalkan sang adik. Sasuke hanya menganggukkan kepala sebagai tanggapan.

"Dan Sasuke, ini temanku, Naruto."

Manik hitam itu terbelalak.

"Na...ru...to?"
.

.

.

Sasuke mendadak terbangun dari tidurnya. Ia memegangi kepalanya yang pusing.

"Sasuke?"

Kepalanya langsung menoleh ke sumber suara, mendapati sosok Naruto berdiri di sana sedang memakai pakaian. Tentu bawahannya sudah terpakai :v

"Kau mimpi buruk, ya?" ujarnya sambil memakai kembali bajunya. "Kau tidur cukup lama. Sekarang sudah larut malam, menginap saja di―"

"Kau..."

Ucapan Naruto terhenti ketika suara Sasuke memotongnya. Naruto sendiri sudah terbiasa dengan Sasuke yang sering memanggil dirinya 'kau'. Yah, ia sendiri tidak peduli mau dipanggil apa.

"Kau..."

Naruto masih menanti apa yang ingin dikatakan oleh prodigy Uchiha itu. Manik birunya bisa menangkap raut wajah pucat, seakan melihat sesuatu yang tidak terduga.

"Sasuke?"

Tangan Sasuke terulur, menunjuk tepat pada Naruto yang dengan sabar menanti dengan senyum hangatnya.

"Bukankah dulu...rambutmu berwarna hitam?"

Seketika senyum Naruto menghilang.

•••

Author's Note :

Kecoa? Ah, hanya untuk refreshing aja kok^^ Kasihan kalau di kasih drama terus :v

Terus usia Itachi... Saya cari di tante wiki, di Naruto usianya masih 17-18 tahun, sementara di Naruto Shippuden usianya sudah 21 tahun... Jadi, perbedaan usia Naruto di fanfic ini dengan Itachi adalah 5 tahun (Naruto 12 tahun). Kalau saat memori past Sasuke, pembaca mengira-ngira sendiri deh :v #dibacok

Sampai jumpa minggu depan~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top