Bab 6
Semua orang tahu jika Liam Wilde tak pernah terlibat dalam wawancara secara langsung. Dia lebih sering diwakilkan oleh orang lain. Tetapi kali ini berbeda, Liam akhirnya muncul di depan publik. Sayangnya, keterlibatan perdananya ini bukan membahas soal prestasinya, melainkan skandal yang belakangan ini menghebohkan dunia.
Di samping rasa banggaku karena menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil mewawancarai Liam, aku juga merasa bersalah karena sudah memaksa Liam melakukan tanya jawab tentang skandalnya.
"Terima kasih banyak, Mr. Wilde." Angela maju mendekati Liam begitu sesi wawancara singkat ini telah selesai dilakukan.
Kutarik napas dalam-dalam lalu memejamkan mataku selama tiga detik sebelum mengukir senyum di bibirku. Perasaanku dibanjiri kelegaan. Meski bukan ini yang sebenarnya Angela mau, tetapi aku tahu karirku akan tetap aman setelah ini. Sebab, media tempatku bekerja kini menjadi satu-satunya media yang berhasil menginterviu Liam Wilde tanpa diwakili oleh siapa pun.
Angela masih sibuk mencari perhatian Liam. Sedang Liam hanya melempar senyum seadanya tanpa kata. Dia juga sepertinya tidak berniat untuk berbasa-basi terlebih dahulu denganku dan hanya berjalan melaluiku begitu saja. Ya, pria itu memang terlampau dingin. Padahal, dia sudah menciumku tanpa izin tadi malam. Dan aku yakin seratus persen kalau itu bukan mimpi.
"Shopie!" Aku melihat Kyle menghampiriku setelah Liam dan Angela keluar dari ruangan ini. Kuukir senyum untuk menyambutnya. "Kau keren sekali! Bagaimana caranya kau membujuk Mr. Wilde untuk mau melakukan wawancara secara langsung?" tanyanya dengan heboh.
Aku jadi teringat dengan Eric saat melihat Kyle. Aku masih tidak paham dengan tingkah lakunya kemarin—yang seolah menjebakku agar tertangkap basah oleh Liam. Pria itu juga tak memberi penjelasan apa pun. Padahal, tadi malam kami sempat berkomunikasi lewat ponsel untuk mengatur jadwal wawancara dengan Liam, tetapi dia tidak membahas hal itu sedikit pun.
Entahlah. Aku tidak tahu seperti apa cerita aslinya dan tak ingin berasumsi jelek tentang Eric. Setidaknya, pria itu sudah membantuku. Lagi pula, kalau kemarin tidak seperti itu kejadiannya, mungkin aku tidak akan bisa membawa Liam ke sini.
"Semua berkat bantuanmu dan Eric. Terima kasih banyak, Kyle," ucapku dengan tulus. Aku tetap harus mengapresiasi kakak beradik itu.
"Tidak masalah." Kyle menepuk pelan pundakku. "Ayo, kutraktir makan. Anggap saja sebagai perayaan karena kau telah berhasil menyelesaikan pekerjaan dari Mrs. Clinton," ajaknya kemudian seraya merangkul lenganku.
"Seharusnya aku yang mentraktirmu. Ayo!" Senyumku merekah lebar. Kami lantas berjalan beriringan menuju kafetaria.
Aku mungkin akan kembali menemui Liam setelah ini. Berkat dia, aku berhasil menyelamatkan karirku sebagai seorang wartawan. Selain itu, aku juga masih penasaran dengan pernyataannya yang mengatakan jika aku pernah menciumnya di masa lalu. Dan terakhir, alasan dia yang mau menerima tawaranku untuk diwawancarai. Sebab, proses yang kulalui saat membujuknya benar-benar semudah itu.
••••
Dua orang wanita bersanggul tinggi menyambut kehadiranku. Terpahat senyum ramah nan sopan di bibir mereka, terlihat sekali jika keduanya memiliki manner yang bagus. Ya, bagaimana tidak, bekerja di perusahaan Liam Wilde sudah pasti membentuk mereka menjadi sosok yang berintegritas tinggi. Meskipun penampilanku saat ini sangat berbeda jauh dengan orang-orang yang menghuni gedung ini, mereka tetap memperlakukanku dengan baik.
Aku langsung menghubungi Eric begitu selesai dengan urusan kantor dan membuat janji untuk bertemu dengan Liam atau setidaknya salah satu perwakilan dari mereka.
