Chapter 3 : Uzumaki Arashi
Anak dengan surai merah itu bergeliat tak nyaman dengan sengatan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden jendela. Matanya terbuka, menampilkan sepasang warna mata yang senada dengan rambutnya. Ia bangkit dari kasur dan merenggangkan otot-otot tubuhnya, kemudian beranjak menuju kamar mandi.
Langkahnya terhenti. Ia menyadari dirinya berada di tempat yang berbeda. Namun ia menjentikkan jarinya setelah mengingat sesuatu.
"Ah, benar juga. Aku sudah menjadi bagian dari keluarga Namikaze dan tinggal di rumahnya mulai saat ini. Bagaimana bisa aku melupakannya?! Dasar bodoh!" gumamnya menghina diri sendiri. Ia kembali melangkah menuju kamar mandi dan membasuh tubuhnya. Tak memakan banyak waktu, ia telah siap dengan pakaiannya dan berjalan menuju ruang makan.
"Ah, pagi, Arashi-kun."
Arashi terperanjat mendengar suara feminim di belakangnya. Ia berbalik mendapati Naruko berdiri di sana dengan senyuman menghiasi wajah mungilnya.
"Se-selamat pa-pagi, Na-Naruko." Karena tak biasa disapa, Arashi membalasnya dengan gagap. Naruko tertawa kecil, kemudian menarik tangan dari lawan jenis yang kini menjadi saudaranya, menuntunnya ke meja makan.
"Ayo."
Arashi sangat yakin wajahnya sudah semerah warna rambutnya.
--Alone--
"Pagi, teme!"
"Hn."
Arashi sungguh tak mengerti dengan Uchiha Sasuke. Pendapat Arashi ketika pertama kali bertemu dengan anak berambut...uhm...model apa itu? Seperti 'pantat ayam'―menurutnya―terkesan irit bicara, dingin, dan tak suka bergaul. Anehnya, Sasuke menarik perhatian kaum hawa yang begitu mengidolakannya. Arashi bertanya-tanya dalam batinnya, apa yang menarik dari anak yang setiap kali ditanya hanya menjawab 'hn' itu? /Author dibakar Amaterasu\
Arashi tak terlalu memikirkannya. Ia tahu, sampai ia mati pun jawaban yang memuaskan tak akan pernah ia dapatkan.
Begitu mereka bertiga memasuki Akademi, tampak para kaum hawa menjerit histeris menyambut gendang telinga ketiganya. Sasuke tampak mengacuhkannya, Naruko hanya tersenyum membalas sapaan mereka, sementara Arashi...jangan ditanya. Ia tak biasa mendapat perlakuan yang bisa dikatakan 'baru' untuknya. Dengan reflek ia menutup telinganya agar tidak tuli permanen.
"Hahaha! Mereka ceria seperti biasanya, ya?"
Arashi sungguh tak mengerti maksud dari Naruko. Apanya yang ceria? Sangat jelas kalau mereka itu...ah, lupakan.
Secara bersamaan ketiganya memasuki kelas yang lebih ramai daripada di koridor. Para gadis sepertinya terlalu bersemangat. Ya, bersemangat menyambut kedatangan pangeran tercinta mereka. Siapa lagi kalau bukan Uchiha Sasuke yang sejak mereka berangkat masih dengan wajah datarnya(?).
Sasuke duduk di bangkunya diikuti Naruko di sampingnya yang menarik lengan Arashi untuk ikut duduk di sampingnya. Secara otomatis, Naruko duduk di tengah kedua laki-laki yang sepertinya tidak mempermasalahkannya. Berbeda jauh dengan para fangirl Sasuke dan Arashi yang baru terbentuk(?), mereka cukup kecewa karena tidak bisa mendapat bagian tempat duduk di samping kedua laki-laki idaman. Mau bagaimana lagi? Mereka juga tidak mau berhadapan dengan Naruko yang notabenenya anak dari Hokage.
Intinya, kini tiga orang itu menjadi terkenal dikalangan murid Akademi.
Sakura dan Ino tidak terlalu memikirkannya hal itu. Mereka duduk di bangku depan Naruko dan mengobrol cukup banyak, entah apa yang mereka bicarakan Arashi tak mengerti. Mungkin itu urusan kaum perempuan(?).
