Chapter 14 : Sakit
Ada yang mengharapkan aksi ...
Sebagai pengingat, sekali lagi Arbi katakan, cerita ini lebih fokus pada tema gelap dan unsur misteri! Arbi tidak lihai membuat cerita aksi!
Cerita ini pada dasarnya berpusat pada misteri, mengapa Naruto diasingkan dan dilupakan? Mengapa ada Menma di tubuhnya? Mengapa orang-orang seperti Naruko mengingatnya, namun orang lain tidak?
Semuanya akan terkuak di sini ... Jadi, jangan mengharap akan ada pertarungan satu lawan satu seperti Naruko vs Sasuke, Naruko vs Akatsuki, atau Pukul-pukulan ala ninja ... Itu bukan keahlian penulis ini...
Karena itu, biasanya yang ada bagian aksi pasti Arbi jelaskan dengan ringkas atau dipotong sebelum lanjut ke adegan berikutnya...
Sekali lagi, mohon maaf karena cerita ini bukanlah genre aksi yang diinginkan 🙇
•••
Suara ramai dari desa kecil terdengar masuk ke dalam ruangan, setidaknya membuat suasana di antara kedua orang itu tidak lagi kaku.
Tobi—atau kondisi saat ini adalah Uchiha Obito memandang pemuda di seberang meja. Sementara Menma dengan tenang meminum teh hijaunya.
"Apa yang kau inginkan?" Suara yang tersembunyi dari balik topeng itu terdengar memenuhi ruangan. Menma hanya meliriknya sekilas sebelum mengambil kue kering yang disajikan di tengah meja.
Tidak mendapatkan balasan, Obito mengerutkan keningnya walau tidak terlihat. Ia kembali bertanya, "Apakah ini ada hubungannya dengan Namikaze Naruto?"
Mendengar nama itu membuat Menma berhenti sejenak. Hatinya berkata untuk menghajar orang di depan matanya, namun wajahnya tidak berekspresi dan dengan tenang berkata, "Dia bukanlah Namikaze ataupun Uzumaki lagi. Sejak dia—ekhem, sejak kami pergi dari Konoha, tidak ada lagi yang mengunakan nama keluarga."
Ia meminum tehnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku di sini dengan alasan pribadi, tidak ada kaitannya dengan Naruto."
"Oh?" Obito membuat suara tertarik, berkata dengan rasa penasaran, "Lalu, apa itu?"
Tepat setelah bertanya, sebuah pedang meluncur dan menembus tubuhnya. Obito dengan tenang duduk tanpa terluka sedikitpun. Menma kembali menaruh pedangnya dan meminum tehnya seakan tidak terjadi apapun.
Lagipula, keduanya sudah mengharapkan reaksi itu. Obito telah menebak serangannya, dan Menma sendiri tahu tidak mungkin melukainya.
Obito mengetuk meja dengan jarinya sesaat sebelum berkata, "Apakah kau menyalahkanku karena telah membawamu dari 'tempat itu'?"
Sekali lagi, hati Menma memberontak untuk mengoyak dagingnya, menghancurkan jantungnya, dan memotong-motong setiap bagian tubuhnya. Namun wajahnya tetap tidak menunjukkan fluktuasi. "Aku menyalahkanmu, tetapi di sisi lain aku juga berterimakasih padamu."
Walaupun begitu, Obito tidak merasakan rasa syukur dalam kalimatnya. Kemudian, ia mendengar Menma melanjutkan, "Bagaimanapun, aku bukan orang berhati mulia. Tetapi tetap saja, aku tidak suka ketika kau memutuskan tanpa pertimbangan dariku."
"Kau hanyalah sebuah 'benih' saat itu. Bahkan jikalau aku bertanya, kau tidak akan menjawab."
Menma tertawa setelah mendengarnya. "Walau aku sebuah 'benih', tapi kesadaranku tetap ada."
