Bab 7
Aku tak berhenti menangis selama dua hari dua malam. Wajahku sudah selayaknya monster. Kedua mata yang membengkak hebat serta kulit yang berubah pucat sudah menunjukkan seberapa frustrasinya aku saat ini. Hidupku seolah berhenti berputar, seperti tak ada hari esok yang harus kujalani.
Liam tidak bercanda. Aku memang dipecat. Angela yang mengonfirmasinya langsung.
Jadi, perkataan orang-orang selama ini benar adanya. Jangan berani mencari masalah dengan Liam Wilde. Sayangnya, posisiku pada saat itu begitu terdesak dan serba salah. Dua langkah yang berbeda nyatanya sama-sama merugikanku. Kalau tahu pada akhirnya aku akan tetap dipecat, aku mungkin tidak akan sudi berurusan dengan Liam. Pria itu sangat merepotkan. Bahkan, sampai detik ini pun aku merasa jika Liam masih berkeliaran di sekitarku.
Aku mengusap wajahku sembari mengembuskan napas panjang sebelum membawa tubuhku pergi dari atas ranjang. Langkahku berjalan menuju ruang tengah. Hanya sepi yang kudapat. Dan itu semakin membuatku merasa kesal dengan hidupku sendiri.
Keluarga yang berantakan sudah cukup membuat mentalku terganggu. Kini, harus ditambah lagi dengan aku yang kehilangan pekerjaan. Oh, bukan cuma itu saja. Pemecatan sepihak yang kuterima membuatku di-blacklist dari perusahaan mana pun. Angela benar-benar kejam. Padahal, wawancaraku dengan Liam yang ditayangkan kemarin berhasil mendapatkan rating tertinggi. Wanita itu sangat tidak tahu terima kasih.
Tak ada yang menarik di ruang tengah. Televisi yang semula berada di sana, kini sudah tak tampak wujudnya. Ibuku menjualnya seminggu yang lalu. Uang hasil penjualannya tentu saja digunakan untuk berjudi.
Hal yang sama pun terjadi ketika aku membuka kulkas. Kosong. Beberapa stok minuman bersoda yang biasa menjadi temanku begadang pun sudah habis.
Ya, Tuhan! Aku tampak menyedihkan sekali saat ini.
Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku berinisiatif untuk berbelanja. Kugunakan pakaian seadanya dan sedikit polesan make up di wajah agar orang-orang tak berteriak saat melihatku, lalu bergegas meninggalkan apartemen.
Tubuhku terasa lemas karena selama dua hari ini aku tidak keluar rumah sama sekali, tetapi udara sore ini benar-benar bagus. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku dan menerbangkan helaian rambutku, membuat tubuhku sedikit lebih bersemangat.
Sembari mendorong troli, aku berkeliling di rak bahan-bahan dapur dan snack. Aku akan mulai memasak setelah ini. Selain untuk berhemat, aku juga memiliki banyak waktu luang sebelum mendapatkan pekerjaan baru.
Semua kebutuhan sudah masuk ke dalam troli. Setelah merasa cukup, aku pun bergegas pergi ke kasir untuk membayarnya. Cukup banyak barang-barang yang kubeli kali ini.
"Maaf, Nona, kartu Anda tidak dapat digunakan," ujar sang kasir.
Aku mengernyitkan keningku. Kulayangkan tatapan seolah-olah hal itu tidak mungkin terjadi. Aku ingat sekali jika sisa uang yang kumiliki cukup untuk membeli semua yang masuk ke dalam troliku.
Untuk meyakinkanku, kasir berambut pirang tersebut mencoba sekali lagi dengan disaksikan langsung olehku. Dan benar katanya, kartuku tidak dapat digunakan.
"Tetap tidak bisa, Nona. Apa ada kartu yang lain atau mungkin uang tunai?" Dia mengembalikan kartu tersebut kepadaku.
Aku mencoba untuk tetap tenang dan berharap menyimpan beberapa lembar dolar di dompetku. Namun, hasilnya nihil. Dolar yang kumiliki tak bisa membayar seluruh belanjaanku, separuhnya pun tidak.
"Bagaimana, Nona?" Kasir tersebut tampak tak sabar. Pasalnya ada beberapa orang yang sedang mengantre di belakangku.
Aku sudah berniat untuk meminta maaf, tetapi seseorang tiba-tiba saja menerobos antrean dan menyelaku.
"Gunakan ini untuk membayar belanjaannya."
Mataku membelalak sempurna ketika menemukan Liam Wilde di sana. Pria itu masih menggunakan setelan formalnya. Dan dia hendak membayar belanjaanku.
"Tidak perlu, Mr. Wilde. Aku tidak jadi membelinya," ucapku terburu-buru.
Demi Tuhan, aku tidak ingin lagi memiliki urusan dengannya. Kebencianku padanya masih tersisa banyak. Lebih baik aku pergi dalam keadaan malu daripada menerima bantuannya.