Manik merahnya melirik pada prodigy Uchiha yang hanya menatap datar ke depan kelas. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Arashi juga tak terlalu memikirkannya.
Yah, lembaran hidupnya dimulai dari sini.
--Alone--
Minato mengusap wajahnya yang kusam. Ia cukup lelah dengan tumpukan dokumen yang terasa tak pernah habis di meja kerjanya. Ah, tidak hanya di mejanya, tapi hampir memenuhi ruang kerjanya.
Suara ketukan di pintu membawanya kembali ke alam nyata. Ia merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan dan bersikap seakan tak terjadi apa-apa.
"Masuk."
Ucapan singkat itu segera ditanggapi dengan terbukanya pintu, menampilkan seorang Shinobi yang berjalan membawa...ah, tidak lagi.
Tumpukan kertas itu ditaruh tepat di hadapannya, menutupi wajah Minato yang kini berubah menjadi masam.
"Hokage-sama, ada beberapa dokumen lagi yang harus anda kerjakan. Maafkan saya."
Minato hanya tersenyum. Baginya itu bukanlah 'beberapa', tetapi 'sangat banyak'. Tidakkah kalian melihat dokumen lain yang menggunung di sudut ruangan? Telah berdebu seakan tak pernah tersentuh, menunggu untuk dirinya membaca semua isinya.
"Ya, terima kasih. Tidak perlu meminta maaf, kau tidak salah apapun," ujar Minato malas. Tangannya kembali bekerja untuk tumpukan dokumen yang tinggal seperempat itu.
"Kembalilah."
"Baik!"
Kini hanya tinggal Minato seorang diri di ruangannya. Ah, ralat, hanya dirinya dan tumpukan dokumen di ruangannya. Dengan berat hati, Minato mengerjakan tugasnya yang entah kapan selesainya.
Ia kembali mengambil selembar dokumen, namun tangannya tak sengaja menyenggol tumpukan dokumen di sampingnya. Tumpukan itu berhamburan di lantai, menambah pekerjaan baru Minato. Ia menghela nafas kasar, sepertinya dirinya harus lembur malam ini.
Sebuah lembaran menarik perhatiannya. Ia mengambil dan membacanya, kemudian menepuk jidatnya.
"Aku hampir melupakannya. Ujian Chuunin, ya?"
--Alone--
Hiruzen menatap anak laki-laki di hadapannya. Senyum keriputnya tak pernah lepas dari wajahnya. Bahkan matanya ikut tersenyum, tertutup oleh kulitnya yang telah lanjut usia. Sandaime itu sedikit bersenandung, entah apa yang ada dipikirannya.
"Tambah!"
Anak laki-laki itu menunjukkan mangkuk nasi yang telah kosong. Sudah sekian kali ia menambah porsi makan, namun kakek yang menjabat sebagai Sandaime Hokage itu tidak membahas masalah sepele dan memberikan mangkuk nasi yang baru.
"Kau benar-benar lapar, ya?"
"Hei! Jangan tanya hal yang sudah jelas jawabannya!"
Anak laki-laki yang masih berusia belasan tahun itu melanjutkan makannya. Ia melahap habis semua makanan yang dihidangkan di atas meja. Untuk porsi terakhir, ia pun mengakhiri sarapan yang 'cukup' banyak itu.
"Terima kasih atas makanannya!"
Hiruzen hanya tertawa kecil melihat tingkah dari anak di hadapannya. "Naru―ah, maaf. Menma-kun, bagaimana kabarmu?" Tanya Hiruzen basa-basi. Dirinya tidak sempat bertanya karena anak laki-laki itu langsung meminta makanan. Terutama setelah menyadari anak di hadapannya bukan lagi Naruto.
Yang dipanggil Menma menguap bosan. "Seperti biasa, tidak baik dan juga tidak buruk," jawabnya datar. Ia beranjak untuk mengambil air minum tak jauh dari tempatnya berada. Hiruzen hanya mengangguk sebagai balasan.
"Bagaimana dengan Naruto?"
Menma serentak berhenti. Ia menatap sang kakek sebentar, kemudian melanjutkan menuang air ke gelas. "Dia itu terlalu memaksakan diri. Jadi aku juga dengan terpaksa membuatnya tidur saat ini."