Wawancara dengan Liam akan dipublikasikan besok pagi setelah melewati proses editing, tentu saja tim produksi harus menunjukkan hasil video yang telah diedit kepada Liam. Hal itulah yang membuatku berada di sini sekarang.
Salah satu dari dua wanita bersanggul itu mengangkat telepon. Hanya berbicara sebentar sebelum perhatiannya beralih padaku.
"Miss Pillsbury, Mr. Wilde sudah menunggu Anda di dalam. Mari saya antar." Dengan suara lembutnya, dia membimbingku untuk masuk ke ruangan Liam.
Setelah mengetuk sebanyak dua kali, si sanggul tinggi membuka pintu ruangan Liam. Aku tetap bertahan di belakangnya, menunggu instruksi lanjutan darinya. Saat pandanganku melayang ke depan, kutemukan Liam yang tengah duduk di kursi kebesarannya dengan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Kau bisa meninggalkan kami berdua," titah Liam yang lantas membuat si sanggul tinggi meninggalkan ruangan ini.
Kini hanya tersisa aku dan Liam di ruangan super luas ini. Dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh sebab aku masih berada di dekat pintu masuk. Mataku mengelilingi ruangan yang didominasi cat berwarna putih ini. Dihiasi oleh furnitur bergaya modern dengan lukisan abstrak yang menggantung di setiap dinding.
Dominasi putih yang dipadukan dengan warna hitam membuat ruangan ini bertambah elegan. Sofa berbentuk L berada di depan meja kebesarannya. Dikelilingi oleh beberapa vas bunga berukuran besar. Rasanya ruangan ini terlalu besar untuk dihuni oleh Liam seorang.
"Apa kau akan terus berdiri di situ, Miss Pillsbury?"
Aku terkesiap dari lamunanku sendiri lantas melangkah dengan kikuk hingga jarak kami kian menipis dan aku mengambil posisi berdiri di depan mejanya.
"Kau bisa duduk." Dia melambaikan tangannya pada kursi di depannya.
"Ah, terima kasih," balasku seraya menuruti ucapannya.
Begitu duduk, aku berinisiatif untuk langsung memberikan memori berisi dokumen hasil wawancara dengan Liam Wilde yang telah diedit. Aku ingat sekali jika benda berukuran kecil itu kumasukkan ke dalam dompet agar tidak susah mencarinya. Namun, mataku tak mendapati keberadaannya sama sekali. Terlebih lagi kini kurasakan jika Liam tengah menyorot tajam ke arahku, menambah rasa gugupku hingga tanpa sengaja dompetku terlepas dari genggamanku dan berakhir nahas di bawah kakiku.
Okay, santai sedikit, Shopie.
Kulirik Liam sekilas sebelum mengambil dompetku. Lagi lagi, pria itu memasang wajah datar yang sulit kupahami maksudnya. Tatapannya padaku pun begitu intens dan berhasil merenggut kepercayaan diri yang sudah susah payah kubangun.
Dengan gerakan perlahan, kuangkat badanku dari kursi dan membungkuk untuk mengambil dompetku yang jatuh di atas lantai. Kulakukan semua itu dengan sangat hati-hati agar Liam tidak ilfeel denganku dan malah langsung mengusirku di detik ini juga.
Serius, ini sangat memalukan.
Jemariku sudah meraih dompetku, hanya tinggal menariknya dan urusanku dengan benda sialan ini selesai. Tetapi aku kalah cepat dengan seseorang yang juga ikut mengambil dompetku.
Tunggu ... jika bukan aku, lalu siapa?
Oh, tentu saja Liam. Sialan!
"Kau masih saja ceroboh, sama seperti dulu," ucapnya dengan senyum miringnya seraya mengangkat dompetku sejajar kepalanya.
Entah kenapa, Liam selalu saja membicarakan hal yang tak kumengerti maksudnya. Sejak kemarin, dia selalu mengatakan sesuatu yang mengindikasikan bahwa dia begitu mengenalku. Padahal, sedikit pun tak kutemukan ingatan di memoriku tentangnya.
Tiba-tiba saja Liam mencondongkan wajahnya ke arahku. Gerakan itu refleks membuat kepalaku mundur ke belakang, menghindari hal-hal yang tak diinginkan—seperti bibirnya yang akan kembali menempel di bibirku. Oh! Aku jelas tidak akan membiarkan hal itu terulang kembali. Setidaknya Liam harus menjelaskan terlebih dahulu tentang perkataannya bahwa aku pernah menciumnya di masa lalu.