Mendadak wajahnya berubah. Dengan cepat ia pergi menuju jendela dan bersiap untuk pergi. Melihat gerakannya, Obito menebak dengan yakin, "Apakah Naruto terbangun?"
Namun, Menma telah pergi meninggalkan restoran, membiarkan pertanyaan itu ditelan angin.
Obito tidak mempermasalahkannya, dengan tenang meminum tehnya yang sudah dingin. Samar-samar kesuraman muncul di matanya sebelum menghilang.
--Alone--
Naruto membuka matanya, melihat pemandangan sekeliling. Dirinya berada di ruang tidur kecil—mungkin sebuah kamar penginapan yang disewa. Bangkit dengan terhuyung-huyung, Naruto mengerutkan kening ketika rasa sakit menyebar di kepalanya.
Setelah rasa sakit menghilang, Naruto bangkit menuju jendela. Pemandangan orang-orang di desa kecil itu tampak wajar. Para pedagang yang menjajakan dagangannya ataupun para pejalan kaki yang bercengkerama ... Ini bukan Konoha.
Naruto menghela napas lega.
Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak terbangun untuk mengambil alih tubuh. Terakhir kali ... Saat dirinya menjalankan tugas bersama Uchiha Itachi di Yukigakure, 'kan?
Oh, sudah berapa lama waktu berlalu sejak itu?
(Arbi : Sudah dua chapter lu gak muncul!
Naruto : elah, kan gue muncul pas flashback!)
Kemudian, dari pantulan kaca, ia melihat sosoknya dengan rambut hitam.
Mata Naruto melebar. Ia hampir melompat kaget melihatnya.
"Rambutku hitam lagi."
Pernyataan itu membuat tubuhnya kaku, sebelum kembali rileks.
"Berarti ... warnanya luntur lagi. Tapi, mengapa Menma tidak mengubahnya?"
Dengan bingung, ia mulai menghubungi Menma dalam benaknya, namun tidak kunjung mendapat jawaban.
... Sepertinya tertidur. Bagaimanapun, kesadarannya yang lain itu telah mengambil alih dalam jangka waktu yang tidak biasa.
Jadi, ia harus menunggu kesadarannya itu terbangun lebih dulu.
Setelah memikirkan semua hal, Naruto berlalu keluar kamar menuju jalan desa. Sebelum itu, ia mengganti jubah awan merahnya dengan jubah hitam biasa. Tentunya Naruto tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu.
Melihat keramaian desa, Naruto mengembuskan napas. Masalahnya, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang ...
Bruk!
Seorang nenek tidak sengaja menabraknya. Melihatnya membawa banyak barang, Naruto mengulurkan bantuan yang diterima dengan senang hati.
Walau ia telah pergi dari Konoha, walau ia telah bergabung dengan Akatsuki, dan walau ia telah dilupakan orang lain ... Tapi setidaknya ia tidak berubah.
Dirinya tetaplah dirinya.
Seseorang bernama Naruto.
Selama ia tidak berubah ... semuanya akan baik-baik saja.
.
.
.
"Tapi, sayang sekali ... semuanya tidak ada yang bernama 'baik-baik saja'."
Dari jauh, pria bertopeng menatap pemuda berambut pirang—oh, rambutnya hitam sekarang—yang membantu seorang nenek membawakan barang-barangnya.
"Sebagai wadah, kau ditakdirkan untuk tersesat dalam kegelapan."
--Alone--
"Lalu, orang-orang yang telah melupakannya ... Apakah itu perbuatan 'Yami' ini?" Arashi bertanya setelah terdiam cukup lama.
Kushina telah menangis sesenggukan dalam pelukan Minato, sehingga Hokage itu yang menjawab, "Entahlah. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi."
" ... Apa yang sebenarnya terjadi?"
Minato memejamkan matanya. Ingatan itu terbesit di benaknya, terus terulang seperti kaset rusak.