Hiruzen kembali mengangguk. "Lalu, bukit itu?"
Sekali lagi, Menma berhenti. Ia menatap tajam Hiruzen yang hanya tersenyum. "Cih! Aku tidak sengaja."
Sandaime Hokage bersungut-sungut, kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. "Kalau kau tidak sengaja, kenapa kau membawa ini?"
Itu sebuah Hiraishin Kunai milik Minato yang ditemukan di lokasi kejadian.
Menma terkejut melihatnya, kemudian menghilang dari pandangan. Tanpa disadari, kunai yang dipegang Hiruzen pun menghilang. Sang Sandaime masih tersenyum, melirik ke belakang mendapati sosok Menma berdiri di sana sambil memainkan Hiraishin Kunai di tangannya.
"Gerakanmu semakin cepat, Menma-kun," puji Hiruzen seraya berdiri dari kursinya. Menma mendengus, kemudian menaruh kunai bermata tiga itu di sebuah laci meja. "Bukan apa-apa."
"Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku."
Menma terdiam mendengarnya.
"Cih! Kau tahu sendiri 'kan? Itu peninggalan terakhir dan dia selalu membawanya kemana-mana. Aku hanya mengamuk dan tidak sengaja menggunakannya."
Tepat setelah Menma menjalaskannya, sosoknya berlalu menuju lantai atas. Ia mengurung diri di kamar. Hiruzen menghela nafas kasar.
"Sekarang, apa yang harus ku katakan di rapat selanjutnya?"
--Alone--
"Bunshin no Jutsu."
Sosok Arashi kini bukan hanya satu, tapi terdapat satu sosok lagi yang berdiri tegap di sampingnya. Hal ini membuat para gadis di kelasnya bersorak gembira melihatnya. Sasuke seperti biasa, mengabaikannya. Naruko bertepuk tangan ikut menyorakinya.
Arashi hanya menggaruk kepalanya, tersipu mendengar setiap lontaran pujian yang diberikan. Terutama pujian yang diberikan Naruko.
"Kau hebat sekali, Arashi-kun! Kau seperti Onii-san! Ah, walau Onii-san bisa membuat lima bunshin sekaligus."
Arashi yang kini telah kembali ke tempat duduknya mengernyit mendengar penuturan Naruko. Otaknya memutar kata-kata Naruko barusan seperti kaset rusak.
"Onii-san?"
Naruko tampak menyadari sesuatu. "Benar juga, kau belum bertemu Naruto-nii, ya?"
Sebelum Arashi membalas, Naruko menoleh menatap sahabat sekaligus rivalnya itu. "Sasuke! Pulang nanti kita mampir ke rumah Onii-san, ya!"
"Hn."
"Oh, ya, sekalian kita belikan ramen. Tidak apa-apa, 'kan?"
"Hn."
"Ah! Dan jangan lupa sebuah kejutan! Seperti dulu, kita menyerangnya langsung ketika Onii-san membuka pintu. Bagaimana?"
"Hn."
Arashi bertepuk tangan dalam hati. Uchiha Sasuke hanya membalas Naruko dengan dua huruf dan satu pengucapan. Arashi benar-benar harus mengenal karakter dari prodigy Uchiha itu. Sifatnya yang dingin dan tertutup membuatnya sulit didekati, namun anehnya dia hanya terbuka pada Namikaze Naruko.
Oh, benar juga. Arashi harus menambah satu orang lagi di daftar kenalannya. Selain Naruko, Sasuke, dan teman sekelasnya, sosok yang Naruko panggil 'Onii-san' cukup menarik perhatiannya.
"Arashi-kun, lihat ini! Sebaiknya aku kenalkan melalui foto sebelum kau bertemu langsung dengannya!"
Arashi melihat sebuah liontin berbentuk bundar di tangan Naruko. Anak Yondaime itu membuka penutupnya sehingga terpampang jelas sebuah foto di dalamnya. Arashi sedikit mendekat untuk melihatnya lebih jelas. Ada tiga orang di sana, dua di antaranya Arashi mengenalinya sebagai Naruko dan Sasuke. Namun, laki-laki di tengah membuatnya bingung. Laki-laki itu terlihag mirip dengan Naruko dari segi wajah, namun dengan model rambut yang berbeda.