Satu sudut bibir Liam semakin tertarik ke atas, menampilkan senyum remehnya. Dia belum menarik wajahnya ke belakang hingga posisi kami begitu dekat saat ini. Aku masih terlalu terkejut dengan kejadian barusan dan hanya mampu menatapnya dengan kedua mata yang membulat sempurna.
Syukurlah setelahnya Liam bangkit berdiri. Momen itu kumanfaatkan untuk menarik napas panjang sebab jarak yang begitu dekat di antara kami selalu berhasil membuatku melupakan bagaimana caranya bernapas.
"Berdirilah, Shopie," titahnya kemudian.
Cepat-cepat aku menuruti ucapannya. Liam sudah kembali pada posisinya dan dompetku sudah berada di atas meja, tepat di depanku.
"Apa yang sedang kau cari di dompetmu?" tanyanya sesaat setelah aku kembali duduk.
Aku sempat menggigit bibirku sekilas sebelum menjawab pertanyaannya, bermaksud untuk mengurangi kegugupanku. Tetapi entah kenapa tatapan Liam padaku semakin menggelap, dan dia bernapas dengan keras. Apa aku baru saja melakukan kesalahan?
"Maaf, Mr. Wilde. Aku sedang mencari memori yang berisi hasil wawancaramu yang sudah diedit."
Aku bersyukur di dalam hati karena bisa menjawabnya dengan lancar.
"Simpan saja itu. Bicarakan nanti dengan Eric. Aku memintamu ke sini untuk membicarakan hal lain."
"Hal lain?"
Aku sungguh penasaran sebanyak apa waktu luang seorang miliarder seperti Liam Wilde sampai dia memintaku untuk bertemu secara pribadi seperti ini. Padahal, aku bukan orang penting.
"Kau ingat bukan jika kau masih memiliki utang padaku?"
Ah, tentu saja aku ingat. Ini soal dirinya yang bersedia melakukan wawancara denganku.
"Untuk soal itu, berapa nominal uang yang harus kubayar?" Aku bertanya dengan hati-hati.
"Uang?" Liam menertawankanku. "Aku tidak butuh uangmu, Shopie."
"Lalu, dengan apa aku harus membayarnya?"
Liam membuka laci, mengambil sebuah dokumen lantas memberikannya kepadaku begitu saja.
Aku menerimanya dengan bingung. Tak peduli dengan sopan santun, aku langsung membuka dokumen tersebut di hadapan Liam tanpa izin hanya untuk menghilangkan rasa penasaranku. Dan yang kutemukan di dalamnya sungguh luar biasa. Mendadak, perasaan gugup dan takut yang sedari tadi bergumul dalam diriku, kini digantikan oleh amarah.
Kutatap Liam dengan tegas, melupakan sejenak bahwa dia adalah sosok yang seharusnya kuhormati.
"Aku dipecat?" tanyaku tak terima.
Mendengar pertanyaanku, Liam malah tersenyum. Dan itu sungguh membuatku bertambah emosi.
"Bayaran yang paling cocok untukku adalah pemecatanmu. Aku sudah berbicara dengan Angela kemarin, dan dia tak keberatan untuk memecatmu. Jadi, ya, kau dipecat," jelas Liam dengan santainya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengubah posisiku menjadi berdiri. Kutatap pria itu dengan mata yang membara. "Tuan Wilde yang sangat terhormat, ini tidak lucu sama sekali. Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Kau tidak berhak untuk membuat keputusan sementara kau sendiri tidak terlibat di dalamnya."
"Kata siapa aku tidak terlibat di dalamnya? Asal kau tahu saja, Shopie, aku adalah penanam saham terbesar di sana."
Pernyataan telak Liam menunjukkan bahwa aku seratus persen kalah darinya. Benar-benar tidak adil.
Mataku pun mulai terasa panas, tetapi sekuat mungkin kutahan air mata yang hendak menetes.
"Kau ... keterlaluan," lirihku tanpa tenaga. Setelahnya, aku langsung berbalik dan melangkah meninggalkannya.
Saat aku berjalan keluar dari ruangannya, air mataku pun perlahan mulai jatuh. Aku menangis dengan keras sembari meremas dokumen pemecatanku.
Liam Wilde sialan. Aku benar-benar membencinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top