Aku sudah berniat untuk kabur karena itu adalah satu-satunya jalan yang harus kulakukan saat ini agar terbebas darinya. Tetapi Liam Wilde rupanya terlalu cerdik hingga gerak-gerikku bisa dibaca dengan mudah olehnya.
Alhasil, aku berakhir dalam dominasinya. Begitu kuat genggamannya pada lenganku. Sekalipun aku memberontak, Liam Wilde akan tetap menjadi pemenangnya.
"Jangan membuat drama di sini, Shopie. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian," peringatnya setelah pembayaran selesai.
Liam menenteng belanjaanku di tangan kirinya dan tangan kanannya setengah menyeretku untuk mengikuti langkahnya. Kendati aku sadar jika melawannya pun percuma, aku tetap berusaha untuk membebaskan tanganku darinya yang sialnya hanya membuat pergelangan tanganku menjadi nyeri.
"Lepaskan aku!" Sekali lagi aku mencoba. Kali ini kulakukan sambil memukul tubuhnya. Tak peduli dengan tatapan heran orang-orang di sekitarku.
Usahaku masih berakhir dengan sia-sia sampai akhirnya kami tiba di parkiran. Liam langsung membuka pintu mobil bagian belakang setelah menyerahkan belanjaanku pada pria berjas hitam yang kuterka sebagai sopirnya.
"Masuklah," perintahnya.
"Tidak mau! Biarkan aku pergi!" Tanganku semakin sakit saat aku mencoba untuk melepas genggaman Liam.
Liam tampak menghela napas berat, terlihat jengah dengan penolakanku. Dia lantas menutup pintu, tetapi kemudian dia mendorong tubuhku hingga punggungku menempel pada badan mobil dan menghimpitku dengan tubuh besarnya.
"Jangan main-main denganku, Shopie. Aku bisa menghabisimu sekarang juga. Apa kau mau aku melakukannya?" Liam Wilde berbicara tepat di depan wajahku. Suaranya begitu mengancam dan wajahnya sangat tegang.
Dan di detik inilah aku sadar jika aku memang tidak bisa melawan seorang Liam Wilde. Bukan hanya soal kekuasaannya yang mana dia bisa melakukan apa pun, tetapi auranya juga begitu menakutkan hingga membuat nyaliku ciut.
Terakhir, yang bisa kulakukan hanyalah menggeleng takut sebagai jawaban atas pertanyaannya barusan.
Liam menarikku perlahan, membuat posisiku kembali berdiri tegak, tetapi tetap tak membiarkanku lepas dari otoritasnya.
"Masuklah." Liam kembali membuka pintu mobil untukku.
Kali ini aku tidak menolak. Dengan wajah pucat menahan takut, aku menuruti kemauannya dengan masuk ke dalam mobilnya. Disusul oleh Liam yang mengambil duduk begitu dekat denganku. Bersamaan dengan itu pula dia melepas genggamannya di lenganku.
"Kau tidak akan terluka kalau kau menurutiku, Shopie." Liam kembali buka suara. Entah kenapa kali ini aku merasa jika suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Saat menoleh ke arahnya, aku menemukan Liam yang tengah memeriksa bekas genggamannya di tanganku. Aku meringis saat dia memegangnya terlalu kuat. Rasanya benar-benar sakit. Tulangku seperti diremukkan oleh genggamannya. Ditambah lagi dengan pemberontakanku yang membuat memarnya bertambah parah.
"Hal-hal seperti ini yang akan kau dapatkan jika kau terus menolakku. Jadi, jangan pernah berani menolakku lagi, Shopie. Beruntung aku tidak mematahkan tulangmu," kata Liam dengan tegas yang lagi-lagi bernada ancaman.
Aku hanya bisa diam di tempatku, memandang jauh ke luar jendela dengan mata yang terasa panas. Pria itu sungguh keterlaluan. Kebencianku padanya semakin meningkat. Tetapi sialnya aku seperti orang bodoh yang tak bisa berbuat apa pun bila berada di dekatnya.
"Bawa kami ke rumah sakit, Jack." Liam memerintah sopirnya, dan aku tak peduli ke mana dia akan membawaku setelah ini. "Aku baru saja menyakiti wanitaku. Dia harus diobati," lanjutnya yang membuatku terkejut. Dan kenapa nada suaranya terdengar penuh penyesalan?
Secara spontan aku memalingkan wajahku ke arah Liam. Dia tengah memandangku saat ini dengan bibir yang membentuk senyum simpul. Tunggu ... sejak kapan dia tersenyum seperti itu kepadaku? Aku bahkan berpikir bahwa dia memiliki dendam yang hebat denganku sampai tega melakukan hal-hal buruk kepadaku.
Dan ... oh, Tuhan! Dia bahkan mengusap rambutku dengan lembut saat ini. Hanya berlangsung selama beberapa saat saja sebelum dia memutus tatapan kami dan duduk dengan tenang di sampingku. Tetapi ini benar-benar gila.
Siapa Liam Wilde sebenarnya? Dia sangat membingungkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top