"Ini aku," ucap Naruko sambil menunjuk dirinya yang sedang tersenyum. "Ini teme," lanjutnya sambil menunjuk pada sosok Sasuke yang tidak berekspresi. Jarinya berpindah pada laki-laki di tengah.
"Ini Onii-san."
Arashi mengerutkan dahi. Dirinya masih tidak mengerti. Sasuke yang tahu bahwa keturunan Uzumaki itu tidak mengerti memukul kepala Naruko. "Sebutkan namanya, dobe!"
Naruko meringis sakit karena Sasuke memukul telat di ubun-ubun kepalanya. "Ya, ya, maaf. Kenapa tidak kau sendiri yang menjelaskan? Tidak perlu memukul kepalaku, 'kan?"
Sasuke tidak menjawab.
Naruko menghela nafas, kemudian tersenyum. Arashi mengernyit, menyadari senyuman Naruko sedikit berbeda dari biasanya. Manik merahnya melirik prodigy Uchiha yang juga sempat menatapnya, namun sedetik kemudian mengalihkan pandangan.
"Dia...Naruto-nii. Tepatnya, Namikaze Naruto. Orang yang aku sebut sebagai 'Onii-san'."
Arashi memiringkan kepalanya. "Namikaze?"
Sasuke berdecak kesal karenanya. "Seperti kata teme, dia Namikaze. Artinya, dia kakak teme sekaligus kakakmu."
Arashi terdiam, memproses kalimat yang dikatakan Uchiha terakhir itu.
"Eeeeh?!"
Beruntungnya sekarang sedang istirahat dan kelas sedang sepi sehingga tidak ada yang mendengar teriakan Arashi.
Arashi tidak percaya. Tentu saja reaksinya adalah hal wajar, Naruko dan Sasuke memaklumi hal itu. Sosok Naruto memang tidak dikenal―ralat, asing untuk di dengar. Terutama ketika marga Namikaze tersemat di namanya, hal itu mungkin akan menjadi berita hangat di desa.
Masalah terbesarnya, sosok Naruto tidak ada di foto yang terpajang di rumah. Naruko tentu menyadarinya. Ia sendiri sudah menduga reaksi Arashi akan seperti itu.
Arashi sendiri mulai berpikir keras. Ia sangat yakin tidak ada sosok Naruto di keluarga Namikaze. Daftar nama keluarga pun tidak ada yang namanya 'Naruto'. Foto keluarga sekalipun tidak ada sosok yang mirip dengan saudari angkatnya. Arashi menatap Naruko yang tampak sendu setelah mengatakannya. Ia kembali melirik Sasuke yang hanya memejamkan matanya.
"Tapi, Naruko. Kalau dia―"
"Aku tahu yang ingin kau tanyakan. Tapi, itu memang kenyataannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Tidak ada yang tahu."
Sasuke menghela nafas. Ini pertama kalinya Arashi melihat Sasuke yang begitu berbeda dari biasanya.
"Jangan bahas lebih lanjut. Aku sedang kesal sekarang," sahutnya yang kembali memejamkan mata. Naruko paham mengapa rivalnya seperti itu. Membahas tentang Naruto akan mengingatkannya pada Uchiha Itachi, sang pengkhianat desa.
Berbanding terbalik dengan Arashi yang memang masih belum mengerti tentang Konohagakure. Walau begitu, Arashi tidak bodoh. Dia memilih diam dan memutuska untuk melihat orang yang bernama Naruto ini nanti.
Yang membuatnya tertarik adalah keberadaan Naruto bagi keluarga Namikaze. Pertanyaan muncul di benaknya.
Mengapa tidak ada sosok Naruto di Namikaze, tapi Naruko yang berasal dari keluarga itu justru mengenalnya? Terutama Sasuke dari klan Uchiha juga terlihat akrab dengan sosok Naruto ini.
Jadi, siapa sebenarnya Namikaze Naruto?
Arashi berniat menanyakan semua pertanyaan yang telah ia susun di otaknya.
--Alone--
"HAAATCHUU!!"
Menma memeluk dirinya sendiri.
"Kenapa aku merasa merinding, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top