Bab 8
Aku menatap lengan kiriku tak percaya. Perban melingkar di sepanjang pergelangan tanganku. Ini berlebihan, bukan? Bagiku, ini hanya sebatas memar ringan yang tanpa pengobatan pun akan pulih dengan sendirinya. Rasanya memang nyeri, tetapi ini seperti bukan masalah besar bagiku. Aku bahkan pernah mendapatkan luka yang lebih parah dari ini dan hanya melakukan pengobatan di rumah dengan caraku sendiri.
"Ingat kata dokter, Shopie, jangan terlalu banyak menggunakan tangan kirimu dalam beberapa hari ke depan." Perkataan Liam membuat pandanganku beralih padanya. Selalu, dia berkata dengan nada memerintah. Padahal, konteks dalam kalimatnya hanya sekadar untuk mengingatkanku.
Sama seperti sebelumnya, Liam kembali membukakan pintu mobil untukku seolah-olah aku terlalu lemah untuk melakukannya. Posisi kami pun tak berubah. Pria itu masih mengambil duduk begitu dekat denganku sampai bahu kami saling menempel.
"Aku akan mengganti biaya pengobatannya dan belanjaanku tadi," ujarku sesaat setelah Jack melajukan mobil. Aku sempat berdeham sebelum buka suara. Mataku pun tak beralih dari Liam, menunggu tanggapannya.
"Dengan apa?" Liam membalas tatapanku. Bibirnya memang menampilkan senyum, tetapi matanya terlihat mengejek.
Aku tak bisa menahan putaran di kedua bola mataku. Pertanyaannya jelas sekali dilontarkan hanya untuk mengejekku. Setelah kejadian tadi, aku pasti terlihat sangat miskin di matanya.
"Totalkan saja berapa jumlahnya. Aku akan mentransfernya kepadamu." Aku tak menjawab pertanyaannya. Dia tentu tak sebodoh itu untuk tahu dengan apa aku akan membayarnya.
Setelahnya, aku berpaling darinya, melihat ke luar jendela dan menganggap jika obrolan kami sudah selesai. Toh, aku juga tidak ingin lagi membicarakan apa pun dengannya. Selain karena Liam sangat menyebalkan, dia juga sangat sulit untuk dibantah. Tipe orang yang tidak pernah mau kalah. Sialnya, dia memang akan selalu memenangkan segalanya.
"Aku tidak butuh bayaran berupa materi kalau itu yang kau pikirkan." Setelah hening selama kurang lebih satu menit, Liam tiba-tiba saja menanggapi perkataanku sebelumnya. "Dengan kau yang mengingatku saja, itu sudah cukup untukku."
Sejujurnya aku benar-benar ingin berhenti berbicara dengannya, tetapi kalimat lanjutan darinya benar-benar mengusikku. Dia kembali mengangkat topik yang membuatku begitu penasaran. Alhasil, aku kembali menatap ke arahnya.
"Sebenarnya apa hubungan kita di masa lalu?" tanyaku to the point. Aku sudah muak dicekoki teka-teki yang bahkan petunjuknya pun aku tidak diberi tahu.
Sorot matanya menari-nari, terlihat sekali sedang menikmati emosiku yang mulai meledak.
"Manchester, tujuh tahun yang lalu."
Dahiku mengernyit penuh kebingungan. Tujuh tahun yang lalu aku masih berstatus sebagai mahasiswa asing di Manchester. Dan tujuh tahun yang lalu ... oh, Tuhan! Pria yang pernah kucium saat mabuk bukan Liam, kan?
"Sudah mengingatnya, Shopie?" tanya Liam setelah melihat reaksiku.
"Kau ... tidak mungkin." Aku menggeleng penuh ketidakpercayaan.
Tujuh tahun yang lalu aku mengalami patah hati yang begitu hebat dan bolak-balik keluar masuk kelab malam. Wajah orang yang pernah kucium saat itu memang tidak terlalu jelas. Aku hanya tahu jika dia adalah lelaki yang begitu tampan. Tetapi itu tidak mungkin Liam, kan? Lagi pula aku sudah sepenuhnya melupakan kejadian tersebut dan segala kenangan di Manchester.
Saat pikiranku masih diselimuti oleh kebingungan, Liam tiba-tiba saja menarik daguku dan hanya dalam hitungan detik bibir kami sudah menyatu. Mendadak tubuhku merasa kaku dan napasku menghilang. Kedua mataku bahkan terbuka lebar dan hanya bisa menyaksikan Liam yang tengah memagut bibirku dalam waktu yang cukup singkat.
"Begitu caramu menciumku saat itu," ucap Liam. Ibu jarinya menyeka bibirnya dengan cara yang terlihat seksi di mataku.
Oh, sial! Jangan mengaguminya sekarang, Shopie!
Aku mengambil napas sebelum membantahnya. Untuk kedua kalinya, ciuman Liam berhasil merenggut sebagian akal sehatku.
"Kau seharusnya tahu jika pertemuan di kelab malam hanya terjadi dalam jangka waktu pendek. Bahkan, itu adalah kejadian tujuh tahun yang lalu. Kalau kau tidak terima dengan perlakuanku, kenapa kau baru menemuiku sekarang?"