"Para tetua menggunakan Byakugan klan Hyuuga untuk memeriksanya ... dan menemukan hal yang mengejutkan."
Tanpa sadar tubuh Naruko menegang. Ia mengingat kembali percakapannya dengan temannya, Hyuuga Hinata di Akademi.
Dan kalimat temannya itu serupa dengan yang ayahnya katakan.
"Dia memiliki chakra hitam."
Ayah-anak itu menggigit bibir bawahnya.
"Tetua mengirimkan Anbu untuk membunuhnya ...
Mereka membunuhnya ...
Namun dia tidak mati ...
Sejak itu, semua orang melupakannya."
--Alone--
Hari itu, Naruko bermimpi.
Tangan kecilnya menggapai ke depan, kemudian diterima oleh sebuah tangan hangat.
Ketika mengangkat kepalanya, matanya melihat seorang bocah laki-laki berambut pirang tersenyum padanya.
Itu kakak laki-lakinya ... Namikaze Naruto.
Kakaknya menuntunnya untuk berjalan. Ketika ia akan jatuh, kakaknya akan menangkapnya dengan cepat sebelum menyentuh tanah. Ketika ia menangis, kakaknya akan memeluknya untuk menenangkannya. Ketika ia tertawa, kakaknya akan ikut tertawa. Ketika ia marah, kakaknya akan membujuknya dengan sabar.
Ketika ia ...
Ketika ia ...
... Ada banyak yang terjadi saat menghabiskan waktu dengan kakaknya.
Kemudian, semua pemandangan itu berubah.
Dirinya kini berada di sebuah hutan.
Dalam sekali lihat, Naruko tahu dirinya berada di Hutan Kematian.
Ia bertanya-tanya, apa yang membuatnya bermimpi tentang tempat ini.
Oh, benar. Kakaknya sering berlatih di sini.
Kaki kecilnya melangkah menelusuri hutan, masuk semakin jauh.
Ketika ia mendengar suara sayatan kunai, ia tahu dirinya semakin dekat dengan kakaknya. Dengan gembira ia berlari menuju asal suara.
Tetapi, berhenti di langkah selanjutnya.
Di sana, ia melihat kakaknya ... berlumuran darah.
Di sekitarnya ... Berapa mayat yang terbaring di bawah kakinya?
Naruko bingung.
Otaknya berhenti berpikir.
Apa yang terjadi?
Kemudian, ia melihatnya.
Kakaknya juga melihatnya.
Dengan matanya yang hitam ...
--Alone--
Anak kecil itu berlari. Di belakangnya, selusin orang-orang bertopeng mengejarnya dengan niat membunuh.
Kunai meluncur menusuk daging punggungnya. Ia terjatuh, namun segera bangkit berlari disertai rasa sakit yang menyengat.
Ia menangis, memandang orang-orang desa dengan ekspresi meminta bantuan. Tetapi mereka hanya memalingkan muka.
Mereka tidak peduli ...
Anak itu menangis, memanggil ayah dan ibunya, memanggil nama orang yang dikenalnya, memanggil orang-orang di sekitarnya ... namun tidak ada yang menanggapi.
Kemudian, sebuah pedang bergerak melewatinya ... menebas lehernya.
Dengan matanya, ia melihat darah yang keluar seperti air yang disemprotkan, sebelum akhirnya pandangannya menggelap.
Ia berpikir dirinya akan mati.
Yah, mungkin lebih baik dirinya mati.
Tidak ada yang peduli padanya saat hidup.
Karena itu, kematian adalah satu-satunya pilihan ...
Sebuah suara terdengar di telinganya. Sangat dekat, namun ia tidak melihat apapun.
Suara itu berkata, "Tidurlah, temanku."
Suara itu memintanya tidur.
Maka, baiklah, ia akan tidur.
Berharap untuk tidur selamanya.
•••
Arbi's Note :
Hayoloh...
Bentar lagi sekolah...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top