Okay, serangan yang bagus. Setidaknya aku membicarakan hal-hal yang masuk akal di hadapannya.
"Tujuh tahun yang lalu dan masih membekas sampai detik ini."
Aku menatapnya tak habis pikir. Pria ini seperti seorang psikopat.
"Lalu sekarang apa? Kau bahkan sudah menciumku tanpa izin sebanyak dua kali. Aku rasa itu cukup adil untuk melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu. Aku rasa setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi," ucapku penuh ketegasan.
Liam tersenyum miring. Wajahnya condong ke arahku hingga jarak di antara kami kian menipis.
"Aku tidak akan melepaskanmu, Shopie. Sudah cukup aku menahan diri selama tujuh tahun. Dan sekarang adalah waktu yang tepat bagiku untuk membawamu masuk ke dalam hidupku." Di akhir kalimat, Liam menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga.
Aku merinding mendengar ucapannya. Dia berkata seolah-olah aku sudah berstatus sebagai miliknya. Kalimat yang diucapkan dengan lembut olehnya malah terdengar menyeramkan di telingaku. Aku merasa hidupku berada dalam ancaman.
"Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi," kataku gamblang meski nadaku tak setegas sebelumnya.
"Apa yang telah kuklaim sebagai milikku akan tetap menjadi milikku," balasnya tak terbantahkan.
Liam Wilde benar-benar gila. Dia berhasil mengobrak-abrik hidupku. Setelah pemecatan itu, kini dia dengan seenaknya mengklaim diriku sebagai miliknya.
"Ah, iya, apa kau sudah melihat reaksi orang-orang terhadap wawancara kita?" Tiba-tiba saja Liam mengubah topik pembicaraan.
Meski sudah hengkang sebagai seorang wartawan, aku tetap tidak berhenti memantau berita yang terjadi baru-baru ini. Salah satunya wawancaraku dengan Liam yang sukses meraih perhatian banyak orang. Sayangnya, hampir sebagian masyarakat melayangkan ketidaksukaan mereka pada Liam. Singkatnya, reputasi Liam bertambah hancur sejak wawancara itu ditayangkan. Dalam sekejap dia menjadi public enemy.
Hal itulah yang membuatku tak bisa membenci Liam sepenuhnya. Aku turut andil dalam memperburuk nama baiknya. Satu-satunya orang yang patut disalahkan di sini adalah aku. Kebenaran dari skandal yang menyandung nama Liam pun masih dipertanyakan meski jaksa sudah menyatakan jika pria itu tidak bersalah.
"Apa kau puas dengan wawancaranya? Rating yang didapat juga sangat tinggi, bukan? Walaupun kau sudah dipecat, kau pasti akan tetap mendapatkan bonus yang besar dari sana," kata Liam yang terdengar jelas sedang menyindirku.
Apa yang dikatakannya memang benar. Aku akan tetap mendapatkan bonus dari wawancara itu. Tetapi entah kenapa hati nuraniku merasa jika semua ini salah. Dan aku mulai berpikir ulang jika pemecatanku setimpal dengan apa yang diterima Liam saat ini.
Perdebatan yang panjang dengan Liam membuatku tak sadar jika Jack sudah menghentikan mobilnya tepat di depan gedung apartemenku.
"Tetapi aku tidak masalah dengan perkataan orang. Yang jelas, sekarang aku sudah mendapatkan apa yang kumau. Dan itu adalah kau, Shopie." Liam menambahkan. Maniknya menyorotku begitu intens. Bersamaan dengan itu, Jack membuka pintu mobil untukku.
Aku keluar tanpa kata, benar-benar tak bisa membalas semua ucapannya padaku. Dan aku hanya bisa melangkah dengan bahu lemas menuju unitku.
Ponsel yang berdering membuat langkahku terhenti di depan lift. Nomor asing tertera di layar. Entah kenapa tebakanku langsung jatuh pada Liam. Aku membiarkannya sejenak untuk menarik napas panjang.
"Halo?"
"Benar ini dengan Shopie Pillsbury?"
Dugaanku meleset. Suara itu milik seorang perempuan.
"Ya, benar. Dengan siapa aku berbicara?"
"Aku Becca."
Dia berbicara dengan suara yang begitu lirih dan hampir tak terdengar olehku. Seperti takut jika seseorang mendengarnya. Napasnya juga terdengar berderu hebat.
"Mr. Wilde tidak pernah melecehkanku. Seseorang mengancam kelu-"
Aku mengedipkan mataku berulang kali. Kendati suaranya begitu halus, aku bisa mendengar semua perkataannya sebelum sambungan terputus begitu saja.
Masih dengan kekagetanku, aku menatap layar ponselku dengan jantung berdebar.
Benarkah yang meneleponku barusan adalah Becca, gadis yang sempat disebut-sebut sebagai korban pelecehan oleh Liam Wilde? Dan apa tadi katanya? Tuduhan yang dilayangkan kepada Liam tidaklah benar?
Ya, Tuhan! Kenapa dia baru menghubungiku sekarang? Di saat aku sudah bukan seorang wartawan lagi. Ini benar-benar membingungkan. Aku tidak tahu harus mengambil langkah apa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top